Latest Post
01.00
Sudah benarkah pemahaman kita terhadap bid'ah?
Jangan sampai amalan-amalan yang sebenarnya sunah tapi kita bid'ahkan atau sebaliknya.
Jangan Lewatkan Bedah Buku ini bersama penerjemah Dr. Taufiq Al-Hulaimy (Mudir Mahad Aly An-Nuaimy)
Acara:
Tanggal 31 Maret 2013
Tempat:
Masjid Mujahidin Pamulang
Waktu:
Jam 09.00-12.00 wib
Seminar dan Bedah Buku
Sudah benarkah pemahaman kita terhadap bid'ah?
Jangan sampai amalan-amalan yang sebenarnya sunah tapi kita bid'ahkan atau sebaliknya.
Jangan Lewatkan Bedah Buku ini bersama penerjemah Dr. Taufiq Al-Hulaimy (Mudir Mahad Aly An-Nuaimy)
Acara:
Tanggal 31 Maret 2013
Tempat:
Masjid Mujahidin Pamulang
Waktu:
Jam 09.00-12.00 wib
02.22
"... Cahaya di atas cahaya..." (QS.An-Nuur: 35)[4]
Bisyr berkata, "Kalau engkau hendak mencari keridhaan Allah SWT, sementara engkau tetap berada di rumahmu dan membelanjakan dua ribu dirham itu (bukan untuk berhaji), serta engkau merasa yakin bahwa engkau akan dapat memperoleh keridhaan itu, maka apakah engkau akan melakukannya (haji) juga?"
Dalam hadits ini disebutkan bahwa ada seorang lelaki berkata, "Wahai Rasulullah, apakah engkau melihat bahwa apabila aku gugur di medan pertempuran dalam membela agama Allah maka dosa-dosaku akan diampuni semuanya oleh Allah SWT? Maka Rasulullah saw bersabda, "Ya, jika engkau terbunuh di medan pertempuran dalam membela agama Allah, dan engkau teguh dalam menghadapinya dan tidak melarikan diri." Kemudian Rasulullah saw bersabda, "Apa yang engkau katakan tadi?" Lelaki itu kemudian mengulangi pertanyaannya, dan Rasulullah saw yang mulia mengulangi jawabannya sambil menambahkan, "Kecuali utang, karena sesungguhnya Jibril a.s. berkata kepadaku tentang itu."(HR. Muslim)
Yang lebih mengherankan lagi ialah sabda Nabi saw,
Dr. Yusuf Al-Qaradhawi dan Fiqih Prioritas
Oleh:
H. Habib Ziayadi
Mahasiswa Mahad Aly An-Nuaimy Angkatan ke-3
Pengasuh Ponpes Darul Muhibbin
Dewasa ini ummat Islam dihadapkan dengan berbagai macam tantangan dari berbagai aspek dan bidang kehidupan. Mulai dari politik, ekonomi, budaya, agama, dan pemikiran. Tantangan-tantangan itu datang dengan pola dan ragam yang berbeda. Datangnya pun tidak saja berasal dari luar, namun muncul dari tubuh ummat Islam sendiri. Sudah barang tentu hal ini menambah masalah baru dan menjadi pekerjaan rumah ummat yang harus dihadapi dan diselesaikan.
Pada kenyataannya, ummat Islam yang tengah diterjang berbagai ekspansi itu belum sadar betul akan apa yang sedang dihadapinya. Ummat Islam belum bangkit seutuhnya. Sebagian mereka masih sibuk bertengkar satu sama lain. Sebagian masih gemar beradu argumen dan dalil pada perkara ijtihadiyah yang tidak ada habis-habisnya. Sebagian masih cenderung fokus pada satu amalan dan mengenyampingkan amalan lainnya. Bahkan sebagian besar malah tidak berbuat apa-apa dan tidak tahu harus berbuat apa.
Dalam pandangan Syaikh Hasan Al-Banna, keterpurukan ummat Islam disebabkan oleh beberapa faktor di antaranya:
- Perbedaan pandangan politik, fanatisme, perebutan kekuasaan dan kedudukan. Padahal Islam mewanti-wanti hal tesebut serta menganjurkan kehati-hatian terhadap kekuasaan, bila perlu menghindarinya;
- Perbedaan pandangan agama dan mazhab. Penyimpangan agama seperti beriktikad dan menggeluti istilah-istilah yang mati, tidak memiliki ruh, tidak hidup, menyepelekan kitabullah dan sunnah Rasulullah saw, jumud, fanatik terhadap pendapaat tertentu, dan gemar berdebat kusir;
- Tenggelam dalam kemewahan dan syahwat;
- Meninggalkan ilmu ilmiah dan pengetahuan alam, lalu mengalihkan orientasinya pada filsafat dan ilmu khayalan;
- Terperdayanya pemerintah untuk mempertahankan kekuasaannya tanpa memperhatikan kesejahteraan rakyatnya.[1]
Demikianlah diagnosa penyakit yang dilakukan oleh Syaikh Hasan Al-Banna. Ternyata, problem utamanya ada dalam tubuh kaum Muslimin sendiri.
Dalam menanggulangi problematika ummat di atas, sebagai barisan waratsatul anbiya’, para ulama yang peduli nasib ummatnya berjuang sekuat tenaga mencari solusi terbaik. Ini dimaksudkan agar permasalahan tidak berlarut-larut dan ummat sadar atas kekeliruannya.
Satu di antara ulama kontemporer yang concern dan istiqomah mengawal serta menyuntikkan semangat kebangkitan ummat Islam adalah, Syaikh Dr. Yusuf Al-Qaradhawi. Ia terlahir sebagai motivator ummat. Dengan orasi, pena, bahkan jiwanya, ia wakafkan dirinya demi Izzul Islam wal Muslimin. Ia melakukan pemetaan terhadap problem keummatan kontemporer dan menghadirkan solusi konkrit yang up to date namun tetap orisinil. Ia menulis banyak buku, yang sebagian besar adalah dalam ranah pemikiran yang diramu apik dengan kajian fikih, akidah, muamalah, politik, dan cabang Islam lainnya. Satu di antara buah pikirannya adalah, pentingnya skala prioritas dalam beramal dan beribadah, terutama pada masa seperti saat ini. Hal ini dituangkan dalam sebuah buku Fi Fiqhil Aulawiyyat (Dirasah Jadidah fi Dhau’I Al- Qur’an was-Sunnah).
Dalam mukaddimah bukunya itu, Doktor lulusan Universitas Al-Azhar Mesir ini menulis:
“Studi yang penulis sajikan di hadapan Anda sekarang ini merupakan sebuah topik yang kami anggap sangat penting, karena ia memberikan solusi terhadap tiadanya keseimbangan -dari sudut pandang agama- dalam memberikan penilaian terhadap perkara-perkara, pemikiran dan perbuatan; mendahulukan sebagian perkara atas sebagian yang lain; mana perkara yang perlu didahulukan, dan mana pula perkara yang perlu diakhirkan; perkara mana yang harus diletakkan dalam urutan pertama, dan perkara mana yang mesti ditempatkan pada urutan ke tujuh puluh pada anak tangga perintah Tuhan dan petunjuk Nabi saw. Persoalan ini begitu penting mengingat keseimbangan terhadap masalah-masalah yang perlu diprioritaskan oleh kaum Muslimin telah hilang dari mereka pada zaman kita sekarang ini.
Sebelumnya, saya menyebut perkara ini dengan istilah "fiqh urutan pekerjaan"; namun sekarang ini dan sejak beberapa tahun yang lalu saya menemukan istilah yang lebih pas, yaitu "fiqh prioritas"; karena istilah yang disebut terakhir lebih mencakup, luas, dan lebih menunjukkan kepada konteksnya.”
Kajian ini sebetulnya dimaksudkan untuk menyoroti sejumlah prioritas yang terkandung di dalam ajaran agama, berikut dalil-dalilnya, agar dapat memainkan peranannya di dalam meluruskan pemikiran, membetulkan metodologinya, dan meletakkan landasan yang kuat bagi fiqh ini. Sehingga orang-orang yang memperjuangkan Islam dan membuat perbandingan mengenainya, dapat memperoleh petunjuk darinya; kemudian mau membedakan apa yang seharusnya didahulukan oleh agama dan apa pula yang seharusnya diakhirkan; apa yang dianggap berat dan apa pula yang dianggap ringan; dan apa yang dihormati oleh agama dan apa pula yang disepelekan olehnya. Dengan demikian, tidak akan ada lagi orang-orang yang melakukan tindakan di luar batas kewajaran, atau sebaliknya, sama sekali kurang memenuhi syarat. Pada akhirnya, fiqh ini mampu mendekatkan pelbagai pandangan antara orang-orang yang memperjuangkan Islam dengan penuh keikhlasan.”[2]
Mengenal Dr. Yusuf Al-Qaradhawi
Sebelum membahas tentang fiqih prioritas yang ditawarkan oleh Syaikh Al-Qaradhawi, terasa sangat penting apabila kita mengetahui profil pemikir muslim kontemporer yang satu ini. Profil atau biografinya sangat mudah didapatkan, baik di media cetak, terlebih lagi di dunia maya. Sebab, tokoh kita ini sangat tersohor di kalangan kaum Muslimin.
Dr. Yusuf Al-Qaradhawi adalah tokoh agama, intelektual Islam terkemuka dan ulama yang sangat terkenal di dunia yang berasal dari Mesir. Karya-karyanya banyak menjadi rujukan ulama di seluruh dunia karena reputasi ilmiahnya mampu memecahkan persoalan umat sesuai dengan tuntunan Alquran dan hadits. Nama lengkapnya adalah Yusuf bin Abdullah bin Ali bin Yusuf. Sedangkan Al-Qaradhawi merupakan nama keluarga yang diambil dari nama daerah tempat mereka berasal, yakni al-Qardhah. Pemikiran beliau banyak dipengaruhi oleh cendekiawan muslim Hasan Al Banna.
Yusuf Al-Qaradhawi lahir di desa kecil di Mesir bernama Shafth Turaab di tengah Delta pada 9 September 1926. Usia 10 tahun, ia sudah hafal al-Qur'an. Menamatkan pendidikan di Ma'had Thantha dan Ma'had Tsanawi, Qaradhawi terus melanjutkan ke Universitas al-Azhar, Fakultas Ushuluddin. Dan lulus tahun 1952. Hingga menyelesaikan affairs doktor pada tahun 1973. Untuk meraih gelar doktor di Universitas al-Azhar, Kairo, ia menulis disertasi dengan judul "Zakat dan Pengaruhnya dalam Mengatasi Problematika Sosial". Disertasi ini telah dibukukan dan diterjemahkan ke dalam beberapa bahasa, termasuk dalam edisi bahasa Indonesia. Sebuah buku yang sangat konprehensif membahas persoalan zakat dengan nuansa modern. Tapi gelar doktornya baru dia peroleh pada tahun 1972 dengan disertasi "Zakat dan Dampaknya Dalam Penanggulangan Kemiskinan", yang kemudian di sempurnakan menjadi Fiqh Zakat. Sebuah buku yang sangat konprehensif membahas persoalan zakat dengan nuansa modern.
Sebab keterlambatannya meraih gelar doktor, karena dia sempat meninggalkan Mesir akibat kejamnya rezim yang berkuasa saat itu. Ia terpaksa menuju Qatar pada tahun 1961 dan di sana sempat mendirikan Fakultas Syariah di Universitas Qatar. Pada saat yang sama, ia juga mendirikan Pusat Kajian Sejarah dan Sunnah Nabi. Ia mendapat kewarganegaraan Qatar dan menjadikan Doha sebagai tempat tinggalnya.
Selain itu, pada tahun 1957, Yusuf Al-Qaradhawi juga menyempatkan diri memasuki Institut Pembahasan dan Pengkajian Arab Tinggi dengan meraih authority tinggi bahasa dan sastra Arab.Dalam perjalanan hidupnya, Qaradhawi pernah mengenyam "pendidikan" penjara sejak dari mudanya. Saat Mesir dipegang Raja Faruk, dia masuk bui tahun 1949, saat umurnya masih 23 tahun, karena keterlibatannya dalam pergerakan Ikhwanul Muslimin. Pada April tahun 1956, ia ditangkap lagi saat terjadi Revolusi Juni di Mesir. Bulan Oktober kembali ia mendekam di penjara militer selama dua tahun.
Al-Qaradhawi terkenal dengan khutbah-khutbahnya yang berani sehingga sempat dilarang sebagai khatib di sebuah masjid di daerah Zamalik. Alasannya, khutbah-khutbahnya dinilai menciptakan opini umum tentang ketidakadilan rezim saat itu.
Al-Qaradhawi memiliki tujuh anak. Empat putri dan tiga putra. Sebagai seorang ulama yang sangat terbuka, dia membebaskan anak-anaknya untuk menuntut ilmu apa saja sesuai dengan minat dan bakat serta kecenderungan masing-masing. Dan hebatnya lagi, dia tidak membedakan pendidikan yang harus ditempuh anak-anak perempuannya dan anak laki-lakinya. Salah seorang putrinya memperoleh gelar doktor fisika dalam bidang nuklir dari Inggris. Putri keduanya memperoleh gelar doktor dalam bidang kimia juga dari Inggris, sedangkan yang ketiga masih menempuh S3. Adapun yang keempat telah menyelesaikan pendidikan S1-nya di Universitas Texas Amerika.
Anak laki-laki yang pertama menempuh S3 dalam bidang teknik elektro di Amerika, yang kedua belajar di Universitas Darul Ulum Mesir. Sedangkan yang bungsu telah menyelesaikan kuliahnya pada fakultas teknik jurusan listrik. Dilihat dari beragamnya pendidikan anak-anaknya, kita bisa membaca sikap dan pandangan Al-Qaradhawi merupakan seorang ulama yang menolak pembagian ilmu secara dikotomis. Semua ilmu bisa islami dan tidak islami, tergantung kepada orang yang memandang dan mempergunakannya. Pemisahan ilmu secara dikotomis itu, menurut Al-Qaradhawi, telah menghambat kemajuan umat Islam.
Yusuf Al-Qaradhawi dikenal sebagai ulama dan pemikir islam yang unik sekaligus istimewa, keunikan dan keistimewaanya itu tak lain dan tak bukan ia memiliki cara atau metodologi khas dalam menyampaikan risalah Islam, lantaran metodologinya itulah dia mudah diterima di kalangan dunia barat sebagai seorang pemikir yang selalu menampilkan Islam secara ramah, santun, dan moderat, kapasitasnya itulah yang membuat Islam.
Dalam lentera pemikiran dan dakwah islam, kiprah Yusuf Al-Qardhowi menempati posisi basic dalam pergerakan Islam kontemporer, waktu yang dihabiskannya untuk berkhidmat kepada Islam, bercearamah, menyampaikan masalah masalah aktual dan keislaman di berbagai tempat dan negara menjadikan pengaruh sosok sederhana yang pernah dipenjara oleh pemerintah mesir ini sangat besar di berbagai belahan dunia, khususnya dalam pergerakan islam kontemporer melalui karya karyanya yang mengilhami kebangkitan islam moderen.
Sekitar 125 buku yang telah beliau tulis dalam berbagai demensi keislaman, sedikitnya ada 13 aspek kategori dalam karya karya Al-Qaradhawi, seperti masalah masalah : fiqh dan ushul fiqh, ekonomi islam, Ulum Al Quran dan As sunnah, akidah dan filsafat, fiqh prilaku, dakwah dan tarbiyah, gerakan dan kebangkitan Islam, penyatuan pemikiran Islam, pengetahuan Islam umum, consecutive tokoh tokoh Islam, sastra dan lainnya. sebagian dari karyanya itu telah diterjemahkan ke berbagai bahasa termasuk bahasa Indonesia, tercatat, sedikitnya 55 judul buku Al-Qaradhawi yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.[3]
Fiqih Prioritas Sebagai Solusi
Dalam berbagai buku yang ditulisnya, Al-Qaradhawi sering menawarkan istilah-istilah baru, terutama dalam rangka pembaharuan fiqih. Istilah-istilah tersebut awalnya kurang populer di lidah kaum Muslimin. Sehingga tidak jarang mengundang kritikan dari pengkaji Ilmu-ilmu keislaman. Ia memperkenalkan istilah Fiqih Prioritas atau Fiqh Al-Aulawiyya, Fikih keseimbangan atau Fiqh Al-Muwazanah, fiqih kekinian atau Fiqh Al-Waqi’, fiqh perbedaan pendapat atau Fiqh Al-Ikhtilaf, dan beberapa istilah lain.
Dalam kajian fiqih prioritas, dalam bukunya, Al-Qaradhawi tidak menyebutkan defenisi yang komprehensif tentang apa yang dimaksudkannya dan tidak menyertakan dari mana defenisi itu ia nukil. Al-Qaradhawi hanya menulis, “Di Antara konsep terpenting dalam fiqh kita sekarang ini ialah apa yang sering saya utarakan dalam berbagai buku saya, yang saya namakan dengan "fiqh prioritas" (fiqh al-awlawiyyat). Sebelum ini saya mempergunakan istilah lain dalam buku saya, al-Shahwah al-Islamiyyah bayn al-Juhud wa al-Tatharruf, yaitu fiqh urutan pekerjaan (fiqh maratib al-a'mal).Yang saya maksud dengan istilah tersebut ialah meletakkan segala sesuatu pada peringkatnya dengan adil, dari segi hukum, nilai, dan pelaksanaannya. Pekerjaan yang mula-mula dikerjakan harus didahulukan, berdasarkan penilaian syari'ah yang shahih, yang diberi petunjuk oleh cahaya wahyu, dan diterangi oleh akal
"... Cahaya di atas cahaya..." (QS.An-Nuur: 35)[4]
Al-Qaradhawi menitikberatkan kajian fiqih prioritas ini pada urutan amal yang semestinya diutamakan atau didahulukan. Sehingga sesuatu yang tidak penting, tidak didahulukan atas sesuatu yang penting. Sesuatu yang penting tidak didahulukan atas sesuatu yang lebih penting. Sesuatu yang tidak kuat (marjuh) tidak didahulukan atas sesuatu yang kuat (rajih). Dan sesuatu "yang biasa-biasa" saja tidak didahulukan atas sesuatu yang utama, atau yang paling utama. Sesuatu yang semestinya didahulukan harus didahulukan, dan yang semestinya diakhirkan harus diakhirkan. Sesuatu yang kecil tidak perlu dibesarkan, dan sesuatu yang penting tidak boleh diabaikan. Setiap perkara mesti diletakkan di tempatnya dengan seimbang dan lurus, tidak lebih dan tidak kurang.
Sesungguhnya apa yang ia tulis dalam bukunya ini sejatinya bukan hal baru dalam Islam. Dalam Al-Qur’an dan sunnah Nabi saw bertebaran nash-nash yang mengindikasikan prioritas amal. Bila dikaji secara mendalam dalam kitab-kitab klasik seperti Ihya Ulumiddin karya Imam Al-Ghazali, Qawaidhul Ahkam fi Mashalihil Anam karya Izzuddin bin Abdussalam, Majmu’ Fatawa karya Ibnu Taimiyyah, dan I’lamu Muwaqqiin karya Ibnul Qayyim, substansi dari fiqih prioritas banyak ditemukan. Dalam kajian ini, Al-Qaradhawi memang bukan yang pertama, namun ia dapat dikatakan sebagai ulama yang menghadirkannya kembali ke tengah-tengah ummatdengan wajah baru. Hal inipun diakuinya, bahwa karya-karya klasik itulah yang banyak menginspirasi penulisan fiqih prioritas.
Dalam bukunya, ia menceritakan celaan Al-Ghazali kepada orang-orang yang sezaman dengannya. Kebanyakan mereka menekuni fiqih saja dan melupakan cabang ilmu yang lain. Terbukti, terjadi kekosongan luar biasa di dunia kedokteran, yang mana tak ada seorang dokter pun melainkan ia seorang Nasrani atau Yahudi. Oleh Al-Ghazali, orang cerdik pandai di zamannya itu disebut sebagai orang yang tertipu (al-Mugtarrun).[5] Al-Ghazali juga menganggap orang yang bola-balik menunaikan haji setiap tahun, padahal amalan itu adalah amalan sunnah, sebagai orang yang tertipu. Alasannya, alangkah baiknya jika ongkos haji-haji sunnah tersebut dialokasikan untuk kemaslahatan sosial.[6]
Syekh Yusuf juga mengutip sebuah dialog, yaitu saat Abu Nashr al-Tammar berkata, "Sesungguhnya ada seorang lelaki yang datang dan ingin mengucapkan selamat tinggal kepada Bisyr bin al-Harits sambil berkata "Aku telah berniat melakukan ibadah haji, barangkali engkau hendak memerintahkan sesuatu kepadaku." Bisyr berkata kepadanya: "Berapa biaya yang telah engkau persiapkan untuk itu?" Dia menjawab, "Dua ribu dirham."
Bisyr berkata, "Apakah yang hendak engkau cari dalam hajimu? Karena zuhud, rindu kepada Baitullah, ataukah untuk mencari keridhaan Allah SWT?"
Bisyr berkata, "Apakah yang hendak engkau cari dalam hajimu? Karena zuhud, rindu kepada Baitullah, ataukah untuk mencari keridhaan Allah SWT?"
Dia menjawab, "Saya hendak mencari keridhaan Allah SWT."
Bisyr berkata, "Kalau engkau hendak mencari keridhaan Allah SWT, sementara engkau tetap berada di rumahmu dan membelanjakan dua ribu dirham itu (bukan untuk berhaji), serta engkau merasa yakin bahwa engkau akan dapat memperoleh keridhaan itu, maka apakah engkau akan melakukannya (haji) juga?"
Dia menjawab, "Ya.”
Bisyr berkata, "Pergilah, berikan dua ribu dirham itu kepada sepuluh kelompok manusia ini: orang yang berutang agar dia dapat membayar utang-utangnya; orang miskin agar dia dapat bangkit kembali; orang yang menanggung pemeliharaan anggota keluarga yang banyak agar mereka tercukupi keperluannya; dan pengasuh anak yatim agar dia dapat menggembirakan mereka. Kalau hatimu kuat, berikanlah uang itu kepada salah satu kelompok tersebut, karena sesungguhnya usahamu untuk menggembirakan hati seorang Muslim, memberikan pertolongan kepada orang yang bersedih hati, menyelamatkan orang yang sedang dalam keadaan berbahaya, memberikan bantuan kepada orang yang lemah, adalah lebih baik daripada seratus kali haji yang dilakukan setelah haji wajib dalam Islam. Berdirilah dan berikanlah uang itu kepada mereka sebagaimana kami memerintahkan kepadamu. Jika tidak, maka katakanlah apa yang terdetik di dalam hatimu?"
Dia menjawab, "Wahai Abu Nashr, perjalananku lebih kuat dalam hatiku. "
Bisyr lalu tersenyum, kemudian mendekatinya dan berkata kepadanya: "Harta kekayaan yang dikumpulkan dari kotoran perniagaan dan syubhat, membuat hawa nafsu bertindak di dalamnya untuk memamerkan amal shalehnya Padahal Allah SWT telah berjanji kepada diri-Nya sendiri untuk tidak menerima kecuali amal orang-orang yang bertaqwa kepada-Nya."
Bisyr lalu tersenyum, kemudian mendekatinya dan berkata kepadanya: "Harta kekayaan yang dikumpulkan dari kotoran perniagaan dan syubhat, membuat hawa nafsu bertindak di dalamnya untuk memamerkan amal shalehnya Padahal Allah SWT telah berjanji kepada diri-Nya sendiri untuk tidak menerima kecuali amal orang-orang yang bertaqwa kepada-Nya."
"... Ya Tuhan kami, terimalah dari kami (amalan kami), sesungguhnya engkaulah yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui." (QS. al-Baqarah: 127).[7]
Dalam kajian Fiqih prioritas ini, nampak sekali kedalaman ilmu Al-Qaradhawi. Dari susunan atau sitematika penulisan, ia mencoba mengklasifikasikan prioritas-prioritas/aulawiyat dengan cukup mendetail. Ia menulis pembahasannya menjadi beberapa bab besar.
Pertama, prioritas dalam bidang ilmu dan pemikiran. Di sini ia menulis prioritas ilmu atas amal, prioritas kelayakan pada urusan kepemimpinan, keutamaan bagi da’I dan pengajar, keutamaan pemahaman atas hapalan, keutamaan substansi atas zhahir, prioritas ijtihad daripada taklid, prioritas studi analisa dalam urusan dunia, prioritas dalam pendapat –pendapat fiqih.
Kedua, prioritas dalam urusan fatwa dan dakwah. Di sini ia menulis tentang prioritas mempermudah urusan dari pada mempersulit, prioritas perkara yang penting disegerakan, prioritas perubahan fatwa sesuai dengan perubahan zaman.
Ketiga, prioritas dalam bidang amal. Ia menulis tentang prioritas amal yang kontinu atas amal yang terputus, prioritas amal yang manfaatnya dirasakan banyak orang atas amal individual, prioritas amal pada zaman fitnah, prioritas amal hati dari pada amal anggota badan. Perbedaan fadilah amal sesuai masa, tempat, dan keadaan. Prioritas amal duniawi dan prioritas amal ibadah.
Keempat, prioritas dalam perintah-perintah. Di sini dengan cermat Al-Qaradhawi memilahnya menjadi, prioritas usul (Pokok) atas furu’ (cabang), prioritas faraidh atas nawafil, prioritas fardhu ain atas fardhu kifayah, prioritas hak hamba atas hak Allah semata, prioritas hak jamaah atas hak pribadi.
Kelima, prioritas dalam perkara-perkara yang terlarang. Di sini Al-Qaradhawi membahas tingkatan-tingkaytan kekufuran, perbedaan dosa besar dan kecil, munafiq, dan penyakit-penyakit hati.
Keenam, prioritas dalam bidang reformasi. Ia membahas tentang tantangan harakah dakwah terkini dan efektifitas amar ma’ruf nahi mungkar. Ia juga mengulas tentang manakah yang lebih penting untuk didahulukan antara tarbiyah (mendidik) masyarakat dengan pemahaman Islam yang benar atau mengkampanyekan penegakan syariat secara frontal. Dalam hal ini ia memilih cara yang pertama.
Ada baiknya penulis mencantumkan satu pembahasan dalam buku Fiqih Prioritas, yaitu pada pembahasan Prioritas hak hamba atas hak Allah semata-mata.
Jika fardhu ain harus didahulukan atas fardhu kifayah, maka sesungguhnya dalam fardhu ain juga terdapat beberapa tingkat perbedaan prioritas. Oleh karena itu, kita sering melihat ajaran agama ini menekankan hukum-hukum yang berkaitan dengan hak hamba-hamba Allah.
Fardhu ain yang berkaitan dengan hak Allah semata-mata mungkin dapat diberi toleransi, dan berbeda dengan fardhu ain yang berkaitan dengan hak hamba-hamba-Nya. Ada seorang ulama yang berkata, "Sesungguhnya hak Allah dibangun di atas toleransi sedangkan hak hamba-hamba-Nya dibangun di atas aturan yang sangat ketat."
Oleh sebab itu, ibadah haji misalnya, yang hukumnya wajib, dan membayar utang yang hukumnya juga wajib; maka yang harus didahulukan ialah kewajiban membayar utang. Orang Islam yang mempunyai utang tidak boleh mendahulukan ibadah haji sampai dia membayar utangnya; kecuali bila dia meminta izin kepada orang yang mempunyai piutang, atau dia meminta pembayaran utang itu ditunda, dan dia meyakinkannya bahwa dia mampu membayar utang itu tepat pada waktunya.
Untuk kepentingan hak hamba-hamba di sini --khususnya hak yang berkaitan dengan harta benda-- maka benarlah hadits yang berbicara tentang mati syahid (suatu tingkat kematian yang paling tinggi derajatnya, dan dicari oleh orang Islam sebagai upaya pendekatannya kepada Tuhannya) bahwa kesyahidan itu tidak menggugurkan utang darinya, kalau dia mempunyai utang.
Dalam sebuah hadits shahih disebutkan,
"Semua dosa orang yang mati syahid akan diampuni kecuali utangnya." (HR. Muslim)
Dalam hadits ini disebutkan bahwa ada seorang lelaki berkata, "Wahai Rasulullah, apakah engkau melihat bahwa apabila aku gugur di medan pertempuran dalam membela agama Allah maka dosa-dosaku akan diampuni semuanya oleh Allah SWT? Maka Rasulullah saw bersabda, "Ya, jika engkau terbunuh di medan pertempuran dalam membela agama Allah, dan engkau teguh dalam menghadapinya dan tidak melarikan diri." Kemudian Rasulullah saw bersabda, "Apa yang engkau katakan tadi?" Lelaki itu kemudian mengulangi pertanyaannya, dan Rasulullah saw yang mulia mengulangi jawabannya sambil menambahkan, "Kecuali utang, karena sesungguhnya Jibril a.s. berkata kepadaku tentang itu."(HR. Muslim)
Yang lebih mengherankan lagi ialah sabda Nabi saw,
"Maha Suci Allah, mengapa perkara utang piatang itu begitu keras ditetapkan? Demi yang diriku berada di tangan-Nya, kalau ada orang yang terbunuh dalam suatu peperangan di jalan Allah, kemudian dia dihidupkan, kemudian dia terbunuh lagi, kemudian dia dihidupkan lagi, lalu terbunuh lagi, tetapi dia mempunyai tanggungan utang, maka dia tidak akan masuk surga sampai dia membayar utangnya." (HR. Ahmad, Nasa’I, dan Al-Hakim)[8]
Kesimpulan
Dalam setiap buku kajian harakah dan pemikiran yang ditulisnya, Al-Qaradhawi tidak pernah luput mengkampanyekan gagasan Islam moderat yang arif. Moderat dalam beragama dalam arti tetap dalam koridor syariat, tidak terjebak dalam ektrimisme atau terjerembab dalam liberalisasi. Ia membuka pintu ijtihad bagi ahlinya, membuang kejumudan dan mengajak kepada inovasi, mengedepankan toleransi dan menghindari perpecahan, memprioritaskan substansi nash dari pada terjebak dalam faham zhahiri, menutup pintu fanatisme golongan dan mengajak kepada ukhuwah Islamiyah.[9]
Dr. Yusuf Al-Qaradhawi mengusung moderatisme Islam karena ia adalah alumni Al-Azhar. Al-Azhar sendiri masyhur sebagai institusi yang paling terdepan mengkampanyekan moderatisme. Oleh beliau dan para Azhariyun lainnya, beragama secara moderat adalah tuntutan Islam itu sendiri. Tidak saja dalam urusan ibadah, namun mencakup segala bidang, termasuk juga akidah. Inilah jalan yang ditempuh oleh para salaf yang disebut kaum ahlussunnah wal jamaah.[10]
Berbeda dengan ulama kontemporer lainnya, Dr. Yusuf Al-Qaradhawi menurut penulis memiliki keunggulan dan ciri khas tersendiri dalam setiap buku yang ditulisnya. Di samping karena kemudahan bahasa yang dipakainya, analisa yang tajam namun berdalil, uraian yang panjang dan komprehensif, walaupun sedang mengkritisi pendapat orang lain. masih tetap santun. Inilah yang membuat syaikh ini tetap disegani oleh siapapun. Tidak heran bila oleh banyak kalangan, syaikh Al-Qaradhawi ditasbihkan sebagai pemikir terbesar dewasa ini.
Kajian fiqih prioritas adalah satu dari beberapa solusi atas keterpurukan ummat dewasa ini. Syaikh ingin membantu membangkitkan kesadaran ummat bagaimana cara beragama yang benar, mana perkara yang harus didahulukan, mana yang lebih pantas untuk ditinggalkan, dan bagaimana bersikap seharusnya terhadap sesama manusia.
[1] Hasan Al-Banna, Majmu’ah Rasail, Kairo: Dar Al-Taufiqiyah,tanpa tahun, hal. 155-156.
[3] www.biografitokohdunia.com, diakses pada tanggal 7 Januari 2012
[4] Yusuf Al-Qaradhawi, Fi Fiqhil Aulawiyyat, hal.2//didownload dari www.al-Mostafa.com
[5]Ibid.,hal.7.
[6] Ibid., hal. 174
[7] Ibid., hal 174-174. Lihat juga pembahasan yang sama di buku DR. Yusuf, Al-Imam Al-Ghazali baina Madihi wa Naqidihi, hal 96-99 tentang masalah ini.
[8] Ibid., hal. 91-92
[9] Permasalahan di atas ditulis dalam buku-bukunya seperti As-Shahwah Al-Islamiyah minal Murahaqah ilar Rusydi, Kaifa Nata’amal ma’al Qur’an, dan Dirasah fi Fiqh Maqasid As-Syari’ah.
02.16
Seminar Wasathiyah dengan tema "Implementasi Konsep Moderasi dalam Islam dalam Perundang-undagan di Indonesia", pembicara;
1) Dr. Taufiqul Azhar Hulaimy, MA, M.Ed (Mudir Mahad Aly An-Nuaimy)
2) KH. Bukhory Yusuf, MA (Anggota Komisi III DPR RI dari Fraksi PKS)
Pelaksanaan:
Selasa, 26 Maret 2013
14.00-16.00
Tempat
Auditorium Mahad Aly An-Nuaimy
Seminar Wasathiyah
Seminar Wasathiyah dengan tema "Implementasi Konsep Moderasi dalam Islam dalam Perundang-undagan di Indonesia", pembicara;
1) Dr. Taufiqul Azhar Hulaimy, MA, M.Ed (Mudir Mahad Aly An-Nuaimy)
2) KH. Bukhory Yusuf, MA (Anggota Komisi III DPR RI dari Fraksi PKS)
Pelaksanaan:
Selasa, 26 Maret 2013
14.00-16.00
Tempat
Auditorium Mahad Aly An-Nuaimy
00.11
Masalah bidah adalah masalah krusial
Konsep Bid’ah dan Toleransi Fiqih
DR. Mohamad Taufik Q. Hulaimi, MA, M. Ed
Direktur Mahad Aly An-Nuaimy
Masalah bidah adalah masalah krusial
- Konsep Bidah harus dipelajari dengan sempurna dan secara amanah.
- Samar dalam memahami konsep bidah menimbulkan keresahan bahkan perpecahan yang dimulai dengan saling mencaci.
Contoh :
- Orang-orang yang merayakan maulid Nabi lebih berdosa dari peminum khamr, pencuri, pezina dan pembunuh.
- Memakai ayat-ayat mengenai orang kafir untuk diterapkan kepada orang Mukmin.
Tiga Hal Penting
Pertama:
Ahlu sunnah wal Jamaah harus menyatukan kata, hati dan barisannya.
Kedua:
Dialog dan diskusi adalah suatu hal yang wajar. Namun jangan sampai merusak rasa saling menghormati. Hal tersebut terwujud dengan dua syarat; satu: Diskusi dilakukan dengan cara ilmiah, dalil dilawan dengan dalil, argument dibalas dengan argument. Kedua: setiap pihak yang terlibat diskusi hendaknya berpegang dengan adab dialog.
Ketiga:
Buku ini diharapkan menjadi sebab mendekatnya pandangan yang berbeda dalam masalah bidah.
Makna “Ku sempurnakan Agamaku”
- Allah Berfirman : “Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu…”. (QS. 5:3)
- Peringatan Keras untuk Menjauhi al-Muhdats, hal baru dalam agama (bid’ah)
- Masalah Baru/Nawazil Terus Bermunculan
- Kesepakatan Ulama bahwa setiap masalah baru/Nawazil pasti ada hukumnya.
Bagaimana Memahami Masalah Ini?
Contoh Nawazil
Nawazil : Masalah baru yang tidak terdapat tex hukum yang berbicara mengenainya. Juga tidak terdapat Ijma Ulama dalam masalah baru tersebut. Contoh:
- Do’a khatam Quran dalam sholat taraweh atau sholat qiyam di bulan Ramadhan.
- ‘Asyaul-walidain. (jamuan makan mlam yang diadakan setelah satu atau dua bualan dari meninggalnya orang tua. Dalam acara ini diundang kerabat, rekan dan tetangga. Dengan harapan pahalanya sampai kepada orangtua yang sudah meninggal.)
- Merubah bentuk masjid, seperti membuat mihrab, memendekkan shaf sholat dari kiri dan kanan , membuat garis diatas karpet masjid untuk meluruskan shaf shalat. memasang senderan dibelakang shaf pertama
Bagaimana Memahami al-Muhdatsaat?
- Apakah al-muhdats termasuk dalam masalah baru sehingga memungkinkan hukum yang lima?
- atau al-muhdatsaat otomatis menjadi bid’ah?
Ada perbedan pendapat:
- Kelompok pertama berpendapat bahwa seluruh hal yang baru dalam agama mempunyai hukumnya masing-masing.
- Kelompok kedua berpendapat bahwa seluruh hal baru dalam agama bidah yang sesat.
- disebabkan tidak adanya penentuan makna bidah dalam agama secara jelas dan terang
- Kalau Ulama belum sepakat dalam maknajelas dari bidah jelek dalam syariat , maka jalan satu-satunya adalah saling memaklumi satu sama lainnya
Definisi Bid’ah
- Definisi al-Iz bin Abdussalam rahimahullah: “Mengerjakan sesuatu yang tidak ada dan tidak dikenal di zaman Rasulullah SAW , Ia terbagi menjadi wajib, haram , mandub (sunah) , makruh dan mubah, Cara menentukannya dengan jalan menakar bidah tersebut dengan kaidah syariah”.
- Definisi Ibnu Hajar: “Hal baru yang diciptakan , tidak memiliki dalil dalam syariat”
- Definisi Ibnu Rajab rahimahullah :”Hal baru yang diciptakan , dalam syariat tidak ada dalil yang menunjukkan hal baru tersebut”.
- Definisi Syatibi rahimahullah.
- Pertama: “sebuah cara dalam agama yang ditemukan, cara tersebut menyamai syariat , maksud dari mengerjakannya adalah berlebihan dalam beribadah kepada Allah SWT.”
- Kedua: “ sebuah cara dalam agama yang ditemukan , cara tersebut menyamai syariat , maksud dari mengerjakannya sama dengan maksud mengerjakan sesuatu yang dilakukan dengan cara syariat”
Ibnu Taimiyah Tentang Bidah
- Ibnu Taimiyah Rahimahullah berkata:” hal yang bertentangan dengan tex-tex Islam adalah bidah , hal ini merupakan kesepakatan ulama. Dan hal yang belum diketahui bertentangan terkadang tidak disebut bidah” (Kitab Daru-tta’arudh karangan Ibnu Taimiyah. Jilid;1 hal:140 , semakna dengannya di buku al-fatawa jilid 20 hal: 159 )
- Ungkapan Ibnu Taimiya menunjukkan bahwa hal baru kalau tidak bertentangan dengan nushush terkadang tidak dinamai bidah.
Sebab Perselisihan Definisi
- Perselisihan ini disebabkan perselisihan mereka tentang penerapan bidah sesat pada setiap hal baru yang memiliki warna agama dan tidak ditemukan dalam kurun waktu pertama, namun tidak bertentangan dengan nushush syariat Islam dan kaidah-kaidahnya.
- Apakah hal baru seperti ini termasuk bidah sesat atau tidak?
Tiga konsep bidah
- Setiap hal baru yang berhubungan dengan agama mempunyai hukum yang sesuai dengannya. Ia tercakup dalam lima. Disebut hasanah kalau boleh dan disebut sayyiah kalau dilarang. (Al-muwassi’uun)
- Hal baru dalam agama mempunyai satu hukum saja yaitu haram. Setiap hal baru bidah, setiap bidah sesat , dan setiap kesesatan di neraka. (al-Mudhoyyiquun)
- Al-Muhdast kalau termasuk dalam kaidah-kaidh syariat atau ada Nushush yang menunjukkan akan hal baru ini hal tersebut tidak disebut bidah. Akan tetapi diberi nama dengan hukum syar’i yang sesuai. Kalau tidak termasuk dalam kaidah-kaidh syariat atau tidak ada Nushush menunjukkannya maka disebut bidah. Maka menurutnya semua bidah sesat.
Perbedaan pendapat pertama dan ketiga hanya perbedaan lafadh saja. Perbedaan pertama dan kedua perbedaan secara substansi
Memahami tiga hadits tentang bidah
Hadis Pertama:
Rasulullah SAW berkata dalam khutbahnya:
أما بعد ، فإن أصدق الحديث كتاب الله وإن أفضل الهدي هدي محمد صلى الله عليه وسلم ، وشر الأمور محدثاتها ، وكل محدثة بدعة ، وكل بدع ضلالة ، وكل ضلالة في النار
Amma ba’du, sebaik-baiknya pembicaraan adalah kitab Allah, sebaik-baiknya petunjuk adalah petunjuknya Muhammad SAW , seburuk-buruknya perkara agama adalah hal-hal baru dalam agama, setiap yang baru adalah bidah, setiap bidah sesat, dan setiap sesat di neraka.
Memahami Hadis Pertama
- Ada perbedaan pendapat tentang makna kata “seluruh” (كل ) dalam hadis.
- Kelompok mudhoyyiquun : sabda Rasulullah saw “setiap hal baru bidaha” adalah makna umum yang tidak ada pengecualiannya. Oleh karenanya pembagian bidah menjadi lima adalah bertentangan dengan hadis ini.
- Kelompok muwassi’iin memahaminya dengan makna seluruh tapi ada pengecualiannya, maka maknanya sebagian besar.
Syarah Imam Nawawi
شرح النووي على صحيح مسلم ج6/ص154 ) قوله صلى الله عليه وسلم وكل بدعة ضلالة هذا عام مخصوص والمراد غالب البدع)
“ , Imam Nawawi berkata:”Sabda Rasulullah SAW “dan setiap bidah sesat” , ini adalah makna umum yang ada pengecualiannya, yang dimaksud adalah sebagian besar bid’ah.”
شرح النووي على صحيح مسلم ج7/ص104( ”من سن في الاسلام سنة حسنة فله أجرها ” إلى ....وفي هذا الحديث تخصيص قوله صلى الله عليه وسلم كل محدثة بدعة وكل بدعة ضلالة وأن المراد به المحدثات الباطلة والبدع المذمومة....)
Hadis ini mengecualikan keumuman sabda Rasulullah saw “setiap muhdast bida’h”….dan yang dimaksud adalah bid’ah yang bathil dan tercela.”
Hadis Kedua:
Rasulullah bersabda:
من أحدث في أمرنا هذا ما ليس منه فهو رد
“barang siapa membuat hal baru dalam agama ini dan bukan bagian dari agama ini, makka hal tersebut ditolak”
Apakah “bukan bagian dari agama” adalah syarat lazim atau qoidun ?
- Al-Mudhoyyiquun: syarat lazim yaitu sifat yang pasti ada dalam setiap hal baru (al-muhdats). Artinya setiap hal baru pasti bukan bagian dari agama. Hadis tersebut tidak bisa difahami dengan sebaliknya (mafhum mukholafah). Maka tidak bermakna bahwa sebagian hal baru ada yang termasuk dalam agama.
- Al-Muwassi’un: qoidun, maka boleh mafhum mukholafah. Kalau bukan bagian dari agama ditolak, kalau ternyata bagian dari agama diterima
Hadis Ketiga:
من سَنَّ في الْإِسْلَامِ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ من عَمِلَ بها بَعْدَهُ من غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ من أُجُورِهِمْ شَيْءٌ وَمَنْ سَنَّ في الْإِسْلَامِ سُنَّةً سَيِّئَةً كان عليه وِزْرُهَا وَوِزْرُ من عَمِلَ بها من بَعْدِهِ من غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ من أَوْزَارِهِمْ شَيْءٌ
“Barang siapa membuat sunnah dalam Islam sunah-yang baik maka ia mendapat pahalanya dan mendapat pahala orang yang mengerjakannya setelah dia, tanpa mengurangi pahala orang yang mengerjakanya sedikitpun. Barang siapa membuat sunnah dalam Islam sunah-yang buruk maka ia mendapat dosanya dan mendapat dosa orang yang mengerjakannya setelah dia, tanpa mengurangi orang orang yang mengerjakanya sedikitpun
Memahami Hadits Ketiga
Apa makna kata سن dalam hadis?
- سنَّ mempunyai dua makna : membuat dan menghidupkan.
- Mudhoyyiqun : bermakna menghidupkan
- Muwassi’un: menghidupkan dan membuat.
- Kata سنَّ kalau hanya bermakna menghidupkan tidak selaras dengan akhir dari hadis diatas. Yaitu menghidupkan sunnah yang jelek. Dalam Islam tidak ada sunnah Jelek
Memahami Hal Yang Tidak Dilakukan Rasulullah
- Hal yang ditinggalkan Rasulullah SAW dan tidak dikerjakan , dengan sengaja, tidak mempunyai makna wajib, kadang bermakna haram, makruh, mubah atau dianjurkan (musthab).
- Rasulullah SAW tidak melakukannya karena ada sebab seperti menjelaskan bahwa yang ditingalkannya itu boleh tidak dikerjakan, atau khawatir menimbulkan kesulitan bagi umatnya, atau karena alasan maslahat lain.
- Dalam hal ini kita harus meliha al-qoroin (indikator yang bisa dipakai untuk memahami maksud tertentu) yang menyertai ketika Rasulullah SAW tidak mengerjakan hal tersebut.
- Kalau tidak ada qorinah yang mennjukkan sebabnya maka perbuatan yang tidak dikerjakan adalah mubah, boleh dikerjakan.Sedangkan tidak melakukan dengan tidak sengaja maka tidak ada hukum syariat apapun yang berhubungan dengannya.
- Kaidah yang mengatakan bahwa suatu hal yang tidak dikerjakan Rasulullah SAW menunjukkan bahwa hal yang ditinggalkan tersebut adalah haram, kaidah ini dibatalkan dengan sabda Rasulullah SAW:
دعوني ما تركتكم ، إنما أهلك من كان قبلكم سؤالهم واختلافهم على أنبيائهم ، فإذا نهيتكم عن شيء فاجتنبوه ، وإذا أمرتكم بأمر فأتوا منه ما استطعتم
- Biarkan saya dengan apa yang sudah saya tinggalkan buat kalian, Umat sebelumkalian hancur karena pertanyaan mereka, penentangan mereka terhadap nabinya. , kalau saya melarang kalian dari sesuatu maka tinggalkanlah. Kalau saya memerintahkan sesuatu maka lakukanlah sekuat tenaga kalia
Manhaj Rasulullah saw. Dalam Menerima Atau Menolak Hal Baru dalam Agama.
Seorang Sahabat Dari Anshor, mengimamai Sholat di Masjid Quba dengan Membaca Al-Ikhlas setelah Fatihah Sebelum Surat
وقال عُبَيْدُ اللَّهِ عن ثَابِتٍ عن أَنَسِ رضي الله عنه كان رَجُلٌ من الْأَنْصَارِ يَؤُمُّهُمْ في مَسْجِدِ قُبَاءٍ وكان كُلَّمَا افْتَتَحَ سُورَةً يَقْرَأُ بها لهم في الصَّلَاةِ مِمَّا يَقْرَأُ بِهِ افْتَتَحَ قُلْ هو الله أَحَدٌ حتى يَفْرُغَ منها ثُمَّ يَقْرَأُ سُورَةً أُخْرَى مَعَهَا وكان يَصْنَعُ ذلك في كل رَكْعَةٍ فَكَلَّمَهُ أَصْحَابُهُ فَقَالُوا إِنَّكَ تَفْتَتِحُ بِهَذِهِ السُّورَةِ ثُمَّ لَا تَرَى أنها تُجْزِئُكَ حتى تَقْرَأَ بِأُخْرَى فَإِمَّا تَقْرَأُ بها وَإِمَّا أَنْ تَدَعَهَا وَتَقْرَأَ بِأُخْرَى فقال ما أنا بِتَارِكِهَا إن أَحْبَبْتُمْ أَنْ أَؤُمَّكُمْ بِذَلِكَ فَعَلْتُ وَإِنْ كَرِهْتُمْ تَرَكْتُكُمْ وَكَانُوا يَرَوْنَ أَنَّهُ من أَفْضَلِهِمْ وَكَرِهُوا أَنْ يَؤُمَّهُمْ غَيْرُهُ فلما أَتَاهُمْ النبي e أَخْبَرُوهُ الْخَبَرَ فقال يا فُلَانُ ما يَمْنَعُكَ أَنْ تَفْعَلَ ما يَأْمُرُكَ بِهِ أَصْحَابُكَ وما يَحْمِلُكَ على لُزُومِ هذه السُّورَةِ في كل رَكْعَةٍ فقال إني أُحِبُّهَا فقال حُبُّكَ إِيَّاهَا أَدْخَلَكَ الْجَنَّةَ ( صحيح البخاري ج1/ص268)
Bahwa seorang dari ansor menjadi imam di masji Quba.
- Ia selalu memulai surat yang akan ia baca dalam shalat dengan surat al-Ikhlas sampai selesai.
- Setelah itu ia membaca surat lain setelah al-ikhlas. Ia melakukannya disetiap rakaat.
- Sahabat yang lainnya menegurnya. Mereka berkata: “engkau memulainya dengan surat ini. dan engkau merasa tidak cukup dengan surat al-ikhlas sampai engkau membaca surat lain. Pilih saja salah satunya, cukup membaca al-Ikhlas atau tidak membaca al-Ikhlas namun membaca surat lain.
- Ia menjawab: “saya tidak akan meninggalkannya!” kalau kalian setuju aku mengimami kalian dengan cara saperti itu saya akan jadi imam. Kalau kalian tidak setuju saya tidak akan jadi imam.
- Jamaah sholat melihat bahwa Ia adalah orang terbaik diantara mereka. Mereka tidak ingin orang lain mengimami. Ketika Nabi saw menginjungi mereka mereka menceritakan kejadian itu..
- Kemudian Rasulullah bertanyakepada imam tadi:”Apa yang membuat engkan menolak untuk mengerjakan apa yang diminta sahabatmu?
- Apa yang membuatmu selalu membaca surat ini disetiap rakaat?
- Imam masjid menjawab: “saya mencintainya”
- Rasulullah saw berkata:”Kecintaanmu terhadap surat al-Ikhlas membuatmu masuk surge
- Seorang Sahabta Selalu membaca al-Ikhlas Sebelum Ruku’
- Rasulullah SAW mengutus sebuah pasukan perang (sariyah). Pasukan tersebut dipimpin seseorang.
- Pimpinan pasukan selalu membaca surat al-Ikhlas untuk mengakhiri bacaanya.
- Ketika pasukan kembali mereka bertanya kepada Rasulullah saw tentang perbuatan pimpinan mereka.
- Rasulullh saw menyuruh mereka untuk menanyakan hal itu pada pimpinan mereka. Beliau berkata: “tanyakan kepada dia, kenapa melakukan hal itu?”
- Kemudian mereka menanyakannya . Ia menjawab:”karena surat tersebut sifat Ar-Rahman ( Allah ) , dan saya suka membacanya .
- Rasulullah saw berkata: “kabarkan kepada dia bahwa Allah mencinyainya. (Hadis Riwayat Bukhori, Muslim dan Nasai )
Rasulullah Menolak Sujud Muaz kepadanya.
- Rasulullah saw tidak setuju dengan sujudnya Muadz bin Jabal RA kepadanya.
- Muadz ra ketika berkunjung ke Syam atau yaman melihat Nashrani sujud kepada pendeta. Juga melihat yahudi sujud kepada pendeta.
- Rasulullah saw bertanya kepada Muadz:”untuk apa mereka melakukan hal ini? Mereka menjawab:”Ini adalah penghormatan kepada para Nabi. “ Aku mnjelaskan:”Kami lebih berhak untuk melakukannya kepada nabi kami.”
- Kemudian Rasulullah saw berkata:”mereka berbohong kepada Nabi-nabi mereka, sebagaimana mereka merubah kitab suci mereka, kalau saya disuruh untuk memerintahkan sujud seorang manusia kepada seorang manusia maka saya akan menyuruh perempuan untuk sujud kepada suaminya.” (Hasi riwayat Ahmad, ibnu Majah, Hakim, Thabrani, Haitsami dalam al-mujmma’ ilid:4 hal:568 )
Manhaj Rasulullah Dalam Menilai Menerima atau menolak hal baru dalam Agama.
- Kalau melihat atau mendengar yang baru, Rasulullah saw tidak langsung memvonis bidah.
- Rasulullah saw. bertanya sebab dilakukannya amalan baru tersebut
- Kemudian Rasulullah saw menilai apakah diterima atau ditolak. Menerima yang sesuai dengan Syariat
- Menolak yang tidak sesuai
Seorang Sahabat Membuat Bacaan Dalam Shalat Dan Nabi SAW Tidak Mengajarkannya
عن أَنَسٍ أَنَّ رَجُلًا جاء فَدَخَلَ الصَّفَّ وقد حَفَزَهُ النَّفَسُ فقال الْحَمْدُ لِلَّهِ حَمْدًا كَثِيرًا طَيِّبًا مُبَارَكًا فيه فلما قَضَى رسول اللَّهِ ص م صَلَاتَهُ قال أَيُّكُمْ الْمُتَكَلِّمُ بِالْكَلِمَاتِ فَأَرَمَّ الْقَوْمُ فقال أَيُّكُمْ الْمُتَكَلِّمُ بها فإنه لم يَقُلْ بَأْسًا فقال رَجُلٌ: جِئْتُ وقد حَفَزَنِي النَّفَسُ فَقُلْتُهَا. فقال: لقد رأيت اثْنَيْ عَشَرَ مَلَكًا يَبْتَدِرُونَهَا أَيُّهُمْ يَرْفَعُهَا (صحيح مسلم ج1/ص419 )
Disebutkan bahwa seseorang datang tergesa-gesa menuju shalat. Nafas dia mendorongnya , kemudian dia bisa mendapatkan ruku,
- Kemudian takbir dan mengucapkan hamdalah.
- الْحَمْدُ لِلَّهِ حَمْدًا كَثِيرًا طَيِّبًا مُبَارَكًا فيه
- Rasulullah bertanya siapa yang mengucapkan kalimat tadi.
- Tidak seorangpun menjawab.
- Rasulullah mengulang pertanyaanya dan berkata sesungguhnya ia tidak mengucapkan hal yang buruk.
- Kemudian ia mengaku dan memberikan alasan bahwa ia terdorong oleh nafanya dan mengucapkan hamdalah dengan lafadh tadi
- Setelah itu Rasulullah saw bersabda:”saya melihat duabelas malaikat berlomba sipa diantara mereka yang duluan menuliskannya.”
Apa Yang Difahami Dari Hadis-Hadis Tersebut?
Pendapat Pertama:
- Dibolehkan Karena Taqriir (Persetujuan) dari Rasulullah SAW.
- Setelah Rasulullah SAW Meninggal tidak ada taqriir.
- Maka Segala Inovasi dalam Ibadah Bidah.
Pendapat Kedua:
- Dibolehkan Karena Sebab taqrir, yaitu Hal Tersebut Termasuk perbuatan Baik.
- Allah Menyuruh kita Untuk melakukan amal al-khoir
- Bidah dibolehkan selama dalam kategori amal al-khoir, Disebut Bidah hasanah.
- Ayat Yang Memerintahkan Amal al-Khoir
فَاسْتَبِقُوا الْخَيْرَاتِ إِلَى اللَّهِ مَرْجِعُكُمْ جَمِيعًا فَيُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ فِيهِ تَخْتَلِفُونَ (المائدة:48)
فَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ خَيْرًا يَرَهُ (الزلزلة:7)
وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ وَمَا تُقَدِّمُوا لِأَنْفُسِكُمْ مِنْ خَيْرٍ تَجِدُوهُ عِنْدَ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ (البقرة:110)
وَمَا تَفْعَلُوا مِنْ خَيْرٍ يَعْلَمْهُ اللَّهُ ( البقرة: 197)
وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ (آل عمران:104)
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا ارْكَعُوا وَاسْجُدُوا وَاعْبُدُوا رَبَّكُمْ وَافْعَلُوا الْخَيْرَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ ( الحج : 77)
Bagaimana Memahami “amal khoir”
- Apabila sesuai dengan
- Dalil syariat
- Kaidah Umum Syariat
- Maqodhid syariat
Manhaj Para Sahabat Tentang Hal-hal Baru Setelah Rasulullah Saw. Wafat.
Hal Baru YangDiterima
- Abu Dzar ra.banyak melakukan shalat sunnah tanpa memperhatikan jumlah rakaatnya.
- Mutharrif bin Abdillah berkata, “Saya duduk bersama beberapa orang Quraisy. Tiba-tiba datang seorang laki-laki, kemudian ia shalat, ruku dan sujud, namun tidak duduk setelah dua rakaat.
- Aku pun berkata, ‘Menurutku, orang itu tidak tahu apakah dia menyudahi rakaat shalatnya dalam jumlah genap atau ganjil.’
- Mereka berkata, ‘Kenapa tidak kamu temui dia dan beritahu dia?’
- Aku pun berdiri menemuinya seraya berkata, ‘Wahai hamba Allah, saya tidak tahu, apakah kamu shalat dengan jumlah rakaat genap atau ganjil.’
- Ia menjawab, ‘Tetapi, Allah Maha Mengetahui. Saya mendengar Rasulullah Saw. bersabda:
- مَنْ سَجَدَ لِلَّهِ سَجْدَةً، كَتَبَ اللهُ لَهُ بِهَا حَسَنَةً، وَحَطَّ بِهَا عَنْهُ خَطِيئَةً، وَرَفَعَ لَهُ بِهَا دَرَجَةً.
- “Barangsiapa sujud (shalat) kepada Allah sebanyak satu kali, Allah akan mencatat baginya satu kebaikan karenanya; akan menghapus satu kesalahan karenanya; dan mengangkat satu derajat untuknya.”
- Aku bertanya, ‘Kamu siapa?’
- Ia menjawab, ‘Abu Dzar.’
- Aku pun kembali kepada teman-temanku dan berkata, ‘Semoga Allah membalas kalian dengan keburukan, hai teman-teman yang buruk! Kalian menyuruhku untuk mengajari salah seorang Sahabat Rasulullah!’” (h.r. Ahmad))
- Abu Dzar ra. memperbanyak rukuk dan sujud. Beliau tidak duduk setelah dua rakaat untuk membaca tasyahud. Beliau tidak juga mengucapkan salam di antara dua rakaat. Bahkan, Beliau tidak berniat melakukan shalat dalam jumlah rakaat tertentu. Semua ini beliau lakukan karena senang memperbanyak jumlah sujudnya.
- Imam Haitsami berkata, “Imam Ahmad dan Al-Bazzar meriwayatkan hadits ini dengan beberapa sanad. Sebagian diriwayatkan oleh para perawi hadits shahih. Hadits ini juga diriwayatkan oleh Thabrani dalam Al-Mu’jamu al-Ausath.” (Al-Majma’, 2/514).
- Ibnu Abbas ra. mengingkari perbuatan Muawiyah bin Abu Sofyan ra. yang mencium rukun Iraqi dan rukun Syami ketika tawaf.
- Ibnu Abbas ra. berkata kepada Muawiyah ra., “Rasulullah Saw. hanya mencium Hajar Aswad dan Rukun Yamani ketika tawaf.”
- Muawiyah ra. menjawab, “Tidak ada satu pun bagian Ka’bah yang tidak dihormati.”
- Ibnu Abbas ra. membaca ayat:“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu, suri teladan yang baik bagimu.” (q.s. Al-Ahzab: 21)
- Muawiyah ra. berkata, “Ya. Kamu benar.” (h.r. Bukhari, Ahmad dan Tirmidzi)
- Imam Syafi’i berkata, “Kita tidak mencium keduanya --Rukun Iraqi dan Rukun Syami—bukan karena mengabaikannya. Bagaimana mungkin Ibnu Abbas mengabaikannya, padahal ia sedang bertawaf mengelilinginya? Akan tetapi, kami mengikuti Sunnah Rasulullah Saw., baik dalam hal melakukan atau meninggalkan sesuatu. Jikalau meninggalkan Rukun Iraqi dan Rukun Syami termasuk mengabaikan keduanya, pastilah meninggalkan bagian-bagian Ka’bah di antara keduanya juga dianggap mengabaikannya; padahal tidak ada seorangpun yang mengatakan seperti itu.”
Kesimpulan Manhaj Sahabat
- Sahabat membedakan, dengan ilmu dan pemahaman yang Allah karuniakan kepada mereka, antara perkara-perkara baru yang baik yang diperbolehkan untuk dilakukan dengan perkara-perkara baru yang buruk dan diharamkan untuk dilakukan.
- setiap perbuatan baik yang dianjurkan dan sesuai dengan dalil-dalil serta kaidah-kaidah umum syariat, termasuk bagian dari perkara-perkara baru yang baik dan terpuji, dengan syarat tidak bertentangan dengan dalil syar’i, tidak menimbulkan kerusakan, tidak menafikan atau bertentangan dengan petunjuk Rasulullah Saw.
- Sebaliknya, perkara-perkara baru yang bertentang dengan dalil-dalil dan kaidah umum syariat, atau bukan bagian perkara yang diperintahkan secara umum, atau menimbulkan masalah kerusakan ajaran agama atau perkara duniawi, atau bertentangan dengan contoh dan petunjuk Rasulullah Saw., merupakan perkara-perkara baru yang tercela dan bid’ah sesat yang diperingatkan oleh Rasulullah Saw. dalam sabdanya:
كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ، وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ، وَكُلُّ ضَلاَلَةٍ فِي النَّارِ.
“Setiap perkaara baru adalah bid’ah; semua bid’ah adalah kesesatan; dan semua kesesatan berada dalam neraka.”
Kendati seluruh ulama menjauhi bid’ah dan meyakinibahwa membuat perkara baru dalam urusan agama adalah haram, namun para ulama –salaf ataupun khalaf—berbeda pendapat dalam memberikan hukum untuk sebuah perkara bid’ah.
Perbedaan Pendapat Ulama Terdahulu
Manhaj Mudhoyyiqiin dalam menilai bidah:
- Tidak pernah dilakukan salaf sholeh.
- kalau seandainya baik maka salaf sholeh akan terlebih dahulu melakukannya.
- Ketika terdapat muqtadho ( sesuatu yang mengharuskan terjadinya suatu hal) dan tidak terdapat hal yang menghalanginya (al-mani’) dan sahabat tidak melakukannya maka hal ini menunjukkan bahwa hal baru tesebut haram
- Syariat Sudah sempurna
- «اليومَ أَكْملتُ لكم دينَكم وأَتممتُ عليكم نِعْمتي ورضيتُ لكم الِإسلامَ دِيناً»
- Adanya Bidah mengisyaratkan bahwa Islam Belum Sempurna dan Ini bertentangan
Pertanyaan Yang Menggangu
- Apakah mudhoyyiqun konsisten dalam menerapkan konsep dan manhaj bidah?
- Apakah bidah antara haq dan bathil?
- Apakah Pelaku bidah tidak usah didengar perkataanya?
- Apakah setiap Bidah sesat dan setiap yang sesat di neraka?
Perbedaan Pendapat Ulama
Perbandingan Antara Tiga Amalan Baru Dalam Agama
- Pertama: perayaan Maulid Nabi
- Kedua: sholat qiyam lail di sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan
- Ketiga: Asyaul-walidain
Kesimpulan:
Ketiga amalan tersebut mirip dari berbagai sisi. seharusnya hukumnya pun mirip.
Seluruh argumen yang dipakai untuk menolak maulid nabi seharusnya dipakai pula untuk menolak sholat qiyam Ramadhan dan ‘asyaul-walidain.
Lanjutan ….
- Barang siapa mengharamkan perayaan maulid Nabi karena berbagai sebab, maka seharusnya mengharamkan sholat qiyam di sepuluh terkhir bulan Ramadhan. Juga harus mengharamkan ‘asyaul-walidain karena sebab yang sama.
- Usaha untuk membedakan ketiganya dalam hukum sama sekali tidak berdasarkan dalil yang diakui.
- Usaha membedakannya hanya berdasarkan pada salah satunya terbiasa dilakukan dan yang lainnya tidak terbiasa dilakukan.
- Ada pepatah mengatakan: “barang siapa tidak mengenal sesuatu maka ia akan memusuhinya”
Realita permasalahan Bidah
- Kesepakatan teori dalam definisi bidah tidak secara otomatis sepakat dalam menilai bidahnya hal-hal baru dalam agama.
- Adalah suatu hal yang sangat sulit untuk sepakat dalam menetapkan hukum bidah terhadap suatu hal yang baru dalam agama, bahkan dikalangan ulama yang memandang sempit makna bidahpun termasuk hal sulit. Padahal mereka memandang segala hal yang baru dalam agama adalah bidah.
- Sebagian orang yang tergesa-gesa menghukumi sesuatu dengan bidah terkadang tidak melandasinya dengan dalil syar’i dan kaidah syariat yang baku. Kaidah syar’i yang ada terkadang dilanggar.
- Menilai sesuatu bidah lebih disebabkan karena realitas lingkungan yang mereka hadapi. Sesuatu inovasi baru dalam agama yang menjadi tradisi mereka diberi fatwa boleh dan tidak ada keraguan bahwa hal tersebut tidak bidah. Sebaliknya inovasi baru dalam agama yang tidak sesuai dengan tradisi mereka diberi fatwa bid’ah dan haram yang tidak diragukan
Pesan yang disampaikan melalui buku ini
- Menjelaskan secara detail makna bidah dari berbagai sisi yang sangat komplek
- Perbedaan pendapat dalam hukum berbagai hal-hal yang baru dalam agama, secara khusus hal-hal praktis, antara disyariatkan dan bidah, terkadang masuk dalam lingkup perbedaan pendapat yang dibolehkan, berkisar antara ash-showab (tepat) dan al-khoto yang (tidak tepat). Tidak semua masalah berada dalam lingkup al-haq dal al-bathil.
- Pesan yang ingin disampaikan melalui buku ini
- Dari sisi teori, sepakat dalam definisi bidah dan hukumnya mungkin mudah. Namun sangatlah sulit sepakat dalam menerapkan hukum bidah kepada beberapa hal baru dalam agama.
- Sejak jaman salaf sholeh para ulama berbeda pendapat dalam menentukan definisi bidah dan hukumnya. Perbedaan tersebut sangat tajam.
- Mengarahkan para pemuda kebangkitan Islam yang peduli terhadap agamanya dan menjaga mereka dari melakukan sesuatu yang berakibat patal yang disebabkan pemahaman mereka yang sempit tentang bidah.
- Pesan yang ingin disampaikan melalui buku ini
- Bagi pihak yang menghukumi dan menilai hal-hal baru, apakah bidah atau tidak, hendaknya menahan diri dan berhati-hati dalam menuduh seorang muslim dengan tuduhan melakukan bidah dalam agama. Karena para ulama berselisih pendapat dalam banyak masalah. Perselisihan mereka sangat jelas dalam masalah-masalah tersebut, antara menilainya sunah, mustahab, boleh dan bidah. Kalaulah para ulama, benteng syariah, berbeda pendapat dalam penilaian sesuatu yang baru , bukankah lebih baik kalau seandainya kaum muslimin saling memaklumi dalam perbedaan pendapat mereka terhadap berbagai masalah yang dinilai bidah?
- Toleransi Dalam Masalah Ijtihadiyah