Home » , , » Imam Izzuddin bin Abdussalam

Imam Izzuddin bin Abdussalam

Oleh: 
H. Habib Ziayadi
Mahasiswa Mahad Aly An-Nuaimy Angkatan ke-3
Pengasuh Ponpes Darul Muhibbin

Tokoh kita kali ini adalah seorang alim yang mumpuni keilmuannya. Ia memang tidak setenar Imam mazhab empat, Imam Nawawi, Imam Ghazali, atau Imam Ibnu Taimiyah. Namun kontribusinya terhadap dakwah, ilmu, dan jihad tercatat dengan tinta emas sejarah Islam. Ia adalah Abdul Aziz bin Abdissalam bin Abi Al-Qasim bin Hasan bin Muhammad bin Muhadzdzab, bergelar Izzuddin (kemuliaan agama).Masyarakat pada masa itu memanggilnya dengan Abu Muhammad.
Ia dilahirkan di Damaskus. Mengenai tahun kelahirannya, para sejarawan berbeda pendapat. Ada yang mengatakan, ia dilahirkan pada tahun 577 H. Sebagian mencatat bahwa ia lahir tahun 578 H. Namun pendapat pertama lebih kuat. Imam agung ini wafat pada tahun 660 H di Kairo.
Gelar Izzuddin diberikan sesuai dengan adat pada masa itu. Setiap khalifah, sultan, pejabat, terlebih lagi para ulama diberi tambahan gelar pada namanya. Gelar ini nantinya lebih melekat dalam dirinya. Sehingga ia lebih dikenal dengan nama Izzuddin bin Abdussalam atau Al-Izz bin Abdussalam.
Di samping itu, ia juga digelari Sulthan Al-Ulama (raja para ulama) oleh muridnya, Ibnu Daqiq Al-id. Ini sebagai legitimasi atas kerja keras beliau menjaga reputasi para ulama pada masanya. Usaha itu diimplementasikan dalam sikap-sikapnya yang tegas saat melawan tirani dan kediktatoran. Beliaulah yang mengomandani para ulama dalam beramar ma’ruf nahi mungkar.
Selama beberapa tahun ia menjabat qadhi di kota Damaskus. Namun, karena tidak sejalan dengan penguasa di kota itu, beliau hijrah menuju Mesir. Ia akhirnya bermukim di kota Kairo. Najmuddin Ayyub, penguasa kota saat itu, menyambut kedatangannya. Ia kemudian ditasbihkan sebagai khatib masjid Jami’ Amr bin Al-Ash dan Qadhi di Kairo.

Sanjungan Para Ulama Terhadapnya
Tajudin As-Subki menyebutnya sebagai Syaikhul Islam wal Muslimin, salah satu imam terkemuka, sultanul ulama, imam pada masanya yang tidak ada duanya, penyeru kepada yang ma’ruf dan pencegah kemungkaran, orang yang memahami hakikat, rahasia, dan maqasid (tujuan) syariat.
Ibnu Katsir menulis dalam Al-Bidayah wa An-Nihayah, “Al-Izzu adalah mahaguru mazhab dan pemberi mamfaat pada kelompoknya. Ia memiliki karya-karya yang fenomenal, menguasai mazhab, menghimpun banyak ilmu, memberi kontribusi yang berarti bagi murid-muridnya, aktif mengajar di madrasah-madrasah, berhenti kepadanya tongkat kepemimpinan As-Syafi’iyah, dan ia dimintai fatwa di berbagai daerah. Ia adalah orang yang lemah lembut, rupawan serta banyak mengutip syair.”
Salah satu muridnya, Syaikh Sihabuddin Abu Syamah mengatakan,”Ia adalah orang yang lebih layak menyampaikan khutbah dan memimpin shalat. Ia telah menghilangkan bid’ah yang dilakukan oleh para khatib, seperti mengetukkan pedang pada mimpar. Ia juga mencegah orang-orang melakukan shalat Raghaib dan Nisfu Sya’ban.”
Imam Al-Izzu tidak hanya terkenal karena keluasan ilmunya, tetapi ia termasuk ahli zuhud yang amat lembut hatinya, santun perangainya, dan gampang memberi maaf. Ia juga sering melantunkan doa untuk pemimpin kaum muslimin, dengan harapan semoga mereka diberi hidayah dan taufiq oleh Allah SWT.
Syaikh Badr bin Jamaah meriwayatkan bahwa meskipun Imam Al-Izzu hidup seadanya, ia banyak bersedekah. Terkadang ia menghadiahkan surban yang ia miliki kepada orang fakir, jika ia tidak memiliki harta yang perlu disedekahkan.

Ulama yang Beramar Ma’ruf Nahi Mungkar
Di antara tugas ulama yang paling utama adalah beramar ma’ruf nahi mungkar. Dalam hal ini, Imam Al-Izzu berada di garda terdepan dalam mengaplikasikan tugas tersebut. Setiap kali melihat perbuatan ma’ruf ditinggalkan, ia menyeru umat untuk mengerjakannya. Sebaliknya bila perbuatan mungkar merajalela, ia tak segan-segan turun tangan mencegahnya.
Rasulullah SAW pernah menyatakan bahwa sebaik-baik jihad adalah mengatakan yang haq di depan penguasa yang zalim. Bagi seorang Al-Izzu, hadits tersebut sebagai pelecut semangat. Sehingga tidak jarang ia harus mendatangi para penguasa untuk sekedar menyampaikan nasihat dan kritikan di depan mereka secara langsung.
Pernah suatu ketika Imam Izzuddin Ibnu Abdus Salam menemui Sultan Najamudin Ayyub yang tengah duduk dalam istananya. Pada saat itu istananya yang megah tengah ramai. Imam Al-Izzu berkata,”Hai Ayyub, apa hujjahmu di depan Allah bila Dia bertanya padamu,’bukankah Aku telah memberikanmu kekuasaan di Mesir, lalu kenapa kamu menjual Khamar.’”
Sultan menjawab,”Apa itu benar terjadi?”
“Benar, seorang wanita menjual khamer di kedainya sedang engkau asyik-asyik duduk di istanamu!” Jawab sang Imam.
“Tuanku, itu adalah kebijakan sultan sebelumnya yaitu ayahku.” Sultan membela diri.
“Berarti engkau termasuk di antara mereka yang mengatakan ‘inna wajadna aba’ana ala ummah’ (Sesungguhnya Kami mendapati bapak-bapak kami menganut suatu agama, dan Sesungguhnya kami orang-orang yang mendapat petunjuk mereka).” Beliau lalu meminta sultan menutup kedai itu.
Imam Al-Izzu ditanya apa ia tidak takut saat mengeritik sultan di majelis yang penuh dengan orang-orang yang culas. Beliau menjawab,”Anakku, aku menghadirkan ketakutan pada Allah, serta merta sultan bagaikan kucing di hadapanku.” Sultan akhirnya menutup kedai yang dimaksud dan sejak saat itu ia berkomitmen tidak akan membiarkan setiap kemunkaran yang ada.

Ulama yang Mujahid
Tatkala tentara musyrik Tartar memasuki kota Baghdad, ibu kota daulah Abbasiah, mereka berhasil melengserkan kekuasaan kaum muslimin yang sudah rapuh saat itu. Mulailah mereka membantai kaum Muslimin tanpa ampun, menodai kehormatan Muslimah, serta membakar jutaan lembar buku-buku Islam dan sains. Selanjutnya mereka mengincar negeri Islam lain seperti Mesir dan Syam.
Di tengah kondisi genting, penguasa Syam dan Mesir sepakat berdamai. Sebelumnya mereka nyaris berperang untuk berebut pengaruh seiring melemahnya kekuatan Pemerintahan Baghdad. Maka para umara dan ulama melakukan rapat merembukkan langkah-langkah penting yang hendak dipersiapkan. Selain persoalan militer, persoalan yang dibahas adalah pendanaan jihad mengingat kas Negara nyaris ludes.
Majulah Imam Al-Izzu, dengan lantang beliau berkata, “Jika dana baitul mal nyaris habis, emas dan perak (bahan dasar mata uang dinar dan dirham) juga begitu, sedangkan kondisi para pejabat sama dengan kondisi rakyatnya, maka tidak masalah menarik pajak. Sebab pajak itu untuk melawan musuh, rakyat wajib memberikan hartanya, bahkan jiwanya.” Seketika mantaplah tekad para umara dan umara untuk memobilisasi kekuatan, baik harta dan pasukan.
Imam Al-Izzu turut serta menghadang tentara Tartar bersama kaum Muslimin. Bahkan, beliaulah tokoh intlektual di balik aksi jihad itu. Sejarah mencatat bahwa pada tanggal 5 Ramadhan 658 H (1260 M) kaum Muslimin berhasil mematahkan serangan tentara Tartar di Ain Jaluth. Padahal pada masa itu, bangsa Tartar terkenal sebagai imperium yang begitu mendominasi. Namun, berkat persatuan dan semangat jihad yang digalang oleh Imam Al-Izzu, kaum Muslimin berjaya, bahkan berhasil merebut Irak, Uzbekistan, dan lain-lain.

Para Guru dan Muridnya
Ia berguru kepada Syaikh Fahruddin bin Asakir, belajar ushul dari Syaikh Saifuddin Al-Amidi, belajar hadits dari Al-Hafizh Abu Muhammad Al-Qasim dan Al-Hafizh Al-Kabir Abu Al-Qasim bin Asakir. Ia juga menimba ilmu dari Barakat bin Ibrahim Al-Kasyu’I, Al-Qadhi Abdusshamad bin Muhammad Al-Harastani, dan lain-lain. Demikian menurut Imam As-Subki dalam Thabaqat Asy-Syafi’iyah.
Imam As-Subki juga menyebut sebagian murid-murid Imam Al-Izzu di antaranya: Ibnu Daqiq Al-Id, Imam Alaudin Abu Muhammad Ad-Dimyathi, dan Al-Hafizh Abu Bakar Muhammad bin Yusuf bin Masdi.

Karya-karyanya
Izzuddin Al-Husaini menilai Imam Al-Izzu sebagai tokoh sentral ilmu pada masanya yang menguasai berbagai disiplin keilmuan. Adapun menurut ulama lainnya, Imam Al-Izzu adalah Sultanul Ulama dan Syaikhul Ulama. Ia bagaikan lautan ilmu dan pengetahuan. Ia termasuk orang yang disebut “ilmunya lebih banyak daripada karyanya”. Di antara karya-karya beliau adalah:
1. Al-Qawaid Al-Kubro
2. Al-Qawaid As-Shughra
3. Qawaidhul Ahkam fi Masalihil Anam
4. Al-Imamah fi Adillatil Ahkam
5. Al-Fatawa Al-Misriyah
6. Al-Fatawa Al-Maushuliyah
7. Majaz Al-Qur’an
8. Syajarah Al-Ma’arif
9. At-Tafsir
10. Al-Ghayah fi Ikhtishar An-Nihayah
11. Mukhtasar Shahih Muslim dan lain-lain

Semoga Allah mensucikan ruhnya dan memberikan pahala yang sempurna kepada beliau atas amal dan jihadnya. Semoga kaum Muslimin memperoleh keberkahan ilmunya demi kejayaan Islam dan Muslimin.

Kitab Qawaidul Ahkam fi Mashalihil Anam

Imam Izzuddin bin 'Abdussalam, seorang ulama bermadzhab Syafi'i yang wafat pada tahun 660 H menulis sebuah kitab yang diberi judul Qawa'idul Ahkam fii Mashalihil Anam. Kitab ini menjelaskan berbagai maslahat yang terkandung di dalam amal ibadah, muamalat, dan berbagai aktivitas seorang hamba.
Ia memberikan penjelasan berkenaan dengan tujuan penulisan kitab ini, "Tujuan penulisan kitab ini ialah untuk memberikan penjelasan tentang pelbagai maslahat dalam melakukan ketaatan, mu'amalah, dan tingkah laku supaya para hamba berupaya mencapainya; memberikan penjelasan mengenai mudharat menentang ajaran Allah, agar mereka bisa menghindarinya; memberikan penjelasan mengenai maslahat berbagai ibadah agar mereka melakukannya; penjelasan mengenai didahulukannya sebagian kemaslahatan atas sebagian yang lain, dan diakhirkannya sebagian mafsadat atas mafsadat yang lain; serta penjelasan mengenai perbuatan yang dilakukan oleh manusia yang dia tidak mempunyai kekuasaan untuk melakukannya.”
Ia melanjutkan,”Syari'ah agama ini secara keseluruhan mengandung berbagai macam kemaslahatan; baik berupa penolakan terhadap kerusakan atau pengambilan kemaslahatan. Jika Anda mendengarkan firman Allah: "Wahai orang-orang yang beriman," maka perhatikan pesan yang datang setelah panggilan ini, pasti Anda tidak akan menemukan kecuali kebaikan yang dianjurkan olehnya, atau keburukan yang Anda dilarang melakukannya, atau keduanya sekaligus.
Kelebihan kitab ini terletak pada kecermatan penulisnya dalam mengklasifikasi maslahat dan mafsadat sesuai dengan tingkatannya. Selanjutnya ia memaparkan secara lugas alasan-alasan pengklasifikasian itu berdasarkan nash-nash yang ada. Di sini, tampak sekali kualitas keilmuan penulis dalam memahami Maqasid As-syari’ah (tujuan penetapan syariat) secara mendalam dan komprehensif.
Sebagai contoh, menurut Imam Al-Izzu, secara global tingkatan maslahat ada dua. Pertama, maslahat yang diwajibkan oleh Allah kepada hamba-hamba-Nya. Maslahat yang diwajibkan ini dapat diklasifikasi menjadi tiga; maslahat yang afdhal (paling utama), maslahat yang fadhil (utama), dan maslahat yang berada di antara keduanya. Maslahat yang afdhal adalah maslahat yang tertinggi, yakni maslahat yang menegasikan mafsadat yang paling besar, sekaligus mendatangkan maslahat yang paling rajih. Contoh dari maslahat yang afdhal ini adalah iman kepada Allah. Sesungguhnya Rasulullah saw. Pernah ditanya tentang amalan yang paling utama; dan beliau menjawab, "Yaitu iman kepada Allah." Beliau ditanya lagi tentang amalan yang berada di tingkat bawahnya; dan beliau menjawab, "Berjihad di jalan Allah." (HR Bukhari)
Kedua, maslahat yang disunnahkan oleh Allah. Yakni maslahat yang diserukan oleh Allah demi memperbaiki keadaan sekalian hamba. Yang perlu dicatat adalah bahwa kedudukan maslahat tertinggi dari maslahat yang disunnahkan ini masih di bawah kedudukan maslahat terrendah dari maslahat yang diwajibkan. Maknanya, amalan wajib tidak boleh dikalahkan –bagaimana pun– oleh amalan sunnah
Mafsadat juga ada dua. Pertama, mafsadat yang diharamkan oleh Allah untuk didekati. Dan kedua, mafsadat yang dimakruhkan oleh Allah untuk didekati. Mafsadat yang diharamkan untuk didekati diklasifikasikan menjadi tiga: mafsadar kabir (besar), mafsadat akbar (lebih besar), dan mafsadat yang berada di antara keduanya. Rasulullah saw. pernah ditanya tentang dosa yang paling besar. Beliau menjawab, "Menjadikan sekutu bagi Allah, padahal Dia yang menciptakanmu." Beliau ditanya, berikutnya apa? Beliau menjawab, "Membunuh anak karena khawatir anak itu ikut makan harta." Beliau ditanya lagi, kemudian apa? Beliau menjawab, "Berzina dengan istri tetangga." (HR Bukhari dan Muslim)
Tokoh kita kali inilah termasuk peletak dasar fiqhul Aulawiyat (Fiqih Prioritas) di samping Imam Al-Ghazali. Demikianlah menurut penuturan Dr. Yusuf Al-Qaradhawi. Ulama kontemporer ini pun sebelum menulis kitab Fiqhul Aulawiat harus mendalami kitab karya Imam Al-Izzu ini terlebih dahulu, sebagaimana ia mendalami kitab Ihya Ulumiddin karya Imam Al-Ghazali.
Membaca kitab Qawa'idul Ahkam fii Mashalihil Anam, mengajarkan bagaimana kita memahami posisi Maqasid As-Syariah terhadap nash-nash Al-Qur’an dan As-Sunnah. Kitab ini adalah jawaban bagi mereka yang mencoba membenturkan antara nash dengan maqasid dan mereka yang mengabaikan kandungan maqasid di dalam nash. Tampak sekali dalam kitab ini fleksibelitas syariat Islam berkat orisinalitas pemikiran Imam Izzuddin bin Abdussalam.

Referensi Utama:
1. 60 Biorafi Ulama Salaf, Syaikh Ahmad Farid
2. Qawa'idul Ahkam fii Mashalihil Anam, Imam Izzuddin bin Abdussalam
3. Qobasat min Hayati Ar-Rasul, Syaikh Ahmad Muhammad Assaf
4. Fiqhul Aulawiyat. DR. Yusuf Al-Qaradhawi
Berbagi itu indah: :
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
 
Copyright © 2011. Mahad Aly An-Nuaimy - All Rights Reserved
Template by Creating Website