Ilustrasi |
Oleh:
H. Habib Ziayadi
Mahasiswa Mahad Aly An-Nuaimy Angkatan ke-3
Pengasuh Ponpes Darul Muhibbin
|
At-Tawrist dan At-Tadwin
Bila kita membuka membuka lembaran sejarah Islam klasik, kita seakan bernostalgia dengan pencapaian luar biasa segolongan ummat yang bernama kaum Muslimin. Sebuah peradaban unggul dan cemerlang. Ungggul dengan pencapaian ilmu pengetahuan dan teknologi, ghirah keagamaan yang kuat, dan luasnya wilayah kekuasaan yang hampir menguasai separuh dunia. Namun kini apa yang tersisa dari itu semua? Yang tersisa bukan megahnya gedung, melimpahnya emas dan perak, atau indahnya arsitektur bangunan.Tentara-tentara meninggal dan negara-negara hancur, tinggallah kitab-kitab ulama meriwayatkan kemuliaan sepanjang masa. Itulah warisan mulia meskipun tidak seluruhnya berhasil diselamatkan akibat keganasan tentara Salib dan bangsa Tar-tar.
Dalam sebuah tausyiahnya di Ponpes al-Hananiyah NW, Panji Sari Praya pekan lalu, Gubernur NTB, yang akrab disapa Tuan Guru Bajang, mengungkapkan bahwa mengapa hanya ilmu yang tersisa dari peradaban Islam itu. Jawaban atas pertanyaan tersebut disimpulkannya dalam dua istilah, at-tawrits dan at-tadwin.
Pertama, istilah at-tawris maksudnya bahwa ilmunya para ulama itu diwariskan kepada murid-muridnya secara turun temurun. Ilmu itu diperoleh melalui beberapa metode, yang dalam istilah ilmu hadits disebut turuq at-tahammul hadits yang berjumlah delapan. Baik itu melalui as-sama’ (mendengar lafadh syaikh), al-qira’ah (membaca kepada syaikh) al-ijazah (mengijazahkan ilmu), al-munawalah (menyerahkan karyanya untuk ditelaah), al-kitabah (menulis atau menyalin keterangan syaikh), al-I’lam (menginformasikan kepada murid), al-washiyyah (mewasiatkan), dan al-wijadah (menemukan kitab ulama).
Ulama-ulama besar itu banyak memiliki murid-murid yang berkualitas sehingga mampu menyambung estafet keilmuan gurunya. TGB, menyebutkan bahwa ulama pendiri 4 mazhab fiqih yaitu Imam Abu Hanifah, Imam Malik bin Anas, Imam Muhammad bin Idris As-Syafi’i dan Imam Ahmad bin Hanbal merupakan model keberhasilan at-tawris. Mereka berhasil mewariskan ilmu yang sangat berharga, kemudian ilmu itu ditransper terus-menerus kepada generasi berikutnya oleh murid-muridnya.
Demikianlah seharusnya dalam pendidikan kita. Ilmu itu adalah warisan. Bila kita mengajarkan ilmu, seolah-olah kita membagi warisan kepada peserta didik kita. Bahkan kedudukan warisan ilmu itu lebih berharga dari pada harta. Sebab, ilmu itu warisan para Nabi. Para Nabi tidak mewariskan harta. Oleh karena itu para guru harus profesional dan proporsional membagi warisan. Selanjutrnya para murid pun harus siap sedia, bersemangat, ikhlas hati menerima warisan tersebut.
Kedua, istilah at-tadwin maksudnya bahwa ilmu yang telah diwariskan tersebut tidak hanya direkam oleh ingatan namun dilestarikan dalam bentuk tulisan. Maka jadilah ia kitab. Keunggulan ummat Islam masa lampau dalam bidang tulis-menulis diakui oleh semua pihak. Para ulama tidak hanya berhasil mencetak murid yang berkualitas, namun mereka pandai menguraikan ide dan gagasannya melalui tulisan. Selanjutnya para muridnya melakukan hal yang dilakukan oleeh gurunya. Doktor Tafsir lulusan Al-Azhar Mesir ini kembali menyebut 4 Imam pendiri mazhab, mengapa hanya mazhab mereka yang tersebar hingga hari ini. Itu karena murid-murid mereka kreatif dan produktif meneruskan “ijtihad cemerlang” para maha gurunya. Dan tidak jarang kapabelitas keilmuan seorang guru dan murid setara bahkan ada yang lebih hebat muridnya. Hal ini bukan bukan bumerang. Sebab, seorang guru yang hebat adalah bila mana ia mampu mencetak murid yang melebihi kualitas dirinya.
Seiring dengan perkembangan luar biasa pada ilmu pengetahuan, agama, dan, umum, serta munculnya industri pembuatan kertas, mendorong lahirnya para ilmuan, dan ulama yang mengabadikan pemikirannya dalam bentuk mengoleksi dan mengumpulkan buku dan manuskrip. Keadaan ini didorong juga dengan adanya apresiasi yang tinggi kepada para penulis buku. Seberapa berat karya mereka, seberat itulah hadiah yang diberikan khalifah atau sultan berupa emas. Buku atau manuskrip yang dikoleksi itu berisi berbagai gagasan, konsep, dan teori sesuatu yang sangat penting. Dengan demikian, mendorong setiap masyarakat terpelajar untuk mengoleksi buku dan manuskrip tersebut, serta menghimpunnnya dalam sebuah perpustakaan.
Untuk memberi resposisi terhadap tantangan zaman itu secara kreatif dan bermanfaat, kita dituntut dalam istilah Nurkholis Majid, kita wajib memiliki kekayaan dan kesuburan intelektual. Kekayaan dan kesuburan intelektual inilah yang disebut sebagai “suatu tradisi intelektual, karena ia tidak terwujud seketika setelah dimulai penggarapannya, melainkan tumbuh dan berkembang dalam waktu yang panjang.
Peradaban Islam juga telah menghasilkan berbagai buku yang sangat banyak dalam berbagai bidang keilmuan, baik sastra maupun seni. Hampir tidak adapun cabang ilmu pengetahuan kecuali ada yang menuliskannya dalam bidang tersebut. Di antara karya-karya tersebut ada yang ditulis dalam buku-buku kecil, menengah, dan ada pula yang sangat besar seperti sebuah ensiklopedi.
Para sejarawan Muslim dan Barat menyebutkan dalam dunia Islam, terdapat ribuan bahkan puluhan ribu perpustakaan yang menyimpan buku, baik di Baghdad, Damaskus, Kairo, Yaman, maroko, Andalusia, Nisafur, Khurasan, dan Samarkhand. Ini menunjukkan bahwa Ummat Islam adalah ummat yang mencintai ilmu. Posisi kitab dan karya ulama menempati posisi yang penting di samping urusan politik dan pemerintahan. Bahkan kedudukan ulama lebih tinggi derajatnya dibanding umara’ atau penguasa.
Gubernur termuda di Indonesia dari kalangan santri ini mengutip ungkapan ulama bahwa ingatan yang panjang itu akan kalah oleh tulisan pensil yang kecil runcing. Ingatan itu akan pudar dengan bertambahnya usia dan banyaknya kesibukan. Namun tulisan atau karya itu abadi meskipun penulisnya telah tiada. Cucu pendiri organisasi Nahdlatul Wathan, TGKH. M. Zainuddin Abdul Madjid ini menceritakan bahwa di antara ulama itu ada yang mencurahkan umurnya hanya untuk mengoleksi manuskrip, menyalin, menerjemahkan, menulis, meneliti, mentahqiq, menyebarkan ilmu pengetahuan. Mereka menganggap bahwa menuntut ilmu pengetahuan adalah ibadah, bahkan jihad di jalan Allah SWT. Mereka adalah para pecinta ilmu pengetahuan, pengabdi ilmu penegtahuan, sebagaimana kini dijalani dan coba dilanjutkan oleh para penulis dan pemikir dari aktifis Islam, para ulama, dosen, ustadz, dan pengajar.
Bagi penulis menarik apa yang ditulis oleh Aidh al-Qarni. Beliau mengatakan, “Barangsiapa ingin mengetahui tingginya kedudukan para ulama dari para khalifah, maka bandingkan di antara ulama-ulama dan khalifah-khalifah yang semasa: di antaranya as-Sya’bi dan Abdul Malik, az-Zuhri dan Hisyam bin Abdul Malik, Abi Hanifah dan al-Mansur, Malik dan ar-Rasyid, Ahmad bin Hanbal dan Al-Mu’tashim, as-Syafi’i dan al-Makmun.” Siapakah yang lebih lestari nama dan ilmunya hingga hari ini? Tentu para ulama itu. Nama mereka harum mewangi, meskipun jasad mereka telah terkubur ratusan bahkan seribu tahun lalu.
Di akhir tausyiahnya TGB memotivasi para orang tua dan pendidik agar mendidik anak mereka dengan sebaik-baiknya dan jangan lupa iringi mereka dengan doa. Kepada anak-anak mereka diajak untuk meningkatkan kualitas dengan rajin belajar, berprestasi, dan jangan malu menjadi anak pesantren. Pelajar juga jangan lupa pada “sembek” (bahsa Lombok: resep) yang paling mujarab, yaitu doa orang tua.