Habib Ziadi
Alumni Mahad An-Nu'aimy Jakarta
Angkatan ke-3
Asal Lombok
Alumni Mahad An-Nu'aimy Jakarta
Angkatan ke-3
Asal Lombok
Tidak semua orang dilahirkan dalam keadaaan sehat jasmani. Sebab, mereka yang terlahir dalam keadaan cacat fisik jumlahnya tidak sedikit. Semua itu bukan pilihan dan kemauan kita, tapi semata-mata ketentuan atau qada’ dan qadar dari Allah SWT semata. Dia hendak menampakkan tanda-tanda kekuasaan-Nya di hadapan makhluk-Nya. Tujuannya agar manusia tidak congkak dan takabur. Ini juga sinyal bahwa tidak semua yang diidam-idamkan manusia bisa terwujud. Ada takdir dari Maha Kuasa.
Saya beberapa kali menolong orang, baik diminta atau tidak. Namun ada satu pengalaman menarik yang hingga saat ini masih menggugah batin saya, yaitu ketika objek yang saya tolong adalah kaum tunanetra. Maksud saya di sini bukan dengan menuntun mereka menyeberangi jalan, namun bentuk momen yang berbeda. Izinkan saya sedikit bercerita runut kejadiannya.
Peristiwa ini tepatnya saat saya menginap beberapa hari di masjid Al-Ikhlas Jurumudi Tangerang. Beberapa sahabat saya tinggal di masjid itu sebagai takmir. Saya baru tahu bahwa setiap hari Ahad di tempat itu diadakan ta’lim khusus bagi kaum tunanetra. Mereka belajar membaca Al-Qur’an Braille, belajar melafazkan doa-doa, dan pendalaman aqidah dan fiqih.
Subhanallah antusias mereka belajar sangat luar biasa. Peserta ta’lim membludak. Lantai dasar masjid yang cukup luas penuh terisi. Hanya saja suasana agak sedikit gaduh karena sebagian membawa anak-anak. Mereka berlarian dan bercanda, sehingga cukup mengganggu suasana belajar hari itu.
Perjuangan mereka sungguh luar biasa. Ada yang datang berkelompok dengan mencarter mikrolet. Ada yang didampingi suami, istri atau anknya. Bahkan tidak sedikit yang datang sendiri tanpa dituntun seorang pun. Saya mulai iba melihat mereka yang datang sendiri. Saya membantu mereka memasuki masjid.
Saat hendak ke kamar kecil, sudah barang tentu hal itu menyulitkan mereka. Banyak kesulitan yang mereka alami karena jumlah toilet yang terbatas. Mau tidak mau mereka harus bertubrukan satu sama lain. Saya harus membantu memberikan kenyamanaan bagi mereka. Saya tuntun mereka satu persatu. Setelah itu saya ajak mereka kembali mengikuti ta’lim. Mereka yang terlambat datang pun kadang-kadang langsung ingin buang air kecil sehingga mereka harus sabar mengantri.
Semangat belajar agama mereka membuat saya terkagum-kagum. Keterbatasan penglihatan tidak memadamkan ghirah mereka. Status sebagai tunanetra tidak menjadi alasan untuk malas menuntut ilmu. Sebagai bukti, hingga ta’lim ditutup dengan shalat Zuhur dan makan siang, tak ada seorang pun beranjak meninggalkan majelis.
Saat beranjak pulang pemandangan sembrawut terlihat lagi. Hati inipun terketuk untuk kembali berbuat. Bersama beberapa sahabat, saya tuntun beberapa orang keluar masjid. Sebagian dari mereka ada yang kehilangan tongkat dan sandalnya tertukar. Kasihan sekali mereka. Beberapa rombongan sudah naik mikrolet. Sisanya pulang bersama penuntun masing-masing.
Sampailah akhirnya saya menuntun orang terakhir di masjid itu, seorang bapak berusia lima puluhan. Bapak itu mengaku ditinggal rombongan. Saya bertanya apa ia punya ongkos, ia menjawab tidak punya. Tanpa berpikir panjang saya kembali ke masjid untuk mengambil uang secukupnya. Bapak itu menirima dengan ucapan terima kasih. Batin saya menangis. Kepada saya ia berterus terang bahwa keterbatasan ini tidak menghalanginya belajar agama. Luar biasa. Saya benar-benar salut.
Banyak pelajaran berharga yang saya peroleh terutama dari ungkapan hati bapak tadi. Saya kagum sekaligus terharu. Saya mulai berpikir, mulai bercermin pada diri sendiri, sejauh mana saya mensyukuri nikmat penglihatan titipan Allah ini. Sepintas ingatan saya tertuju pada sahabat Nabi saw yang juga tunanetra, Ibnu ummi Maktum ra. Betapa beliau dengan keterbatasannya tidak mau kalah dalam bertafaqquh fiddin. Generasi Ibnu Ummi Maktum ternyata masih ada, tetap eksis, dan bersemangat. Semoga Allah SWT menjaga mereka.
[muslimdaily.net]