BEGINILAH DAI SEJATI
Oleh Yanuar Rizki Pahlevi
Ketika itu, ada dua pemuda yang tengah berdakwah kepada kaum Kota. Jumlah mereka amat sedikit apabila dibandingkan dengan penduduk Kota itu sendiri. Tapi, mereka tidak peduli. Apapun bentuk dan seberapapun jumlah yang harus dihadapi, tiadalah berbanding dengan Mahabesarnya Allah sebagai tujuan segala perjuangannya.
Pun,
sebagaimana banyak cerita orang. Menyeru, mengajak, apalagi kepada manusia,
terlebih menyerunya adalah kepada kebenaran, bukanlah hal yang mudah.
Senantiasa ada batu uji yang khas bagi setiap generasi. Allah telah menjanjikan
ujian-ujian itu, baik berupa kesedihan, kemiskinan, kelaparan, bahkan ujian
berupa buah-buahanpun Allah janjikan untuk dihadapi kaum beriman.
Adalah
dua pemuda itu dikisahkan dalam permulaan surah Yaasiin. Diceritakan dua pemuda
itu kemudian melancarkan dakwahnya kepada penduduk Kota. Tapi belum juga
membuahkan hasil yang memuaskan. Bahkan, penduduk Kota justru mendustakan
seruan dakwah itu. Sampai-sampai, Allah mengutus kembali seorang utusan untuk
menguatkan dua orang pemuda yang pertama.
Bertambahnya
kekuatan dalam barisan dakwah adalah keberkahan. Bertambahnya kekuatan kader
dakwah adalah sebuah hadiah dari Allah untuk terus melipatgandakan
cakupan-cakupan dakwah. Bertambahnya kekuatan adalah bukti betapa Allah
mencintai hambaNya yang senantiasa menyebarkan risalah kebenaran.
Sampai
kemudian, ketiganya berseru kepada penduduk Kota, “Sesungguhnya kami adalah
utusan Allah…” Sebuah seruan yang tulus. Sebuah penyampaian yang apa adanya
bahwa apa-apa yang dibawa oleh ketiganya bukanlah kreatifitas individu yang
bisa sangat liar. Namun yang dibawa ketiganya adalah apa-apa yang diperintahkan
oleh Allah untuk disebarkan. Apa yang dibawa ketiganya adalah apa yang Allah
berikan kepada manusia agar manusia berada dalam jalan keselamatan.
Tapi,
apa jawaban penduduk kota terhadap seruan ini? Mereka menjawab, “Kamu tidak
lain hanyalah manusia seperti kami dan Allah yang Maha Pemurah tidak menurunkan
sesuatupun, kamu tidak lain hanyalah pendusta belaka.” Siapa yang hatinya tak
perih? Mencintai umat dengan menyampaikan risalah akhirat justru disematkan
label pendusta belaka?
Ah,
iya. Dahulu, Rasulullah bergelar Al-Amin -yang bisa dipercaya-, tapi pemuka
Quraisy tetap banyak yang mendustakan risalah kenabiannya. Segala cacian dan
makian tidak juga melunturkan semangat Rasulullah dalam menyebarkan risalah
Islam. Begitu pula, ketiga pemuda dalam surat Yaasiin. Sematan ‘Pendusta
Belaka’ bukanlah penilaian yang penting untuk difikirkan. Ada yang jauh lebih
penting, yaitu penilaian Allah yang Mahatinggi.
Bahkan,
kejujuran itu makin bertambah-tambah, ketiga pemuda itu mengatakan, “Tuhan kami
mengetahui bahwa sesungguhnya kami adalah orang yang diutus kepada kamu, dan
kewajiban kami tidak lain hanyalah menyampaikan perintah Allah dengan jelas.”
Penyampaian visi dakwah telah jelas secara gamblang dan transparan. Bahwa
sejatinya, berada di jalan dakwah bukanlah untuk yang lain kecuali hanya
menyampaikan perintah Allah dengan jelas.
Berbicara
kepada manusia, bahkan dengan bahasa kejujuranpun, yang nampak tetaplah
kebencian. Ya. Kebencian yang diada-adakan. Penduduk Kota menjawab,
“Sesungguhnya kami bernasib malang karena kamu, sesungguhnya jika kamu tidak
berhenti menyeru kami, niscaya kami akan merajam kamu dan kamu pasti akan
mendapat siksa yang pedih dari kami!”
Apa
kabar hati andai kitalah yang berada diposisi ketiga pemuda itu? Mundur? Takut?
Mungkin, inilah yang disebut air susu dibalas dengan air tuba. Cinta dibalas
dusta. Madu dibalas racun. Ketulusan berdakwah bukan saja disematkan label
pendusta, tapi juga dianggap sebagai sumber kemalangan. Fitnah semakin menjadi
ketika keberanian semakin meninggi. Ujian semakin berat ketika tekad semakin
kuat terpatri dalam hati.
Dituduh
sebagai pembawa kemalangan bukanlah sesuatu yang mudah. Dianggap pembawa
kehancuran, pemecah persatuan umat dan lain sebagainya. Tapi Allah, melalui
Al-Quran meyampaikan kepada kita bahwa ujian itu akan kita lewati. Dituduh
sebagai pembawa kemalangan. Dan tidak berhenti sampai disitu. Bukan sekedar
dianggap pembawa kehancuran, tetapi juga ancaman rajam yang berarti kematian. Ya,
diancam!
Begitulah
jalan dakwah itu. Banyak orang mencatatkan bahwa perjalanannya menanjak, penuh
onak dan duri, bahkan banyak penentang, lagi sedikit orang yang mau melaluinya.
Tetapi
ketiga pemuda tadi tidaklah berhenti. Keyakinan akan Allah yang telah menancap
di hati-hati mereka kian kuat. Tidak mampu digoyahkan dengan ancaman rajam dari
lisan-lisan yang pada akhirnya mereka tetap cintai sebab Allah, sehingga mereka
menjawab, “Kemalangan kamu adalah karena kamu sendiri, apakah jika kamu diberi
peringatan kamu bernasib malang? Sebenarnya kamu adalah kaum yang melampaui
batas.”
Bahkan,
logika telah dimainkan dalam berdakwah. Bagaimana mungkin peringatan adalah
nasib buruk? Bukankah justru ia termasuk ke dalam nasib baik? Sebab tidak semua
orang mendapatkan peringatan hingga terjerumus masuk ke dalam kubangan dosa.
Bahkan kali ini ada pemuda dari penduduk Kota yang lari tergopoh-gopoh dari
ujung Kota menyampaikan kepada kaumnya, “Hai kaumku, ikutilah utusan-utusan
itu..! Ikutilah orang yang tiada minta balasan kepadamu dan mereka adalah
orang-orang yang mendapatkan petunjuk.” Kini, satu dari penduduk Kota yang
telah memfitnah utusan Allah rupanya telah mendapatkan hidayah dariNya. Sampai
ia-pun ikut menyeru kaumnya untuk mengikuti tiga utusan Allah itu. Bahkan, ia
menutup dengan nada bertanya, “Mengapa aku tidak menyembah Tuhan yang telah
menciptakanku dan yang hanya kepada-Nya-lah kamu semua dikembalikan?”
Lagi-lagi, logika dimainkan.
Kemudian
Ibnu Katsir dalam tafsirnya menuliskan ketiga pemuda utusan Allah itu dihabisi
penduduk Kota yang tetap menolak dakwahnya. Tidak tanggung-tanggung, peristiwa
itu menyebabkan ketiganya meninggal dunia. Duhai… Bahkan, setelah ada pengakuan
iman dari salah satu penduduk Kotapun, ancaman bahkan ujian kematian tetap datang,
dan Allah hadiahkan surga kepada ketiganya.
Hingga
ketika mereka merasakan indahnya surga, bukan syukur yang mereka ucap. Bukan
nikmatnya surga yang mereka wujudkan menjadi kata yang pertama kali mereka
ucapkan. Tetapi yang pertama kali
mereka ucapkan ketika menginjak surga adalah, “Alangkah baiknya sekiranya
kaumku mengetahui… “(Yaasiin[36]: 26)
Sudah seperti apakah ujian dakwah
kita, sampai kita berani berfikir tentang lelah dan kecewa?
Dakwatuna.com