Oleh Ahmad
Mifdlol Muthohar
Dakwatuna.com –
Serial artikel ini saya tulis, berangkat dari sms taushiyah sederhana yang
ditulis oleh Ustadz Abdul Aziz Abdur Rauf -hafizhahullah- yang telah beredar banyak
di dunia maya.
“Sesekali kita
gak bela diri. Tapi kita akui kekurangan kita. 10 tahun sudah dakwah ini
berjalan di tempat (kalau angka 7% jadi patokan, semoga patokan ini salah).
Tapi kalau ternyata benar, kesimpulan ana: musuh-musuh dakwah selama ini tidak
bisa lagi dihadapi dengan iman dan keshalihan yang biasa-biasa dan standar.
Tapi harus dengan keimanan yang mutamayyiz (yang luar biasa). Tilawah gak cukup
lagi dengan 1 juz. Qiyamullail gak cukup lagi 10 menit… dan seterusnya.
Jadi semakin berat musuh dakwah, semakin besar
hubungan mujahid dengan Allah. Ilmu syar’i pun juga harus semakin meningkat.
Kalau tidak dengan pendekatan seperti ini selamanya kita tidak menyadari
kekurangan kita. Dan terus akan selalu mendapatkan pembenaran tanpa menyadari
kekurangan. Saat 2009 kita katakan ini gara-gara tsunami SBY. 2014 kita katakan
Ini badai penghancuran citra. Entah apa lagi alasan kita di 2019. Jadi
kebobrokan musuh hanya bisa dilawan dengan keunggulan iman dan ilmu. Mari kita
mulai dari diri kita sendiri….”
Demikianlah semangat
kader-kader dakwah yang senantiasa mengevaluasi diri semaksimal mungkin.
Mengintrospeksi diri tentang kekurangan, kesalahan, kelemahan, maksiat dan
seterusnya, yang menggerogoti keimanan para kader, hingga membuat mereka tidak
berdaya menghadapi para musuh atau stagnan.
Namun saya ingin
melihat dari sisi lain dalam hal ini. Bukan tentang para kader jundi
sebagaimana yang ditekankan dalam sms ustadz, tetapi tentang para kader qiyadah
(pimpinan dakwah), yang meliputi semua level, semenjak tingkat ranting,
kecamatan, kabupaten, provinsi dan apalagi tingkat nasional, juga meliputi
semua level, semenjak tamhidi hingga purna. Sama sekali bukan ditujukan pada
personal tertentu, atau kelompok qiyadah tertentu, tetapi untuk perbaikan semua
qiyadah jamaah dakwah secara keseluruhan.
Jika memang
jamaah ini mau membenahi dirinya secara optimal, maka perubahan besar dalam
dirinya pun juga harus dilakukan (QS. 13: 11). Tidak hanya pada level jundi,
tetapi juga pada level qiyadah. Terkadang kader dakwah salah memahami dan
kesulitan membedakan antara memberikan nasihat dan ketidaktaatan. Seolah-olah
jika mengkritik atau memberi masukan atau menyarankan itu berarti tidak taat.
Padahal jelas dalam hadits disebutkan bahwa agama itu adalah nasihat, di
antaranya adalah untuk pemimpin dan rakyat.
Lihatlah
bagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menerima saran Hubab bin Mundzir
untuk menduduki sumur yang terdekat dengan musuh pada perang Badar, padahal
sebelumnya beliau telah memutuskan suatu tempat lainnya. Lihat pula bagaimana
Umar menerima saran wanita yang memprotes kebijakan Umar yang melarang mahar
yang mahal, lalu diingatkan wanita dengan Al-Quran An-Nisaa’ ayat 20 dan secara
legowo Umar mengatakan, “wanita ini benar dan lelaki ini salah” (maksudnya
dirinya sendiri).
Pernah pula seorang lelaki menghunus pedangnya
di hadapan Umar, sambil mengatakan bahwa jika Umar menyimpang, pedang yang
dihunusnya yang akan meluruskan. Luar biasa, bukannya emosi menghadapi itu,
tetapi justru Umar mengucapkan hamdalah pada Allah ta’ala karena masih ada
orang yang seperti itu keberaniannya dalam meluruskan penyimpangan, di era
kepemimpinannya.
Proses jamaah
dakwah dalam memperbaiki diri ini harus terus berlanjut. Pengalaman-pengalaman
pahit sebelumnya mesti dapat diambil pelajaran dan hikmahnya. Pada masa pasca
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam wafat, pemerintahan berangsur-angsur
semakin memburuk secara umum, terutama setelah masa Khulafaurrasyidin.
Namun itu
berbeda dengan masa pemerintahan umat Islam di akhir zaman, secara logika
implisit yang disebutkan oleh banyak hadits, semestinya pemerintahan umat Islam
di akhir zaman, akan berangsur-angsur menjadi baik.
Jika anda
mendengar hadits bahwa Rum -atau Romawi, atau Italia saat ini- akan ditaklukkan
suatu ketika oleh umat Islam, tentu kesimpulannya adalah bahwa umat Islam saat
itu telah dapat bersatu atau sebagian besar telah kuat persatuannya, dan tentu
oleh qiyadah yang luar biasa.
Jika anda
mendengar hadits tentang batu dan pohon bisa berbicara, maka tentu yang
mendengar pembicaraannya bukan orang mukmin sembarangan, namun ia adalah orang
mukmin yang memiliki kedekatan tertentu dengan Allah ta’ala. Dan
pasukan-pasukan itu mestinya digerakkan oleh qiyadah yang hebat.
Jika anda
mendengar hadits tentang tidak ada satu kawasan pun di akhir zaman, yang dihuni
manusia, kecuali akan datang Islam padanya, tentu itu oleh pasukan dalam jumlah
besar, yang meliputi semua kawasan di muka bumi, dan tentu mereka dipimpin oleh
qiyadah yang sangat tangguh.
Jika anda
mendengar hadits tentang makanan orang mukmin pada masa Dajjal adalah dzikir
pada Allah ta’ala, maka yang dapat melakukan itu adalah kader-kader dakwah yang
telah terbiasa berlama-lama melakukan ibadah, puasa, dzikir dan sebagainya. Dan
tentu mereka merupakan hasil didikan qiyadah yang kuat.
Jika anda
mendengar tentang hadits bahwa Imam Mahdi akan memimpin dunia ini dengan penuh
keadilan selama 40 (yang dalam riwayatnya tidak jelas, apakah tahun atau bulan
atau hari), maka tentu kepemimpinannya meliputi seluruh penjuru dunia, dan akan
membutuhkan sekian juta qiyadah di semua level semenjak desa, kecamatan,
kabupaten, provinsi, negara dan organisasi-organisasi dunia.
Tentu keadilan
tersebut akan dirasakan oleh semua orang di dunia, dan itu tidak mungkin
kecuali harus ada stok qiyadah dalam jumlah besar pula yang dipersiapkan dan
memiliki karakter baik, sehingga mampu menciptakan keadilan, memperkuat sang
Imam.
Tiada asap tanpa
api. Tidak ada gerakan tanpa hembusan angin. Jika selama ini kader-kader jundi
telah luar biasa kiprahnya di lapangan tanpa banyak bergantung dengan instruksi
qidayah, tentu akan lebih dahsyat lagi jika ada keterlibatan optimal dari para
qiyadah. Jika selama ini barangkali kader-kader dakwah yang bergerak hanya
separuhnya saja, maka melalui upaya maksimal qiyadah, yang bergerak dapat
menjadi dua pertiganya atau bahkan seluruhnya.
Berapa banyak
kader dakwah yang kemudian memilih jalannya sendiri di luar jamaah, hanya
karena ulah beberapa gelintir qiyadah, tanpa melihat dari sisi-sisi positifnya.
Berapa banyak kader dakwah yang melemah dalam tadhiyah, setelah melihat
beberapa qiyadahnya yang lembek. Sesungguhnya barangkali hanya memerlukan
beberapa pengorbanan sedikit lagi dari qiyadah,
kader-kader tersebut akan bangkit dari tidur panjangnya. Berapa banyak
kader yang bingung harus melakukan apa, di saat kader-kader yang lain berkiprah
di jalur politik, dan qiyadahnya tidak melihat tugas-tugas dakwah lainnya.
Ini bukanlah
untuk mencari kesalahan siapa-siapa. Ini adalah kesalahan kita bersama, yang
hanya perlu untuk diakui, lalu disadari dan kemudian dibenahi semaksimal
mungkin. Bukan untuk dicari apologinya, bahwa ini adalah proses tamhish
(penyaringan) alami, yang terjadi di setiap perjuangan dakwah.
Sesungguhnya
tamhish yang luar biasa adalah tamhish Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
yang tidak menyisakan dari 1400 kader yang ikut menuju Makkah, yang kemudian
berakhir dengan pembai’atan oleh semua orang dari mereka kepada Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam, kecuali hanya satu saja yang tidak ikut. Dan ia
diperkirakan sebagai orang munafik.
Kita berharap
dari gelombang qiyadah yang secara masif dicetak oleh kader-kader dakwah ini,
suatu ketika muncul seseorang yang kemudian disebut sebagai Imam Mahdi, yang
dalam satu riwayat disebutkan usianya sangat muda belia. Atau minimal masuk
dalam salah satu dari 313 orang yang berbaiat pertama kali kepada Imam Mahdi,
atau jika tidak, setidak-tidaknya masuk dalam kelompok qiyadah-qiyadah yang
berjuang keras di bawah kepemimpinan beliau.
Demikian pula
bagi akhwat-akhwat yang kita didik, semoga suatu ketika menjadi pasangan dari
para pejuang dakwah tersebut, di jalan Allah. Jika masa itu masih jauh dari
kita, maka setidak-tidaknya kita akan mendidik para qiyadah yang akan mencetak
mereka di kemudian hari, sepeninggal kita. Amin. Wallahu a’lam bish-shawab.