Latest Post
06.45
Pengantar Tafsir
Al-Qur’an adalah kitab suci agama Islam yang
dijadikan sebagai pedoman hidup yang paling fundamental (manhaj al-hayat
al-asasi). Ia diturunkan oleh Allah
swt sebagai petunjuk (al-huda), cahaya
penerang (an-nur), bukti (al-burhan), penyembuh (asy-syifa’) dan
pembeda antara yanng haq dengan yang batil (al-furqon). Keberadaan
al-Qur’an juga diperuntukkan sebagai sumber hukum bagi manusia (dustur lil
ummah), hidayah bagi makhluk sekaligus sebagai tanda kebenaran risalah
Rasul saw. Ia adalah mu’jizat yang abadi sepanjang kurun dan masa.
Dalam menginterpretasi teks suci, dibutuhkan adanya penafsiran. Demikian
juga dengan al-Qur’an. Tafsir al-Qur’an memiliki peran yang sangat signifikan
dalam menjabarkan firman Allah. Tafsir secara etimologi berasal dari bahasa
Arab,fassara, yang bemakna menerangkan atau menjelaskan. Sedang secara
terminologi, tafsir merujuk kepada ilmu yang dengannya membantu memahami kitab
Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw, makna-makna, hukum-hukum dan
hikmah-hikmah yang terkandung di dalamnya. Orang yang menafsirkan disebut mufassir.
Secara historis, ilmu pertama yang lahir di kalangan umat Islam adalah ilmu
tafsir. Ilmu tafsir al-Qur’an sangat urgen karena ia merupakan ilmu asas yang di atasnya dibangun keseluruhan
struktur, tujuan, pandangan hidup dan peradaban Islam. Itulah sebabnya mengapa
Imam at-Thobari (W 310 H) menganggapnya sebagai ilmu yang terpenting
dibandingkan dengan ilmu lainnya. Alasan lainnya, tafsir adalah satu-satunya
ilmu yang berhubungan langsung dengan Nabi saw, sebab Beliau diperintahkan
Allah swt untuk menyampaikan risalah kenabian, “agar Kamu (Muhammad) dapat
menjelaskan kepada manusia apa-apa yang diturunkan kepada mereka”(QS. An-Nahl
44). Para sahabat langsung mendatangi Beliau bila terjadi permasalahn pelik
yang menimpa mereka. Di samping itu, Nabi saw menafsirkan sendiri ayat-ayat al-Qur’an yang menurut
hemat beliau memang membutuhkan penjelasan, baik itu bentuknya verbal atau
perbuatan yang kemudian menjadi sunnah.
Selepas wafatnya Nabi saw, tongkat estafet penafsiran dilanjutkan oleh para
sahabat. Dalam menafsirkan al-Qur’an, mereka berpedoman pada metodologi Nabi,
yaitu menafsirkan al-Qur’an dengan al-Qur’an lalu al-Qur’an dengan hadis. Bila
tidak menemukan pada keduanya, barulah mereka berijtihad. Dengan ini para
sahabat tidak serampangan dalam menafsirkan. Mereka amat berhati-hati. “Bumi
mana yang membawaku dan langit mana yang menaungiku jika aku mengatakan dalam
Kitab Allah apa yang tidak aku ketahui” ujar Abu Bakar ra. Dalam al-Itqon
karya Imam as-Suyuthi, para mufassir ternama di kalangan sahabat berjumlah 10
orang: kholifah yang empat, Ibnu Mas’ud, Ibnu Abbas, Ubay bin Ka’ab, zaid bin
Tsabit, Abu Musa al-As’ari dan Abdullah bin az-Zubair. Sedang riwayat yang
paling banyak sampai kepada kita di antara khulafaurrasyidin adalah berasal
dari Ali bin Abi Thalib. Ini disebabkan khalifah sebelunya wafat terlebih
dahulu.
Fase penafsiran berikutnya dilanjutkan oleh para Tabi’in.
Mereka tersebar ke berbagai lokasi. Tabi’in Makkah seperti Sa’id bi Jubair (W
95 H), Mujahid bin Jabar (w 104 H), Ikrimah maula Ibnu Abbas (105 H), Thawus
bin Kisan al-Yamani dan Atha’ bin Robi’ah (114 H). Mereka adalah hasil didikan
intensif Ibnu Abbas. Tabi’in Madinah seperti
Zaid bin Aslam, Abu al-Aliyah dan Muhammad bin Ka’ab al-Qurazi
meriwayatkan dari Ubay bin Ka’ab. Tabi’in Iraq seperti Ilqimah bin Qais,
masruq, al-Aswaq bin Yazid, Murah al-Hamzani, Qotadah dan Hasan al-Bashri
mengambil riwayat Abdullah bin Mas’ud.
Sejarah Penulisan dan Jenis Kitab Tafsir
Menurut
Ibnu Nadim, seorang sejarawan Muslim ternama, tafsir yang sudah ditulis oleh
pengarangnya sendiri dan termasuk yang paling awal adalah karya Sa’id bin
Jubair (W 95 H), seorang kibar at-tabi’in. Karya ini ditulis atas
permintaan Khalifah Abdul Malik bin Marwan (84 H). Namun karya ini tidak sampai
ke tangan kita. Karya tafsir yang termasuk paling tua dan sampai ke tangan kita
sekarang dan ditulis oleh pengarangnya sendiri adalah potongan dari al-Wujuh
wa an-Naza’ir karya Muqotil bin Sulaiman al-Balkhi (150 H) selain karya
tersebut, beliau juga menulis beberapa karya tafsir seperti Khomsumi’ah Ayah
min al-Qur’an, at-Tafsir fi Mutasyabih al-Qur’an dan at-Tafsir al-Kabir. Karangan
beliau ini menjadi pijakan para ulama lain, termasuk di antaranya Imam Sufyan
bin Uyainah (198 H), Imam as-Syafi’i (204 H) dan Imam Ahmad.
Sezaman
dengan Muqotil sendiri, sudah terdapat banyak mufassir lain. Di antaranya
adalah Abdurrahman al-Suddi (127 H), Muhammad bin al-Sa’ib al-Kalbi (146 H),
Syu’bah bin al-Hajjaj (160 H), Sufyan ats-Thauri (161 H) dan Ibnu Ishaq, ahli
siroh terkenal. Selain karya Muqotil itu, terdapat juga berbagai karya tafsir
yang dinisbatkan kepada para pengarangnya seperti al-Farra (207 H) dengan
karyanya Ma’ani al-Qur’an, Abdurrazzaq al-San’ani dengan karyanya Tafsir
al-Qur’an dan al-Akhfash al-Ausath dengan Ma’ani al-Qur’an.
Bagaimanapun
sejak abad pertama sampai abad ketiga Hijriah, belum ada yang menulis tafsir
secara utuh dari surat al-Fatihah sampai an-Nas. Penulisan secara utuh baru
dimulai pada abad keempat hijriah. Ini pertama kali dipelopori oleh Ibnu Jarir
at-Thobari (310H) dalam karya monumentalnya Jami’ al-Bayan fi Ta’wil
al-Qur’an. Beliau menggunakan metode isnad dalam penafsirannya. Tujuannya
agar tafsiran beliau tidak serampangan dan tetap berpegang pada penafsiran yang
otoritatif (hadis Nabi, komentar para sahabat dan tabi’in). Pendekatan Beliau
ini diikuti oleh Ibnu Katsir (774 H) dalam tafsirnya Tafsir al-Qur’an
al-Adzim dan Jalaluddin as-Suyuthi (911 H) dalam ad-Durr al-Mantsur fi at-Tafsir
bi al-Ma’tsur. Metode penafsiran semacam inilah yang disebut dengan at-Tafsir
bi ar-Riwayah atau at-Tafsir bi al-Ma’tsur.
Ulama
terdahulu menyamakan antara tafsir dengan ta’wil, contohnya Imam at-Thobari .
beliau menulis dalam tafsirnya, “pendapat atas ta’wilan ayat ini” atau “para
ahli ta’wil berbeda pendapat dalam ayat ini.” Ta’wil yang beliau maksud di sini
adalah tafsir. Pemahaman ini berdasarkan doa Nabi saw untuk Ibnu Abbas, Allohumma
faqqihhu fiddin wa allimhu at-ta’wil (ya Allah, jadikanlah ia fahih dalam
agama dan ajarkanlah ia ta’wil yaitu tafsir).
Adapun
ulama muta’akhirin membedakan antara keduanya. Ta’wil adalah penjelasan
terhadap sebagian makna dari ayat al-Qur’an yang mengandung beberapa
pengertian. Dalam definisi lain, tafsir adalah mengungkap makna-makna zahir
dalam al- Qur’an. Sedang ta’wil merupakan hasil istinbath para ulama terhadap
makna yang tersembunyi dan yang mengandung rahasia dari ayat-ayat al-Qur’an.
Demikian menurut as-Suyuthi dalam al-Itqon. Pendapat ini dikuatkan oleh
al-Alusi (1270 H) dalam Tafsir Ruh al-Ma’ani.
Di
samping metodologi yang ditempuh oleh Imam at-Thobari, sebagian mufassir
setelah beliau memilih metode Tafsir bi ad-Diroyah atau Tafsir bi ar-Ro’yi.
Metode ini mengoptimalkan ijtihad yang dibangun atas dasar-dasar yang shahih
dan kaidah-kaidah yang bisa diterima. Jadi
bukan semata-mata berpegang pada rasio bebas atau kepentingan ijtihad
pribadi yang bertentangan dengan riwayat yang shahih. Karena Nabi saw pernah
mewanti-wanti,”barangsiapa yang berkata tentang al-Qur’an semata-mata karena
rasionya, maka bersiaplah mengambil tempat duduknya di neraka.”(HR.
Bukhori)
Karya
tafsir yang menggunakan metode ini di antaranya: Mafatih al-Goib karya
Muhammad bin Umar ar-Razi (606 H), Anwar at-Tanzil karya al-Baidhawi
(675 H), Madariq at-Tanzil wa Madariq at-Tanzil karya an-Nasafy (701 H),al-Bahru
al-Muhith karya Ibnu Hayyan al-Andulisy dan Tafsir Jalalain karya
Jalaluddin as-Sayuthi dan Jalaluddin al-Mahalli (864 H).
Jenis ketiga dari metodologi tafsir adalah
At-Tafsir al-Isyari. Definisinya
adalah ta’wil terhadap al-Qur’an yang berbeda dengan zhohir nash yang ada
berdasarkan atas isyarat tersembunyi. Isyarat itu hanya bisa difahami oleh
sebagian ahli ilmu yang ‘arif billah lagi bersih hatinya. Dalam metode ini,
mufassir memandang pengertian yang berbeda dari zhohir ayat. Hanya ulama yang
diberi bashiroh (petunjuk) oleh Allah sajalah yang mampu mengungkap
isyarat tersebut.
Di
kalangan ulama sendiri, tafsir al-isyari ini menjadi polemik antara yang
membolehkan dan yang melarang. Bagi ulama yang membolehkan telah menetapkan dua
syarat diterimanya tafsir ini, pertama: tidak menafikan makna zhohir ayat
al-Qur’an. Kedua: tidak ada klaim bahwa ialah satu-satunya penafsiran yang
shahih bukan yang lainnya. Namun terkadang banyak para zindiq dan kaum ektrim
dari golongan tasauf dan Syiah menggunakan tafsir jenis ini untuk
menjustifikasi kesesatan mereka. Ada pula yang berdalih dengannya guna berlepas
diri dari syariat Islam. Di antara Tafsir al-Isyari yang ada adalah al-Kasyfu
wa al-Bayan karya an-Nisaburi, Ruh al-Ma’ani karya al-Alusi dan at-Tafsir
al-Qur’an al-Adzim karya at-Tasturi.
Selain
tafsir al-Qur’an, ilmu-ilmu penunjang tafsir juga telah dirumuskan secara
mapan. Kajian secara lebih khusus dan sistematis terangkum dalam ulum
al-Qur’an. Para ulama telah memilah-milah beberapa aspek terpenting seperti
asbab an-nuzul,al-Makiyyah wa al-Madaniah, an-nasikh wa al-mansukh,
al-muhkam dan al-mutasyabih, i’jaz al-Qur’an, i’rob al-Qur’an, qiroaah
al-Qur’an, amtsal al-Qur’an, gharaib al-Qur’an dan lain-lain.
Mengingat
bahwa mentafsirkan al-Qur’an adalah pekerjaan berat, para ulama menetapkan
kualifikasi seseorang layak menjadi seorang mufassir. Setidaknya ia harus
menguasai ushuluddin, mendalami Nahwu, sharf dan istihqoq, juga menguasai ushul fiqh, asbabun nuzul, nasikh dan
mansukh, ilmu qiroat, hadis dan fiqh. Tujuannya adalah agar mufassir bisa
menjaga keilmiahan karyanya sekaligus berperan memelihara keotientikan
al-Qur’an.
Pemaparan di atas menunjukkan
bahwa tafsir beserta ulum al-qur’an telah menjadi sebuah disiplin ilmu yang
sangat matang. Ia adalah bagian yang tak terpisahkan dari Islam. Karena ia
sudah lahir sejak wahyu belum diturunkan secara sempurna. Memang sebagai
mu’jizat yang abadi, al-Qur’an telah, sedang dan akan selalu ditafsirkan.
Karena Ia senantiasa memberikan aspirasi baru yang up to date terhadap fenomena
zaman yang ternyata sesuai dengannya. Karena itu penafsirannya tidak akan
terhenti dan akan terus menerus diulas dari berbagai perspektif cabang ilmu yang
berbeda. Tentu dalam koridor yang sudah ditetapkan oleh para ahli tafsir
melalui kaedah-kaedah yang sudah baku dan mapan.
Wallohu A’lamu bi as-Showab
21.55
Mukhoyyam Tarbawi ke-5
Mahad Aly An-Nuaimy menggelar acara tahunannya berupa Mukhoyyam Tarbawi ke-5 dan di tahun ini mengusung tema "نحو جيل واعد لمستقبل زاهر". Mukhoyyam ini diikuti oleh 188 peserta yang merupakan mahasiswa Mahad Aly An-Nuaimy.
Mukhoyyam (kemah) yang dilaksanakan pada tanggal 21-23 Desember 2012 ini bertempat di bumi perkemahan Cidahu Sukabumi. Hujan menyambut para peserta pada awal kedatangan dan hari-hari berikutnya, namun tidak membuat acara yang padat yang telah disusun berantakan. Inilah prinsip Scout Boy , tegar di segala medan. Nilai plus di acara mukhoyyam tidak hanya membina mental dan fisik akan tetapi mengedepankan sisi ruhani; karena itulah "Mukhoyyam Tarbawi" disematkan dan dengan tujuan membina generasi menjanjikan untuk masa depan gemilang.
Mukhoyyam pun di tutup dengan penyematan slayer tanda kelulusan peserta mukhoyyam setelah melalui rangkaian kegiatan selama tiga hari berupa materi, bela diri, pionering, out bond, saroya, dan long march lintas Gunung Salak dari Cidahu Sukabumi sampai ke Camp Ground Cibatok Bogor.
Label:
Galeri,
Info Terbaru
20.32
Iman Kepada Takdir
IMAN KEPADA TAKDIR
الحمد
لله الذي خلق كل شيء فقدره تقديرا وجرت الأمور على ما يشاء حكمة وتدبيرا
ولله ملك السماوات والأرض وإليه يرجع الأمر كله ولن تجد من دونه وليا ولا
نصيرا - وأشهد أن لا إله إلا الله له الملك وله الحمد وكان الله على كل شيء
قديرا وأشهد أن محمدا عبده ورسوله أرسله بين يدي الساعة بشيرا ونذيرا
وداعيا إلى الله بإذنه وسراجا منيرا صلى الله عليه وعلى آله وأصحابه
وأتباعهم وسلم تسليما كثيرا .
أما بعد, أيها الناس : اتقوا الله, اتقوا الله تعالى وآمنوا به, لعلكم تفلحون.
قال تعالى في كتابه الكريم, وهو أصدق القائلين:
أعوذ
بالله من الشيطان الرجيم – بسم الله الرحم الحيم { مَا أَصَابَ مِنْ
مُصِيبَةٍ فِي الْأَرْضِ وَلَا فِي أَنْفُسِكُمْ إِلَّا فِي كِتَابٍ مِنْ
قَبْلِ أَنْ نَبْرَأَهَا إِنَّ ذَلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيرٌ }{ لِكَيْ لَا
تَأْسَوْا عَلَى مَا فَاتَكُمْ وَلَا تَفْرَحُوا بِمَا آتَاكُمْ }
وقال
رسول الله: (( ... واعلم أن الأمة لو اجتمعت على أن ينفعوك بشيء لم ينفعوك
إلا بشيء قد كتبه الله لك ولو اجتمعوا على أن يضروك بشيء لم يضروك إلا
بشيء قد كتبه الله عليك رفعت الأقلام وجفت الصحف )) حديث حسن صحيح - سنن
الترمذي ج4:ص667
Hukum Iman kepada Taqdir
Jama’ah jum’ah rahimakumullah …
Salah
satu rukun iman yang wajib diimani oleh setiap muslim adalah beriman
kepada takdir yang baik maupun yang buruk. Karena iman seseorang tidak
akan sempurna sebelum ia beriman kepada takdir. Sedangkan imannya kepada
takdir tidak akan sempurna sampai ia beriman kepada empat hal.
Pertama,kita
wajib mengimani ilmu Allah yang meliputi segala sesuatu, karena
sesungguhnya Allah swt. Maha Tahu atas segala sesuatu. Allah Maha Tahu
segala-galanya, baik yang kecil maupun yang besar, yang tersembunyi
maupun yang nampak. Tidak ada sesuatupun di bumi ataupun di langit yang
luput dari pengetahuan Allah.
Kedua, kita wajib mengimani bahwa Allah menulis takdir tiap-tiap sesuatu - dari permulaan sampai hari kiamat - di lauhul mahfuzh,
dan itu jauh sebelum Dia menciptakan langit dan bumi dengan selisih
waktu 50.000 tahun. Sesungguhnya ketika Allah swt. menciptakan qalam atau “pena”, Dia berkata kepadanya, “Tulislah!” Qalam menjawab, “wahai Tuhanku, apa yang harus aku tulis?” Allah berkata, “Tulislah apa yang akan terjadi!” Maka Qalam menulis dengan ilmu Allah dan atas izin-Nya segala sesuatu yang akan terjadi sampai hari kiamat.
Ketiga,kita
wajib mengimani bahwa segala sesutau terjadi karena kehendak Allah dan
takdir-Nya. Apa yang dikehendaki Allah pasti terjadi, dan apa yang tidak
dikehendaki-Nya tidak akan terjadi. Kehendak Allah dan ketentuan-Nya di
atas kehendak semua makhluk. Karena pada hakikatnya tidaklah
makhluk-makhluk itu berkehendak kecuali atas kehendak Allah. Allah
berfirman, “dan tidaklah mereka berkehendak kecuali apabila dikehendaki Allah, Tuhan semesta alam.” (QS. At-Takwir: 29). “dan Allah berkuasa terhadap urusan-Nya, tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahuinya.” (QS. Yusuf: 21).
Keempat,
iman kita kepada takdir tidak akan sempurna sebelum kita beriman bahwa
Allah lah yang menciptakan segala sesuatu dan Dia-lah Yang mengatur dan
menjaganya. Tidak ada sesuatupun baik di bumi ataupun di langit, yang
kecil maupun yang besar, yang bergerak maupun yang diam kecuali pasti
diciptakan Allah dan karena kehendak-Nya. Ada di antara ciptaan Allah
yang tidak dapat kita ketahui sebab penciptaannya, namun ada pula yang
dapat kita ketahui sebab penciptaannya. Semua itu berasal dari Allah dan
merupakan ciptaan-Nya.
Ma’asyiral muslimin hafizhakumullah …
Sesungguhnya
apa yang telah ditetapkan bagi manusia tidak akan luput darinya, dan
apa yang tidak ditetapkan baginya tidak akan menimpanya. Karena Pena
telah kering dan kertas telah dilipat.
Allah swt. Berfirman dalam surat Al-Hadid: 22-23.
أعوذ
بالله من الشيطان الرجيم – بسم الله الرحم الحيم { مَا أَصَابَ مِنْ
مُصِيبَةٍ فِي الْأَرْضِ وَلَا فِي أَنْفُسِكُمْ إِلَّا فِي كِتَابٍ مِنْ
قَبْلِ أَنْ نَبْرَأَهَا إِنَّ ذَلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيرٌ } { لِكَيْ
لَا تَأْسَوْا عَلَى مَا فَاتَكُمْ وَلَا تَفْرَحُوا بِمَا آتَاكُمْ واللهُ
لاَ يُحِبُّ كُلَّ مُخْتاَلٍ فَخُوْر}
“Tiada
suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu
sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum
Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi
Allah. (kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita
terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu
gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. dan Allah tidak
menyukai Setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri,” (QS.
Al-Hadid: 22-23).
Maka
jika seseorang mendapati takdirnya tidak seperti yang diinginkannya,
maka wajib baginya untuk ridha dan merelakan ketetuan Allah dan
menyerahkan diri sepenuhnya pada ketentuan-Nya yang telah ditetapkan.
Karena tidak ada yang dapat menolak ketentuan Allah dan takdirnya. Maka
beruntunglah orang yang dapat menghadapi keadaan demikian dengan penuh
keridhaan, dan menyadari bahwa semua itu datang dari Allah untuk
dirinya, karena Allah swt. mempunyai hak mutlak dalam mengatur
makhluknya. Maka orang seprti ini akan mendapatkan balasan berupa pahala
baik di dunia maupun di akhirat.
Sesungguhnya
orang yang ditimpa berbagai macam cobaan atau musibah lalu dia bersabar
dan mengharapkan pahala di sisi Allah, maka Allah akan memberi petunjuk
pada hatinya, melapangkan dadanya, dan meringankan musibah itu baginya.
Kemudian dia akan dibangkitkan pada hari kiamat dalam keadaan sangat
butuh terhadap pahala dari Allah, maka ia menemukan pahala-pahala
musibah dan kesabarannya menghadapi musibah tersebut tersimpan di sisi
Allah swt. “Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas.” (QS. Az-Zumar: 10).
Kesalahan dalam memahami takdir
Jama’ah jum’ah a’azzakumullah …
Dalam
memahami takdir kita harus benar-benar hati-hati. Karena salah
memahaminya berarti salah dalam menyikapinya, dan jika salah
menyikapinya berarti kita telah menyesatkan diri kita sendiri dan
menyengsarakan kehidupan kita. Ada dua kelompok ekstrim dalam memahami
takdir. Yang pertama terlalu kiri dan yang kedua terlalu kanan.
Kedua-duanya sama-sama salah.
Yang pertama, adalah kelompok yang disebut dengan Qadariyah. Dan di dalamnya ada dua kelompok lagi. Kelompok pertama
adalah yang paling ekstrem. Mereka mengingkari ilmu Allah terhadap
segala sesuatu dan mengingkari pula apa yang telah Allah tulis di Lauhul Mahfuzh.
Mereka mengatakan bahwa Allah memerintah dan melarang, namun Allah
tidak mengetahui siapa yang taat dan siap yang berbuat maksiat. Perkara
ini baru saja diketahui, tidak didahului oleh ilmu Allah dan takdirnya.
Namun kelompok seperti ini sudah musnah dan tidak ada lagi. Sedangkan
kelompok kedua menetapkan ilmu Allah, namun meniadakan masuknya
perbuatan hamba pada takdir Allah. Mereka menganggap bahwa perbuatan
hamba adalah makhluk yang berdiri sendiri, Allah tidak menciptakannya
dan tidak pula menghendakinya. Inilah madzhab mu’tazilah.
Yang kedua, adalah kebalikan dari Qodariyah. kelompok ini berlebihan dalam menetapkan takdir, sehingga hamba seolah-olah dipaksa tanpa mempunyai kemampuan dan ikhtiyar
(usaha) sama sekali. Mereka mengatakan bahwasanya hamba itu dipaksa
untuk menuruti takdir. Oleh karena itu, kelompok ini dikenal dengan Jabariyyah.
Keyakinan
dua kelompok di atas adalah keyakinan yang salah sebagaimana
ditunjukkan dalam banyak dalil. Di antaranya adalah firman Allah dalm
surat at-takwir: 28-29.
{لمن كان منكم أن يستقيم} {وما تشاؤون إلا أن يشاء الله رب العالمين}
"(yaitu) bagi siapa di antara kamu yang mau menempuh jalan yang lurus.Dan kamu tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali apabila dikehendaki Allah, Tuhan semesta alam." (QS. At-Takwir: 28-29).
Ayat ini secara tegas membantah pendapat yang salah dari dua kelompok di atas. Pada ayat, “(yaitu) bagi siapa di antara kamu yang mau menempuh jalan yang lurus” merupakan bantahan untuk jabariyyah
karena pada ayat ini Allah menetapkan adanya kehendak (pilihan) bagi
hamba. Jadi manusia tidaklah dipaksa dan mereka berkehendak sendiri.
Kemudian pada ayat selanjutnya, “Dan kamu tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali apabila dikehendaki Allah, Tuhan semesta alam,” merupakan bantahan untuk qodariyyah
yang mengatakan bahwa kehendak manusia itu berdiri sendiri dan
diciptakan oleh dirinya sendiri tanpa tergantung pada kehendak Allah.
Ini perkataan yang salah karena pada ayat tersebut, Allah mengaitkan
kehendak hamba dengan kehendak-Nya.
Keyakinan yang Benar Dalam Mengimani Takdir
Ma’asyiral muslimin rahimakumullah …
Keyakinan yang benar adalah bahwa semua bentuk ketaatan, maksiat, kekufuran dan kerusakan terjadi dengan ketetapan Allah,
karena tidak ada pencipta selain Dia. Semua perbuatan hamba yang baik
maupun yang buruk adalah termasuk makhluk Allah. Dan hamba tidaklah
dipaksa dalam setiap yang dia kerjakan, bahkan hambalah yang memilih
untuk melakukannya.
As
Safariny mengatakan, “Kesimpulannya bahwa mazhab ulama-ulama terdahulu
(salaf) dan Ahlus Sunnah yang hakiki adalah meyakini bahwa Allah
menciptakan kemampuan, kehendak, dan perbuatan hamba. Dan hambalah yang
menjadi pelaku perbuatan yang dia lakukan secara hakiki. Dan Allah
menjadikan hamba sebagai pelakunya, sebagaimana firman-Nya (yang
artinya), “Dan kamu tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali apabila dikehendaki Allah”
(QS. At Takwir [81]: 29). Maka dalam ayat ini Allah menetapkan kehendak
hamba dan Allah mengabarkan bahwa kehendak hamba ini tidak terjadi
kecuali dengan kehendak-Nya. Inilah dalil yang tegas yang dipilih oleh
Ahlus Sunnah.”
Sebagian orang ada yang salah paham dalam memahami takdir. Mereka menyangka bahwa seseorang yang mengimani takdir itu hanya pasrah tanpa melakukan sebab sama sekali.
Contohnya adalah seseorang yang meninggalkan keluarganya berhari-hari
dengan alasan apapun. Kemudian dia tidak meninggalkan sedikit pun harta
untuk kehidupan istri dan anaknya. Lalu dia mengatakan, “Saya pasrah, biarkan Allah yang akan memberi rizki pada mereka”. Sungguh ini adalah suatu kesalahan dalam memahami takdir.
Ingatlah
bahwa Allah memerintahkan kita untuk mengimani takdir-Nya, di samping
itu Allah juga memerintahkan kita untuk mengambil sebab dan melarang
kita bermalas-malasan. Apabila kita telah mengambil sebab, namun kita
mendapatkan hasil yang sebaliknya, maka kita tidak boleh berputus asa
dan bersedih karena hal ini sudah menjadi takdir dan ketentuan Allah.
Oleh karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
عن أبي هريرة قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم ((
المؤمن القوي خير وأحب إلي الله من المؤمن الضعيف, وفي كل خير, احرص على
ما ينفعك واستعن بالله ولا تعجز وإن أصابك شيء فلا تقل لو أني فعلت كان كذا
وكذا ولكن قل قدر الله وما شاء فعل فإن لو تفتح عمل الشيطان )) صحيح مسلم ج4:ص2052
“Bersemangatlah
dalam hal yang bermanfaat bagimu. Dan minta tolonglah pada Allah dan
janganlah malas. Apabila kamu tertimpa sesuatu, janganlah kamu berkata:
‘Seandainya aku berbuat demikian, tentu tidak akan begini atau begitu’,
tetapi katakanlah: ‘Qodarollahu wa maa sya’a fa’al’ (Ini telah
ditakdirkan oleh Allah dan Allah berbuat apa yang dikehendaki-Nya)
karena ucapan’seandainya’ akan membuka (pintu) setan.” (HR. Muslim)
بارك الله لي ولكم في القرآن العظيم, ونفعني وإياكم بما فيه من الآيات والذكر الحكيم, وتقبل مني ومنكم تلاوته, غنه هو السميع العليم.
Khutbah kedua
الحمد
لله الذي أحاط بكل شيء علما وهو على كل شيء قدير ، وأشهد أن لا إله إلا
الله وحده لا شريك له نعم المولى ونعم النصير ، وأشهد أن محمدا عبده ورسوله
البشير النذير والسراج المنير صلى الله عليه وعلى آله وصحبه والتابعين لهم
بإحسان إلى يوم الدين وسلم تسليما.
فيا أيها الناس اتقوا الله, اتقوا الله حق تقاته, ولا تموتن إلا وأنتم مسلمون.
قال تعالى في كتابه الكريم: {إن هو إلا ذكر للعالمين} {لمن كان منكم أن يستقيم} {وما تشاؤون إلا أن يشاء الله رب العالمين}
Buah Beriman Kepada Takdir
Di antara buah dari beriman kepada takdir dan ketetapan Allah adalah hati menjadi tenang dan tidak pernah risau
dalam menjalani hidup ini. Seseorang yang mengetahui bahwa musibah itu
adalah takdir Allah, maka dia yakin bahwa hal itu pasti terjadi dan
tidak mungkin seseorang pun lari darinya.
Dari
Ubadah bin Shomit, beliau pernah mengatakan pada anaknya, “Engkau tidak
dikatakan beriman kepada Allah hingga engkau beriman kepada takdir yang
baik maupun yang buruk dan engkau harus mengetahui bahwa apa saja yang
akan menimpamu tidak akan luput darimu dan apa saja yang luput darimu
tidak akan menimpamu. Saya mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Takdir itu demikian. Barangsiapa yang mati dalam keadaan tidak beriman seperti ini, maka dia akan masuk neraka.” (Shohih. Lihat Silsilah Ash Shohihah no. 2439)
Maka
apabila seseorang memahami takdir Allah dengan benar, tentu dia akan
menyikapi segala musibah yang ada dengan tenang. Hal ini pasti berbeda
dengan orang yang tidak beriman pada takdir dengan benar, yang sudah
barang tentu akan merasa sedih dan gelisah dalam menghadapi musibah.
Semoga kita dimudahkan oleh Allah untuk sabar dalam menghadapi segala
cobaan yang merupakan takdir Allah.
Ya
Allah, kami meminta kepada-Mu surga serta perkataan dan amalan yang
mendekatkan kami kepadanya. Dan kami berlindung kepada-Mu dari neraka
serta perkataan dan amalan yang dapat mengantarkan kami kepadanya. Ya
Allah, kami memohon kepada-Mu, jadikanlah semua takdir yang Engkau
tetapkan bagi kami adalah baik. Amin Ya Mujibbad Da’awat.
اللهم
صل على سيدنا محمد وعلى آل سيدنا محمد, كما صليت على سيدنا إبراهيم وعلى
آل سيدنا إبراهيم, وبارك على سيدنا محمد وعلى آل سيدنا محمد, كما باركت على
سيدنا إبراهيم وعلى آل سيدنا إبراهيم, في العالمين إنك حميد مجيد.
اللهم
اغفر للمسلمين والمسلمات والمؤمنين والمؤمنات الأحياء منهم والأموات, إنك
سميع قريب مجيب الدعوات. اللهم أرنا الحق حقا وارزقنا اتباعه, وأرنا الباطل
باطلا وارزقنا اجتنابه, ربنا آتنا في الدنيا حسنة وفي الآخرة حسنة وقنا
عذاب النار.
فنسأل
الله بأسمائه وصفاته أن يجعلنا وإياكم ممن رضي بالله ربا وبالإسلام دينا
وبمحمد صلى الله عليه وسلم نبيا - وأن يقدر لنا بفضله ما فيه صلاحنا
وسعادتنا في الدنيا والآخرة إنه جواد كريم وصلى الله وسلم على عبده ونبيه
محمد وآله وأصحابه واتباعهم إلى يوم الدين .
عباد
الله, إن الله يأمركم بالعدل والإحسان, وإيتاء ذي القربى وينهى عن الفحشاء
والمنكر والبغي, يعظكم لعلكم تذكرون, ولذكر الله أكبر.