nuaimy
tentang nuaimy
Latest Post

Pengantar Tafsir

Oleh: 
H. Habib Ziayadi
Mahasiswa Mahad Aly An-Nuaimy Angkatan ke-3
Pengasuh Ponpes Darul Muhibbin
100_1057
Al-Qur’an adalah kitab suci agama Islam yang dijadikan sebagai pedoman hidup yang paling fundamental (manhaj al-hayat al-asasi). Ia diturunkan  oleh Allah swt  sebagai petunjuk (al-huda), cahaya penerang (an-nur), bukti (al-burhan), penyembuh (asy-syifa’) dan pembeda antara yanng haq dengan yang batil (al-furqon). Keberadaan al-Qur’an juga diperuntukkan sebagai sumber hukum bagi manusia (dustur lil ummah), hidayah bagi makhluk sekaligus sebagai tanda kebenaran risalah Rasul saw. Ia adalah mu’jizat yang abadi sepanjang kurun dan masa.
Dalam menginterpretasi teks suci, dibutuhkan adanya penafsiran. Demikian juga dengan al-Qur’an. Tafsir al-Qur’an memiliki peran yang sangat signifikan dalam menjabarkan firman Allah. Tafsir secara etimologi berasal dari bahasa Arab,fassara, yang bemakna menerangkan atau menjelaskan. Sedang secara terminologi, tafsir merujuk kepada ilmu yang dengannya membantu memahami kitab Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw, makna-makna, hukum-hukum dan hikmah-hikmah yang terkandung di dalamnya. Orang yang menafsirkan disebut mufassir.
Secara historis, ilmu pertama yang lahir di kalangan umat Islam adalah ilmu tafsir. Ilmu tafsir al-Qur’an sangat urgen karena ia merupakan ilmu asas  yang di atasnya dibangun keseluruhan struktur, tujuan, pandangan hidup dan peradaban Islam. Itulah sebabnya mengapa Imam at-Thobari (W 310 H) menganggapnya sebagai ilmu yang terpenting dibandingkan dengan ilmu lainnya. Alasan lainnya, tafsir adalah satu-satunya ilmu yang berhubungan langsung dengan Nabi saw, sebab Beliau diperintahkan Allah swt untuk menyampaikan risalah kenabian, “agar Kamu (Muhammad) dapat menjelaskan kepada manusia apa-apa yang diturunkan kepada mereka”(QS. An-Nahl 44). Para sahabat langsung mendatangi Beliau bila terjadi permasalahn pelik yang menimpa mereka. Di samping itu, Nabi saw menafsirkan  sendiri ayat-ayat al-Qur’an yang menurut hemat beliau memang membutuhkan penjelasan, baik itu bentuknya verbal atau perbuatan yang kemudian menjadi sunnah.
Selepas wafatnya Nabi saw, tongkat estafet penafsiran dilanjutkan oleh para sahabat. Dalam menafsirkan al-Qur’an, mereka berpedoman pada metodologi Nabi, yaitu menafsirkan al-Qur’an dengan al-Qur’an lalu al-Qur’an dengan hadis. Bila tidak menemukan pada keduanya, barulah mereka berijtihad. Dengan ini para sahabat tidak serampangan dalam menafsirkan. Mereka amat berhati-hati. “Bumi mana yang membawaku dan langit mana yang menaungiku jika aku mengatakan dalam Kitab Allah apa yang tidak aku ketahui” ujar Abu Bakar ra. Dalam al-Itqon karya Imam as-Suyuthi, para mufassir ternama di kalangan sahabat berjumlah 10 orang: kholifah yang empat, Ibnu Mas’ud, Ibnu Abbas, Ubay bin Ka’ab, zaid bin Tsabit, Abu Musa al-As’ari dan Abdullah bin az-Zubair. Sedang riwayat yang paling banyak sampai kepada kita di antara khulafaurrasyidin adalah berasal dari Ali bin Abi Thalib. Ini disebabkan khalifah sebelunya wafat terlebih dahulu.
Fase penafsiran berikutnya dilanjutkan oleh para Tabi’in. Mereka tersebar ke berbagai lokasi. Tabi’in Makkah seperti Sa’id bi Jubair (W 95 H), Mujahid bin Jabar (w 104 H), Ikrimah maula Ibnu Abbas (105 H), Thawus bin Kisan al-Yamani dan Atha’ bin Robi’ah (114 H). Mereka adalah hasil didikan intensif Ibnu Abbas. Tabi’in Madinah seperti  Zaid bin Aslam, Abu al-Aliyah dan Muhammad bin Ka’ab al-Qurazi meriwayatkan dari Ubay bin Ka’ab. Tabi’in Iraq seperti Ilqimah bin Qais, masruq, al-Aswaq bin Yazid, Murah al-Hamzani, Qotadah dan Hasan al-Bashri mengambil riwayat Abdullah bin Mas’ud.
Sejarah Penulisan dan Jenis Kitab Tafsir
                Menurut Ibnu Nadim, seorang sejarawan Muslim ternama, tafsir yang sudah ditulis oleh pengarangnya sendiri dan termasuk yang paling awal adalah karya Sa’id bin Jubair (W 95 H), seorang kibar at-tabi’in. Karya ini ditulis atas permintaan Khalifah Abdul Malik bin Marwan (84 H). Namun karya ini tidak sampai ke tangan kita. Karya tafsir yang termasuk paling tua dan sampai ke tangan kita sekarang dan ditulis oleh pengarangnya sendiri adalah potongan dari al-Wujuh wa an-Naza’ir karya Muqotil bin Sulaiman al-Balkhi (150 H) selain karya tersebut, beliau juga menulis beberapa karya tafsir seperti Khomsumi’ah Ayah min al-Qur’an, at-Tafsir fi Mutasyabih al-Qur’an dan at-Tafsir al-Kabir. Karangan beliau ini menjadi pijakan para ulama lain, termasuk di antaranya Imam Sufyan bin Uyainah (198 H), Imam as-Syafi’i (204 H) dan Imam Ahmad.
                Sezaman dengan Muqotil sendiri, sudah terdapat banyak mufassir lain. Di antaranya adalah Abdurrahman al-Suddi (127 H), Muhammad bin al-Sa’ib al-Kalbi (146 H), Syu’bah bin al-Hajjaj (160 H), Sufyan ats-Thauri (161 H) dan Ibnu Ishaq, ahli siroh terkenal. Selain karya Muqotil itu, terdapat juga berbagai karya tafsir yang dinisbatkan kepada para pengarangnya seperti al-Farra (207 H) dengan karyanya Ma’ani al-Qur’an, Abdurrazzaq al-San’ani dengan karyanya Tafsir al-Qur’an dan al-Akhfash al-Ausath dengan  Ma’ani al-Qur’an.
                Bagaimanapun sejak abad pertama sampai abad ketiga Hijriah, belum ada yang menulis tafsir secara utuh dari surat al-Fatihah sampai an-Nas. Penulisan secara utuh baru dimulai pada abad keempat hijriah. Ini pertama kali dipelopori oleh Ibnu Jarir at-Thobari (310H) dalam karya monumentalnya Jami’ al-Bayan fi Ta’wil al-Qur’an. Beliau menggunakan metode isnad dalam penafsirannya. Tujuannya agar tafsiran beliau tidak serampangan dan tetap berpegang pada penafsiran yang otoritatif (hadis Nabi, komentar para sahabat dan tabi’in). Pendekatan Beliau ini diikuti oleh Ibnu Katsir (774 H) dalam tafsirnya Tafsir al-Qur’an al-Adzim dan Jalaluddin as-Suyuthi (911 H) dalam ad-Durr al-Mantsur fi at-Tafsir bi al-Ma’tsur. Metode penafsiran semacam inilah yang disebut dengan at-Tafsir bi ar-Riwayah atau at-Tafsir bi al-Ma’tsur.
                Ulama terdahulu menyamakan antara tafsir dengan ta’wil, contohnya Imam at-Thobari . beliau menulis dalam tafsirnya, “pendapat atas ta’wilan ayat ini” atau “para ahli ta’wil berbeda pendapat dalam ayat ini.” Ta’wil yang beliau maksud di sini adalah tafsir. Pemahaman ini berdasarkan doa Nabi saw untuk Ibnu Abbas, Allohumma faqqihhu fiddin wa allimhu at-ta’wil (ya Allah, jadikanlah ia fahih dalam agama dan ajarkanlah ia ta’wil yaitu tafsir).
                Adapun ulama muta’akhirin membedakan antara keduanya. Ta’wil adalah penjelasan terhadap sebagian makna dari ayat al-Qur’an yang mengandung beberapa pengertian. Dalam definisi lain, tafsir adalah mengungkap makna-makna zahir dalam al- Qur’an. Sedang ta’wil merupakan hasil istinbath para ulama terhadap makna yang tersembunyi dan yang mengandung rahasia dari ayat-ayat al-Qur’an. Demikian menurut as-Suyuthi dalam al-Itqon. Pendapat ini dikuatkan oleh al-Alusi (1270 H) dalam Tafsir Ruh al-Ma’ani.
                Di samping metodologi yang ditempuh oleh Imam at-Thobari, sebagian mufassir setelah beliau memilih metode Tafsir bi ad-Diroyah atau Tafsir bi ar-Ro’yi. Metode ini mengoptimalkan ijtihad yang dibangun atas dasar-dasar yang shahih dan kaidah-kaidah yang bisa diterima. Jadi  bukan semata-mata berpegang pada rasio bebas atau kepentingan ijtihad pribadi yang bertentangan dengan riwayat yang shahih. Karena Nabi saw pernah mewanti-wanti,”barangsiapa yang berkata tentang al-Qur’an semata-mata karena rasionya, maka bersiaplah mengambil tempat duduknya di neraka.”(HR. Bukhori)
                Karya tafsir yang menggunakan metode ini di antaranya: Mafatih al-Goib karya Muhammad bin Umar ar-Razi (606 H), Anwar at-Tanzil karya al-Baidhawi (675 H), Madariq at-Tanzil wa Madariq at-Tanzil karya an-Nasafy (701 H),al-Bahru al-Muhith karya Ibnu Hayyan al-Andulisy dan Tafsir Jalalain karya Jalaluddin as-Sayuthi dan Jalaluddin al-Mahalli (864 H).
                Jenis ketiga dari metodologi tafsir adalah At-Tafsir al-Isyari.  Definisinya adalah ta’wil terhadap al-Qur’an yang berbeda dengan zhohir nash yang ada berdasarkan atas isyarat tersembunyi. Isyarat itu hanya bisa difahami oleh sebagian ahli ilmu yang ‘arif billah lagi bersih hatinya. Dalam metode ini, mufassir memandang pengertian yang berbeda dari zhohir ayat. Hanya ulama yang diberi bashiroh (petunjuk) oleh Allah sajalah yang mampu mengungkap isyarat tersebut.
                Di kalangan ulama sendiri, tafsir al-isyari ini menjadi polemik antara yang membolehkan dan yang melarang. Bagi ulama yang membolehkan telah menetapkan dua syarat diterimanya tafsir ini, pertama: tidak menafikan makna zhohir ayat al-Qur’an. Kedua: tidak ada klaim bahwa ialah satu-satunya penafsiran yang shahih bukan yang lainnya. Namun terkadang banyak para zindiq dan kaum ektrim dari golongan tasauf dan Syiah menggunakan tafsir jenis ini untuk menjustifikasi kesesatan mereka. Ada pula yang berdalih dengannya guna berlepas diri dari syariat Islam. Di antara Tafsir al-Isyari yang ada adalah al-Kasyfu wa al-Bayan karya an-Nisaburi, Ruh al-Ma’ani karya al-Alusi dan at-Tafsir al-Qur’an al-Adzim karya at-Tasturi.
                Selain tafsir al-Qur’an, ilmu-ilmu penunjang tafsir juga telah dirumuskan secara mapan. Kajian secara lebih khusus dan sistematis terangkum dalam ulum al-Qur’an. Para ulama telah memilah-milah beberapa aspek terpenting seperti asbab an-nuzul,al-Makiyyah wa al-Madaniah, an-nasikh wa al-mansukh, al-muhkam dan al-mutasyabih, i’jaz al-Qur’an, i’rob al-Qur’an, qiroaah al-Qur’an, amtsal al-Qur’an, gharaib al-Qur’an dan lain-lain.
                Mengingat bahwa mentafsirkan al-Qur’an adalah pekerjaan berat, para ulama menetapkan kualifikasi seseorang layak menjadi seorang mufassir. Setidaknya ia harus menguasai ushuluddin, mendalami Nahwu, sharf dan istihqoq, juga menguasai  ushul fiqh, asbabun nuzul, nasikh dan mansukh, ilmu qiroat, hadis dan fiqh. Tujuannya adalah agar mufassir bisa menjaga keilmiahan karyanya sekaligus berperan memelihara keotientikan al-Qur’an.
     Pemaparan di atas menunjukkan bahwa tafsir beserta ulum al-qur’an telah menjadi sebuah disiplin ilmu yang sangat matang. Ia adalah bagian yang tak terpisahkan dari Islam. Karena ia sudah lahir sejak wahyu belum diturunkan secara sempurna. Memang sebagai mu’jizat yang abadi, al-Qur’an telah, sedang dan akan selalu ditafsirkan. Karena Ia senantiasa memberikan aspirasi baru yang up to date terhadap fenomena zaman yang ternyata sesuai dengannya. Karena itu penafsirannya tidak akan terhenti dan akan terus menerus diulas dari berbagai perspektif cabang ilmu yang berbeda. Tentu dalam koridor yang sudah ditetapkan oleh para ahli tafsir melalui kaedah-kaedah yang sudah baku dan mapan.
Wallohu A’lamu bi as-Showab

Mukhoyyam Tarbawi ke-5

      Mahad Aly An-Nuaimy menggelar acara tahunannya berupa Mukhoyyam Tarbawi ke-5 dan di tahun ini mengusung tema "نحو جيل واعد لمستقبل زاهر". Mukhoyyam ini diikuti oleh 188 peserta yang merupakan mahasiswa Mahad Aly An-Nuaimy.
      Mukhoyyam (kemah) yang dilaksanakan pada tanggal 21-23 Desember 2012 ini bertempat di bumi perkemahan Cidahu Sukabumi. Hujan menyambut para peserta pada awal kedatangan dan hari-hari berikutnya, namun tidak membuat acara yang padat yang telah disusun berantakan. Inilah prinsip Scout Boy , tegar di segala medan. Nilai plus di acara mukhoyyam tidak hanya membina mental dan fisik akan tetapi mengedepankan sisi ruhani; karena itulah "Mukhoyyam Tarbawi" disematkan dan dengan tujuan membina generasi menjanjikan untuk masa depan gemilang.
      Mukhoyyam pun di tutup dengan penyematan slayer tanda kelulusan peserta mukhoyyam setelah melalui rangkaian kegiatan selama tiga hari berupa materi, bela diri, pionering, out bond, saroya, dan long march lintas Gunung Salak dari Cidahu Sukabumi sampai ke Camp Ground Cibatok Bogor.













































Iman Kepada Takdir





 Ustd. Tumin, M.A
Mahasiswa Mahad Aly An-Nuaimy Angkatan ke-1
Asal Aceh


Khutbah Jum'at
IMAN KEPADA TAKDIR

الحمد لله الذي خلق كل شيء فقدره تقديرا وجرت الأمور على ما يشاء حكمة وتدبيرا ولله ملك السماوات والأرض وإليه يرجع الأمر كله ولن تجد من دونه وليا ولا نصيرا - وأشهد أن لا إله إلا الله له الملك وله الحمد وكان الله على كل شيء قديرا وأشهد أن محمدا عبده ورسوله أرسله بين يدي الساعة بشيرا ونذيرا وداعيا إلى الله بإذنه وسراجا منيرا صلى الله عليه وعلى آله وأصحابه وأتباعهم وسلم تسليما كثيرا .
أما بعد, أيها الناس : اتقوا الله, اتقوا الله تعالى وآمنوا به, لعلكم تفلحون.
قال تعالى في كتابه الكريم, وهو أصدق القائلين:
أعوذ بالله من الشيطان الرجيم – بسم الله الرحم الحيم { مَا أَصَابَ مِنْ مُصِيبَةٍ فِي الْأَرْضِ وَلَا فِي أَنْفُسِكُمْ إِلَّا فِي كِتَابٍ مِنْ قَبْلِ أَنْ نَبْرَأَهَا إِنَّ ذَلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيرٌ }{ لِكَيْ لَا تَأْسَوْا عَلَى مَا فَاتَكُمْ وَلَا تَفْرَحُوا بِمَا آتَاكُمْ }
وقال رسول الله: (( ... واعلم أن الأمة لو اجتمعت على أن ينفعوك بشيء لم ينفعوك إلا بشيء قد كتبه الله لك ولو اجتمعوا على أن يضروك بشيء لم يضروك إلا بشيء قد كتبه الله عليك رفعت الأقلام وجفت الصحف )) حديث حسن صحيح - سنن الترمذي ج4:ص667
Hukum Iman kepada Taqdir
Jama’ah jum’ah rahimakumullah …
Salah satu rukun iman yang wajib diimani oleh setiap muslim adalah beriman kepada takdir yang baik maupun yang buruk. Karena iman seseorang tidak akan sempurna sebelum ia beriman kepada takdir. Sedangkan imannya kepada takdir tidak akan sempurna sampai ia beriman kepada empat hal.
Pertama,kita wajib mengimani ilmu Allah yang meliputi segala sesuatu, karena sesungguhnya Allah swt. Maha Tahu atas segala sesuatu. Allah Maha Tahu segala-galanya, baik yang kecil maupun yang besar, yang tersembunyi maupun yang nampak. Tidak ada sesuatupun di bumi ataupun di langit yang luput dari pengetahuan Allah.
Kedua, kita wajib mengimani bahwa Allah menulis takdir tiap-tiap sesuatu - dari permulaan sampai hari kiamat - di lauhul mahfuzh, dan itu jauh sebelum Dia menciptakan langit dan bumi dengan selisih waktu 50.000 tahun. Sesungguhnya ketika Allah swt. menciptakan qalam atau “pena”, Dia berkata kepadanya, “Tulislah!” Qalam menjawab, “wahai Tuhanku, apa yang harus aku tulis?” Allah berkata, “Tulislah apa yang akan terjadi!” Maka Qalam menulis dengan ilmu Allah dan atas izin-Nya segala sesuatu yang akan terjadi sampai hari kiamat.
Ketiga,kita wajib mengimani bahwa segala sesutau terjadi karena kehendak Allah dan takdir-Nya. Apa yang dikehendaki Allah pasti terjadi, dan apa yang tidak dikehendaki-Nya tidak akan terjadi. Kehendak Allah dan ketentuan-Nya di atas kehendak semua makhluk. Karena pada hakikatnya tidaklah makhluk-makhluk itu berkehendak kecuali atas kehendak Allah. Allah berfirman, “dan tidaklah mereka berkehendak kecuali apabila dikehendaki Allah, Tuhan semesta alam.” (QS. At-Takwir: 29). “dan Allah berkuasa terhadap urusan-Nya, tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahuinya.” (QS. Yusuf: 21).
Keempat, iman kita kepada takdir tidak akan sempurna sebelum kita beriman bahwa Allah lah yang menciptakan segala sesuatu dan Dia-lah Yang mengatur dan menjaganya. Tidak ada sesuatupun baik di bumi ataupun di langit, yang kecil maupun yang besar, yang bergerak maupun yang diam kecuali pasti diciptakan Allah dan karena kehendak-Nya. Ada di antara ciptaan Allah yang tidak dapat kita ketahui sebab penciptaannya, namun ada pula yang dapat kita ketahui sebab penciptaannya. Semua itu berasal dari Allah dan merupakan ciptaan-Nya.
Ma’asyiral muslimin hafizhakumullah …
Sesungguhnya apa yang telah ditetapkan bagi manusia tidak akan luput darinya, dan apa yang tidak ditetapkan baginya tidak akan menimpanya. Karena Pena telah kering dan kertas telah dilipat.
Allah swt. Berfirman dalam surat Al-Hadid: 22-23.
أعوذ بالله من الشيطان الرجيم – بسم الله الرحم الحيم { مَا أَصَابَ مِنْ مُصِيبَةٍ فِي الْأَرْضِ وَلَا فِي أَنْفُسِكُمْ إِلَّا فِي كِتَابٍ مِنْ قَبْلِ أَنْ نَبْرَأَهَا إِنَّ ذَلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيرٌ } { لِكَيْ لَا تَأْسَوْا عَلَى مَا فَاتَكُمْ وَلَا تَفْرَحُوا بِمَا آتَاكُمْ واللهُ لاَ يُحِبُّ كُلَّ مُخْتاَلٍ فَخُوْر}
“Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah. (kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. dan Allah tidak menyukai Setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri,” (QS. Al-Hadid: 22-23).
Maka jika seseorang mendapati takdirnya tidak seperti yang diinginkannya, maka wajib baginya untuk ridha dan merelakan ketetuan Allah dan menyerahkan diri sepenuhnya pada ketentuan-Nya yang telah ditetapkan. Karena tidak ada yang dapat menolak ketentuan Allah dan takdirnya. Maka beruntunglah orang yang dapat menghadapi keadaan demikian dengan penuh keridhaan, dan menyadari bahwa semua itu datang dari Allah untuk dirinya, karena Allah swt. mempunyai hak mutlak dalam mengatur makhluknya. Maka orang seprti ini akan mendapatkan balasan berupa pahala baik di dunia maupun di akhirat.
Sesungguhnya orang yang ditimpa berbagai macam cobaan atau musibah lalu dia bersabar dan mengharapkan pahala di sisi Allah, maka Allah akan memberi petunjuk pada hatinya, melapangkan dadanya, dan meringankan musibah itu baginya. Kemudian dia akan dibangkitkan pada hari kiamat dalam keadaan sangat butuh terhadap pahala dari Allah, maka ia menemukan pahala-pahala musibah dan kesabarannya menghadapi musibah tersebut tersimpan di sisi Allah swt. “Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas.” (QS. Az-Zumar: 10).
Kesalahan dalam memahami takdir
Jama’ah jum’ah a’azzakumullah …
Dalam memahami takdir kita harus benar-benar hati-hati. Karena salah memahaminya berarti salah dalam menyikapinya, dan jika salah menyikapinya berarti kita telah menyesatkan diri kita sendiri dan menyengsarakan kehidupan kita. Ada dua kelompok ekstrim dalam memahami takdir. Yang pertama terlalu kiri dan yang kedua terlalu kanan. Kedua-duanya sama-sama salah.
Yang pertama, adalah kelompok yang disebut dengan Qadariyah. Dan di dalamnya ada dua kelompok lagi. Kelompok pertama adalah yang paling ekstrem. Mereka mengingkari ilmu Allah terhadap segala sesuatu dan mengingkari pula apa yang telah Allah tulis di Lauhul Mahfuzh. Mereka mengatakan bahwa Allah memerintah dan melarang, namun Allah tidak mengetahui siapa yang taat dan siap yang berbuat maksiat. Perkara ini baru saja diketahui, tidak didahului oleh ilmu Allah dan takdirnya. Namun kelompok seperti ini sudah musnah dan tidak ada lagi. Sedangkan kelompok kedua menetapkan ilmu Allah, namun meniadakan masuknya perbuatan hamba pada takdir Allah. Mereka menganggap bahwa perbuatan hamba adalah makhluk yang berdiri sendiri, Allah tidak menciptakannya dan tidak pula menghendakinya. Inilah madzhab mu’tazilah.
Yang kedua, adalah kebalikan dari Qodariyah. kelompok ini berlebihan dalam menetapkan takdir, sehingga hamba seolah-olah dipaksa tanpa mempunyai kemampuan dan ikhtiyar (usaha) sama sekali. Mereka mengatakan bahwasanya hamba itu dipaksa untuk menuruti takdir. Oleh karena itu, kelompok ini dikenal dengan Jabariyyah.
Keyakinan dua kelompok di atas adalah keyakinan yang salah sebagaimana ditunjukkan dalam banyak dalil. Di antaranya adalah firman Allah dalm surat at-takwir: 28-29.
{لمن كان منكم أن يستقيم} {وما تشاؤون إلا أن يشاء الله رب العالمين}
"(yaitu) bagi siapa di antara kamu yang mau menempuh jalan yang lurus.Dan kamu tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali apabila dikehendaki Allah, Tuhan semesta alam." (QS. At-Takwir: 28-29).
Ayat ini secara tegas membantah pendapat yang salah dari dua kelompok di atas. Pada ayat, “(yaitu) bagi siapa di antara kamu yang mau menempuh jalan yang lurus” merupakan bantahan untuk jabariyyah karena pada ayat ini Allah menetapkan adanya kehendak (pilihan) bagi hamba. Jadi manusia tidaklah dipaksa dan mereka berkehendak sendiri.
Kemudian pada ayat selanjutnya, “Dan kamu tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali apabila dikehendaki Allah, Tuhan semesta alam,” merupakan bantahan untuk qodariyyah yang mengatakan bahwa kehendak manusia itu berdiri sendiri dan diciptakan oleh dirinya sendiri tanpa tergantung pada kehendak Allah. Ini perkataan yang salah karena pada ayat tersebut, Allah mengaitkan kehendak hamba dengan kehendak-Nya.
Keyakinan yang Benar Dalam Mengimani Takdir
Ma’asyiral muslimin rahimakumullah …
Keyakinan yang benar adalah bahwa semua bentuk ketaatan, maksiat, kekufuran dan kerusakan terjadi dengan ketetapan Allah, karena tidak ada pencipta selain Dia. Semua perbuatan hamba yang baik maupun yang buruk adalah termasuk makhluk Allah. Dan hamba tidaklah dipaksa dalam setiap yang dia kerjakan, bahkan hambalah yang memilih untuk melakukannya.
As Safariny mengatakan, “Kesimpulannya bahwa mazhab ulama-ulama terdahulu (salaf) dan Ahlus Sunnah yang hakiki adalah meyakini bahwa Allah menciptakan kemampuan, kehendak, dan perbuatan hamba. Dan hambalah yang menjadi pelaku perbuatan yang dia lakukan secara hakiki. Dan Allah menjadikan hamba sebagai pelakunya, sebagaimana firman-Nya (yang artinya), “Dan kamu tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali apabila dikehendaki Allah” (QS. At Takwir [81]: 29). Maka dalam ayat ini Allah menetapkan kehendak hamba dan Allah mengabarkan bahwa kehendak hamba ini tidak terjadi kecuali dengan kehendak-Nya. Inilah dalil yang tegas yang dipilih oleh Ahlus Sunnah.”
Sebagian orang ada yang salah paham dalam memahami takdir. Mereka menyangka bahwa seseorang yang mengimani takdir itu hanya pasrah tanpa melakukan sebab sama sekali. Contohnya adalah seseorang yang meninggalkan keluarganya berhari-hari dengan alasan apapun. Kemudian dia tidak meninggalkan sedikit pun harta untuk kehidupan istri dan anaknya. Lalu dia mengatakan, “Saya pasrah, biarkan Allah yang akan memberi rizki pada mereka”. Sungguh ini adalah suatu kesalahan dalam memahami takdir.
Ingatlah bahwa Allah memerintahkan kita untuk mengimani takdir-Nya, di samping itu Allah juga memerintahkan kita untuk mengambil sebab dan melarang kita bermalas-malasan. Apabila kita telah mengambil sebab, namun kita mendapatkan hasil yang sebaliknya, maka kita tidak boleh berputus asa dan bersedih karena hal ini sudah menjadi takdir dan ketentuan Allah. Oleh karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
عن أبي هريرة قال: قال رسول الله  صلى الله عليه وسلم  (( المؤمن القوي خير وأحب إلي الله من المؤمن الضعيف, وفي كل خير, احرص على ما ينفعك واستعن بالله ولا تعجز وإن أصابك شيء فلا تقل لو أني فعلت كان كذا وكذا ولكن قل قدر الله وما شاء فعل فإن لو تفتح عمل الشيطان )) صحيح مسلم ج4:ص2052
Bersemangatlah dalam hal yang bermanfaat bagimu. Dan minta tolonglah pada Allah dan janganlah malas. Apabila kamu tertimpa sesuatu, janganlah kamu berkata: ‘Seandainya aku berbuat demikian, tentu tidak akan begini atau begitu’, tetapi katakanlah: ‘Qodarollahu wa maa sya’a fa’al’ (Ini telah ditakdirkan oleh Allah dan Allah berbuat apa yang dikehendaki-Nya) karena ucapan’seandainya’ akan membuka (pintu) setan.” (HR. Muslim)
بارك الله لي ولكم في القرآن العظيم, ونفعني وإياكم بما فيه من الآيات والذكر الحكيم, وتقبل مني ومنكم تلاوته, غنه هو السميع العليم.
Khutbah kedua
الحمد لله الذي أحاط بكل شيء علما وهو على كل شيء قدير ، وأشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له نعم المولى ونعم النصير ، وأشهد أن محمدا عبده ورسوله البشير النذير والسراج المنير صلى الله عليه وعلى آله وصحبه والتابعين لهم بإحسان إلى يوم الدين وسلم تسليما.
فيا أيها الناس اتقوا الله, اتقوا الله حق تقاته, ولا تموتن إلا وأنتم مسلمون.
قال تعالى في كتابه الكريم: {إن هو إلا ذكر للعالمين} {لمن كان منكم أن يستقيم} {وما تشاؤون إلا أن يشاء الله رب العالمين}
Buah Beriman Kepada Takdir
Di antara buah dari beriman kepada takdir dan ketetapan Allah adalah hati menjadi tenang dan tidak pernah risau dalam menjalani hidup ini. Seseorang yang mengetahui bahwa musibah itu adalah takdir Allah, maka dia yakin bahwa hal itu pasti terjadi dan tidak mungkin seseorang pun lari darinya.
Dari Ubadah bin Shomit, beliau pernah mengatakan pada anaknya, “Engkau tidak dikatakan beriman kepada Allah hingga engkau beriman kepada takdir yang baik maupun yang buruk dan engkau harus mengetahui bahwa apa saja yang akan menimpamu tidak akan luput darimu dan apa saja yang luput darimu tidak akan menimpamu. Saya mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Takdir itu demikian. Barangsiapa yang mati dalam keadaan tidak beriman seperti ini, maka dia akan masuk neraka.” (Shohih. Lihat Silsilah Ash Shohihah no. 2439)
Maka apabila seseorang memahami takdir Allah dengan benar, tentu dia akan menyikapi segala musibah yang ada dengan tenang. Hal ini pasti berbeda dengan orang yang tidak beriman pada takdir dengan benar, yang sudah barang tentu akan merasa sedih dan gelisah dalam menghadapi musibah. Semoga kita dimudahkan oleh Allah untuk sabar dalam menghadapi segala cobaan yang merupakan takdir Allah.
Ya Allah, kami meminta kepada-Mu surga serta perkataan dan amalan yang mendekatkan kami kepadanya. Dan kami berlindung kepada-Mu dari neraka serta perkataan dan amalan yang dapat mengantarkan kami kepadanya. Ya Allah, kami memohon kepada-Mu, jadikanlah semua takdir yang Engkau tetapkan bagi kami adalah baik. Amin Ya Mujibbad Da’awat.
اللهم صل على سيدنا محمد وعلى آل سيدنا محمد, كما صليت على سيدنا إبراهيم وعلى آل سيدنا إبراهيم, وبارك على سيدنا محمد وعلى آل سيدنا محمد, كما باركت على سيدنا إبراهيم وعلى آل سيدنا إبراهيم, في العالمين إنك حميد مجيد.
اللهم اغفر للمسلمين والمسلمات والمؤمنين والمؤمنات الأحياء منهم والأموات, إنك سميع قريب مجيب الدعوات. اللهم أرنا الحق حقا وارزقنا اتباعه, وأرنا الباطل باطلا وارزقنا اجتنابه, ربنا آتنا في الدنيا حسنة وفي الآخرة حسنة وقنا عذاب النار.
فنسأل الله بأسمائه وصفاته أن يجعلنا وإياكم ممن رضي بالله ربا وبالإسلام دينا وبمحمد صلى الله عليه وسلم نبيا - وأن يقدر لنا بفضله ما فيه صلاحنا وسعادتنا في الدنيا والآخرة إنه جواد كريم وصلى الله وسلم على عبده ونبيه محمد وآله وأصحابه واتباعهم إلى يوم الدين .
عباد الله, إن الله يأمركم بالعدل والإحسان, وإيتاء ذي القربى وينهى عن الفحشاء والمنكر والبغي, يعظكم لعلكم تذكرون, ولذكر الله أكبر.

Dialog Antar Mahasiswa

Dialog antar mahasiswa merupakan kegiatan rutin dari departemen Pendidikan BEM Mahad Aly An-Nuaimy, dialog kali ini membahas tentang hukum makanan berfermentasi seperti tape.



















Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
 
Copyright © 2011. Mahad Aly An-Nuaimy - All Rights Reserved
Template by Creating Website