Home » , , » Sunnatullah Dalam Merubah Keadaan

Sunnatullah Dalam Merubah Keadaan

Oleh:
Ust. Muhammad Sofwan Abbas, MA
Dosen Mahad Aly An-Nuaimy 
PB230251

ذَلِكَ بِأَنَّ اللَّهَ لَمْ يَكُ مُغَيِّرًا نِعْمَةً أَنْعَمَهَا عَلَى قَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ وَأَنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ  [الأنفال: 53]
Analisis Lafadh
Yang demikian (siksaan) itu adalah karena. Ini menunjukkan bahwa setiap peristiwa terjadi karena ada aturannya (sunnatullah).
ذَلِكَ بِأَنَّ
Sekali-kali tidak akan merubah. Ini menunjukkan bahwa hal itu adalah aturan yang akan tetap berlaku kapan pun.
لَمْ يَكُ مُغَيِّرًا
Sesuatu nikmat. Bisa bermakna kehidupan yang enak, pemberian, atau harta.
نِعْمَةً
Apa yang ada pada diri mereka sendiri. Bisa juga bermakna apa yang ada di dalam jiwa (hati) mereka.
مَا بِأَنْفُسِهِمْ
Maha Mendengar. Artinya, mendengar segala sesuatu.
سَمِيعٌ
Maha Mengetahui. Artinya, mengetahui segala sesuatu.
عَلِيمٌ
Tafsir dan Pelajaran yang Dipetik
1.      Pengertian-pengertian.
a.      Sunnatullah: aturan-aturan Allah swt. Manusia, individu dan kelompok, akan tunduk kepada aturan Allah swt. Kondisi yang mereka akan alami merupakan hasil dari sikap, perbuatan, dan akhlak yang mereka lakukan. Sunnah ini pasti akan terjadi. Sama dengan sunnatullah dalam alam semesta, yang sering disebut denan hukum alam. Api terasa panas; es terasa dingin; dan sebagainya.
b.      Nikmat Allah swt.: Apa yang membuat manusia kecukupan, enak dan bahagia hidupnya. Bisa berupa materi seperti harta dan rumah; bisa juga berupa immateri seperti hidayah, kebebasan, dan sebagainya.
    i.      Bagi orang yang beriman, nikmat digunakan untuk beramal kebaikan.
  ii.      Sedangkan bagi orang yang tidak beriman, hal yang kita lihat baik, akan menjadi sebuah keburukan untuk mereka.
فَلَا تُعْجِبْكَ أَمْوَالُهُمْ وَلَا أَوْلَادُهُمْ إِنَّمَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيُعَذِّبَهُمْ بِهَا فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَتَزْهَقَ أَنْفُسُهُمْ وَهُمْ كَافِرُونَ [التوبة: 55]
2.      Kejadian yang diisyaratkan dalam kata “ذلك” adalah kehancuran Fir’aun dan kerajaannya. Seperti disebutkan dalam ayat sebelumnya:
كَدَأْبِ آلِ فِرْعَوْنَ وَالَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ كَفَرُوا بِآيَاتِ اللَّهِ فَأَخَذَهُمُ اللَّهُ بِذُنُوبِهِمْ إِنَّ اللَّهَ قَوِيٌّ شَدِيدُ الْعِقَابِ [الأنفال: 52]
a.      Kehancuran Fir’aun adalah sesuatu yang mengherankan. Kerajaan besar; kekuasaan luas; pasukan besar; pasukan besar dan taat; dan sebagainya
b.      Sekuat apa pun, mereka tidak bisa melawan sunnatullah.
3.      Sunnatullah itu adalah bahwa Allah swt. tidak akan merubah kenikmatan yang ada pada diri kita menjadi kesengsaraan, kalau kita tidak merubah: keyakinan, sifat, kebiasaan, akhlak, yang diridhai oleh Allah swt., yang menyebabkan datangnya nikmat-nikmat tersebut.
a.      Dalam ayat lain disebutkan:
إِنَّ اللّهَ لاَ يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُواْ مَا بِأَنْفُسِهِمْ [الرعد: 11]
Kalau ada manusia merubahnya, maka Allah swt. pun akan mencabut nikmat tersebut. Yang kaya akan berubah menjadi miskin; yang kuat akan berubah menjadi lemah; yang mulia akan berubah menjadi hina; dan sebagainya. Hal ini berlaku secara pribadi maupun umat.
b.      Yang paling utama dari hal-hal tersebut adalah bersyukur kepada Allah swt. Banyak sekali ayat yang menyebutkan kaum-kaum yang dihancurkan lantaran mereka kufur kepada Allah swt. Yaitu menutupi nikmat Allah swt. dengan mengingkarinya; bersikap seakan tidak mendapatkan nikmat; seakan apa yang didapatnya bukan pemberian dari Allah swt.; dan nikmat tersebut digunakan untuk melakukan maksiat. Syukur kepada Allah swt. mempunyai beberapa rukun:
    i.      Lisan: dengan memuji
  ii.      Hati: dengan mengakui dan mengagungkan
iii.      Anggota tubuh: banyak beribadah; menggunakan nikmat itu untuk ketaatan.
c.       Banyak ayat yang menyebutkan kisah kaum-kaum yang Allah swt. hancurkan lantaran sebab tersebut:
-            وَضَرَبَ اللّهُ مَثَلاً قَرْيَةً كَانَتْ آمِنَةً مُّطْمَئِنَّةً يَأْتِيهَا رِزْقُهَا رَغَداً مِّن كُلِّ مَكَانٍ فَكَفَرَتْ بِأَنْعُمِ اللّهِ فَأَذَاقَهَا اللّه لِبَاسَ الْجُوعِ وَالْخَوْفِ بِمَا كَانُواْ يَصْنَعُونَ [النحل: 112]
-            وَكَمْ أَهْلَكْنَا مِن قَرْيَةٍ بَطِرَتْ مَعِيشَتَهَا فَتِلْكَ مَسَاكِنُهُمْ لَمْ تُسْكَن مِّن بَعْدِهِمْ إِلَّا قَلِيلاً وَكُنَّا نَحْنُ الْوَارِثِينَ [القصص: 58]
-            لَقَدْ كَانَ لِسَبَإٍ فِي مَسْكَنِهِمْ آيَةٌ جَنَّتَانِ عَن يَمِينٍ وَشِمَالٍ كُلُوا مِن رِّزْقِ رَبِّكُمْ وَاشْكُرُوا لَهُ بَلْدَةٌ طَيِّبَةٌ وَرَبٌّ غَفُورٌ فَأَعْرَضُوا فَأَرْسَلْنَا عَلَيْهِمْ سَيْلَ الْعَرِمِ وَبَدَّلْنَاهُم بِجَنَّتَيْهِمْ جَنَّتَيْنِ ذَوَاتَى أُكُلٍ خَمْطٍ وَأَثْلٍ وَشَيْءٍ مِّن سِدْرٍ قَلِيلٍ ذَلِكَ جَزَيْنَاهُم بِمَا كَفَرُوا وَهَلْ نُجَازِي إِلَّا الْكَفُورَ [سبأ: 15]
d.      Ini menunjukkan keadilan Allah swt.; tidak menyiksa atau merampas nikmat tanpa alasan. Kaum-kaum tersebut menjadi sengsara karena memang telah melakukan kesalahan. Walaupun sebenarnya Allah swt. Maha Kuasa dan Maha Berkehendak. Bahkan dalam Ar-Ra’du, ayat tentang sunnah perubahan itu disebutkan dalam konteks ayat-ayat (tanda-tanda) kekuasaan Allah swt.
-            اللَّهُ الَّذِي رَفَعَ السَّمَاوَاتِ بِغَيْرِ عَمَدٍ تَرَوْنَهَا [الرعد: 2]
-            وَهُوَ الَّذِي مَدَّ الْأَرْضَ وَجَعَلَ فِيهَا رَوَاسِيَ وَأَنْهَارًا [الرعد: 3]
-            اللَّهُ يَعْلَمُ مَا تَحْمِلُ كُلُّ أُنْثَى وَمَا تَغِيضُ الْأَرْحَامُ وَمَا تَزْدَادُ وَكُلُّ شَيْءٍ عِنْدَهُ بِمِقْدَارٍ [الرعد: 8]
4.      Itu semua berkaitan dengan hilangnya nikmat. Hal yang sama juga berlaku dalam menghadirkan nikmat; harta, kekuasaan, kemenangan, kebahagiaan, dan sebagainya. Semua itu akan Allah swt. berikan ketika seorang hamba layak.
a.      Allah swt. hanya akan memberikan nikmat kepada orang yang layak mendapatkannya. Yaitu jika terdapat keyakinan, sifat, kebiasaan, akhlak, yang diridhai oleh Allah swt., dan tidak membuat-Nya murka.
b.      Hal ini juga menunjukkan bahwa kebaikan harus diusahakan dengan dua macam usaha:
    i.      Usaha material, seperti: bekerja, belajar, berlatih, menyiapkan perlengkapan, dan sebagainya
  ii.      Usaha yang bersifat immaterial, seperti: keimanan, keikhlasan, kesolehan, doa, tawakkal, mengharap surga, dan sebagaianya.
5.      Para ulama juga memahami bahwa memperbaiki keadaan sebuah kaum juga bisa dengan menggunakan ayat ini. Bahwa perbaikan hendaknya dimulai dari “ما بأنفسهم” (apa yang ada di dalam jiwa).
a.      Memperbaiki fenomena kerusakan di masyarakat, bangsa dan negara adalah hal yang sulit. Banyak sistem-sistem yang gagal menanggulanginya.
b.      Sesuatu menjadi fenomena di masyarakat melalui proses:
    i.      Fenomena
  ii.      Akhlak
iii.      Kebiasaan
 iv.      Perbuatan
   v.      Niat
 vi.      Keinginan
vii.      Lintasan pikiran
c.       Merubah fenomena, akhlak, kebiasaan, dan perubahan adalah hal yang sulit. Merubah akan lebih mudah jika dimulai dari niat, keinginan, atau bahkan lintasan pikiran.
Moh Sofwan  
Pengajian Tafsir Masjid Raudhatul Jannah RCTI Kebon Jeruk, 16 Januari 2012

klik untuk download materi diatas
Download Word
Download Power Point 
Berbagi itu indah: :
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
 
Copyright © 2011. Mahad Aly An-Nuaimy - All Rights Reserved
Template by Creating Website