Al-Qur’an adalah kitab suci agama Islam yang
dijadikan sebagai pedoman hidup yang paling fundamental (manhaj al-hayat
al-asasi). Ia diturunkan oleh Allah
swt sebagai petunjuk (al-huda), cahaya
penerang (an-nur), bukti (al-burhan), penyembuh (asy-syifa’) dan
pembeda antara yanng haq dengan yang batil (al-furqon). Keberadaan
al-Qur’an juga diperuntukkan sebagai sumber hukum bagi manusia (dustur lil
ummah), hidayah bagi makhluk sekaligus sebagai tanda kebenaran risalah
Rasul saw. Ia adalah mu’jizat yang abadi sepanjang kurun dan masa.
Dalam menginterpretasi teks suci, dibutuhkan adanya penafsiran. Demikian
juga dengan al-Qur’an. Tafsir al-Qur’an memiliki peran yang sangat signifikan
dalam menjabarkan firman Allah. Tafsir secara etimologi berasal dari bahasa
Arab,fassara, yang bemakna menerangkan atau menjelaskan. Sedang secara
terminologi, tafsir merujuk kepada ilmu yang dengannya membantu memahami kitab
Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw, makna-makna, hukum-hukum dan
hikmah-hikmah yang terkandung di dalamnya. Orang yang menafsirkan disebut mufassir.
Secara historis, ilmu pertama yang lahir di kalangan umat Islam adalah ilmu
tafsir. Ilmu tafsir al-Qur’an sangat urgen karena ia merupakan ilmu asas yang di atasnya dibangun keseluruhan
struktur, tujuan, pandangan hidup dan peradaban Islam. Itulah sebabnya mengapa
Imam at-Thobari (W 310 H) menganggapnya sebagai ilmu yang terpenting
dibandingkan dengan ilmu lainnya. Alasan lainnya, tafsir adalah satu-satunya
ilmu yang berhubungan langsung dengan Nabi saw, sebab Beliau diperintahkan
Allah swt untuk menyampaikan risalah kenabian, “agar Kamu (Muhammad) dapat
menjelaskan kepada manusia apa-apa yang diturunkan kepada mereka”(QS. An-Nahl
44). Para sahabat langsung mendatangi Beliau bila terjadi permasalahn pelik
yang menimpa mereka. Di samping itu, Nabi saw menafsirkan sendiri ayat-ayat al-Qur’an yang menurut
hemat beliau memang membutuhkan penjelasan, baik itu bentuknya verbal atau
perbuatan yang kemudian menjadi sunnah.
Selepas wafatnya Nabi saw, tongkat estafet penafsiran dilanjutkan oleh para
sahabat. Dalam menafsirkan al-Qur’an, mereka berpedoman pada metodologi Nabi,
yaitu menafsirkan al-Qur’an dengan al-Qur’an lalu al-Qur’an dengan hadis. Bila
tidak menemukan pada keduanya, barulah mereka berijtihad. Dengan ini para
sahabat tidak serampangan dalam menafsirkan. Mereka amat berhati-hati. “Bumi
mana yang membawaku dan langit mana yang menaungiku jika aku mengatakan dalam
Kitab Allah apa yang tidak aku ketahui” ujar Abu Bakar ra. Dalam al-Itqon
karya Imam as-Suyuthi, para mufassir ternama di kalangan sahabat berjumlah 10
orang: kholifah yang empat, Ibnu Mas’ud, Ibnu Abbas, Ubay bin Ka’ab, zaid bin
Tsabit, Abu Musa al-As’ari dan Abdullah bin az-Zubair. Sedang riwayat yang
paling banyak sampai kepada kita di antara khulafaurrasyidin adalah berasal
dari Ali bin Abi Thalib. Ini disebabkan khalifah sebelunya wafat terlebih
dahulu.
Fase penafsiran berikutnya dilanjutkan oleh para Tabi’in.
Mereka tersebar ke berbagai lokasi. Tabi’in Makkah seperti Sa’id bi Jubair (W
95 H), Mujahid bin Jabar (w 104 H), Ikrimah maula Ibnu Abbas (105 H), Thawus
bin Kisan al-Yamani dan Atha’ bin Robi’ah (114 H). Mereka adalah hasil didikan
intensif Ibnu Abbas. Tabi’in Madinah seperti
Zaid bin Aslam, Abu al-Aliyah dan Muhammad bin Ka’ab al-Qurazi
meriwayatkan dari Ubay bin Ka’ab. Tabi’in Iraq seperti Ilqimah bin Qais,
masruq, al-Aswaq bin Yazid, Murah al-Hamzani, Qotadah dan Hasan al-Bashri
mengambil riwayat Abdullah bin Mas’ud.
Sejarah Penulisan dan Jenis Kitab Tafsir
Menurut
Ibnu Nadim, seorang sejarawan Muslim ternama, tafsir yang sudah ditulis oleh
pengarangnya sendiri dan termasuk yang paling awal adalah karya Sa’id bin
Jubair (W 95 H), seorang kibar at-tabi’in. Karya ini ditulis atas
permintaan Khalifah Abdul Malik bin Marwan (84 H). Namun karya ini tidak sampai
ke tangan kita. Karya tafsir yang termasuk paling tua dan sampai ke tangan kita
sekarang dan ditulis oleh pengarangnya sendiri adalah potongan dari al-Wujuh
wa an-Naza’ir karya Muqotil bin Sulaiman al-Balkhi (150 H) selain karya
tersebut, beliau juga menulis beberapa karya tafsir seperti Khomsumi’ah Ayah
min al-Qur’an, at-Tafsir fi Mutasyabih al-Qur’an dan at-Tafsir al-Kabir. Karangan
beliau ini menjadi pijakan para ulama lain, termasuk di antaranya Imam Sufyan
bin Uyainah (198 H), Imam as-Syafi’i (204 H) dan Imam Ahmad.
Sezaman
dengan Muqotil sendiri, sudah terdapat banyak mufassir lain. Di antaranya
adalah Abdurrahman al-Suddi (127 H), Muhammad bin al-Sa’ib al-Kalbi (146 H),
Syu’bah bin al-Hajjaj (160 H), Sufyan ats-Thauri (161 H) dan Ibnu Ishaq, ahli
siroh terkenal. Selain karya Muqotil itu, terdapat juga berbagai karya tafsir
yang dinisbatkan kepada para pengarangnya seperti al-Farra (207 H) dengan
karyanya Ma’ani al-Qur’an, Abdurrazzaq al-San’ani dengan karyanya Tafsir
al-Qur’an dan al-Akhfash al-Ausath dengan Ma’ani al-Qur’an.
Bagaimanapun
sejak abad pertama sampai abad ketiga Hijriah, belum ada yang menulis tafsir
secara utuh dari surat al-Fatihah sampai an-Nas. Penulisan secara utuh baru
dimulai pada abad keempat hijriah. Ini pertama kali dipelopori oleh Ibnu Jarir
at-Thobari (310H) dalam karya monumentalnya Jami’ al-Bayan fi Ta’wil
al-Qur’an. Beliau menggunakan metode isnad dalam penafsirannya. Tujuannya
agar tafsiran beliau tidak serampangan dan tetap berpegang pada penafsiran yang
otoritatif (hadis Nabi, komentar para sahabat dan tabi’in). Pendekatan Beliau
ini diikuti oleh Ibnu Katsir (774 H) dalam tafsirnya Tafsir al-Qur’an
al-Adzim dan Jalaluddin as-Suyuthi (911 H) dalam ad-Durr al-Mantsur fi at-Tafsir
bi al-Ma’tsur. Metode penafsiran semacam inilah yang disebut dengan at-Tafsir
bi ar-Riwayah atau at-Tafsir bi al-Ma’tsur.
Ulama
terdahulu menyamakan antara tafsir dengan ta’wil, contohnya Imam at-Thobari .
beliau menulis dalam tafsirnya, “pendapat atas ta’wilan ayat ini” atau “para
ahli ta’wil berbeda pendapat dalam ayat ini.” Ta’wil yang beliau maksud di sini
adalah tafsir. Pemahaman ini berdasarkan doa Nabi saw untuk Ibnu Abbas, Allohumma
faqqihhu fiddin wa allimhu at-ta’wil (ya Allah, jadikanlah ia fahih dalam
agama dan ajarkanlah ia ta’wil yaitu tafsir).
Adapun
ulama muta’akhirin membedakan antara keduanya. Ta’wil adalah penjelasan
terhadap sebagian makna dari ayat al-Qur’an yang mengandung beberapa
pengertian. Dalam definisi lain, tafsir adalah mengungkap makna-makna zahir
dalam al- Qur’an. Sedang ta’wil merupakan hasil istinbath para ulama terhadap
makna yang tersembunyi dan yang mengandung rahasia dari ayat-ayat al-Qur’an.
Demikian menurut as-Suyuthi dalam al-Itqon. Pendapat ini dikuatkan oleh
al-Alusi (1270 H) dalam Tafsir Ruh al-Ma’ani.
Di
samping metodologi yang ditempuh oleh Imam at-Thobari, sebagian mufassir
setelah beliau memilih metode Tafsir bi ad-Diroyah atau Tafsir bi ar-Ro’yi.
Metode ini mengoptimalkan ijtihad yang dibangun atas dasar-dasar yang shahih
dan kaidah-kaidah yang bisa diterima. Jadi
bukan semata-mata berpegang pada rasio bebas atau kepentingan ijtihad
pribadi yang bertentangan dengan riwayat yang shahih. Karena Nabi saw pernah
mewanti-wanti,”barangsiapa yang berkata tentang al-Qur’an semata-mata karena
rasionya, maka bersiaplah mengambil tempat duduknya di neraka.”(HR.
Bukhori)
Karya
tafsir yang menggunakan metode ini di antaranya: Mafatih al-Goib karya
Muhammad bin Umar ar-Razi (606 H), Anwar at-Tanzil karya al-Baidhawi
(675 H), Madariq at-Tanzil wa Madariq at-Tanzil karya an-Nasafy (701 H),al-Bahru
al-Muhith karya Ibnu Hayyan al-Andulisy dan Tafsir Jalalain karya
Jalaluddin as-Sayuthi dan Jalaluddin al-Mahalli (864 H).
Jenis ketiga dari metodologi tafsir adalah
At-Tafsir al-Isyari. Definisinya
adalah ta’wil terhadap al-Qur’an yang berbeda dengan zhohir nash yang ada
berdasarkan atas isyarat tersembunyi. Isyarat itu hanya bisa difahami oleh
sebagian ahli ilmu yang ‘arif billah lagi bersih hatinya. Dalam metode ini,
mufassir memandang pengertian yang berbeda dari zhohir ayat. Hanya ulama yang
diberi bashiroh (petunjuk) oleh Allah sajalah yang mampu mengungkap
isyarat tersebut.
Di
kalangan ulama sendiri, tafsir al-isyari ini menjadi polemik antara yang
membolehkan dan yang melarang. Bagi ulama yang membolehkan telah menetapkan dua
syarat diterimanya tafsir ini, pertama: tidak menafikan makna zhohir ayat
al-Qur’an. Kedua: tidak ada klaim bahwa ialah satu-satunya penafsiran yang
shahih bukan yang lainnya. Namun terkadang banyak para zindiq dan kaum ektrim
dari golongan tasauf dan Syiah menggunakan tafsir jenis ini untuk
menjustifikasi kesesatan mereka. Ada pula yang berdalih dengannya guna berlepas
diri dari syariat Islam. Di antara Tafsir al-Isyari yang ada adalah al-Kasyfu
wa al-Bayan karya an-Nisaburi, Ruh al-Ma’ani karya al-Alusi dan at-Tafsir
al-Qur’an al-Adzim karya at-Tasturi.
Selain
tafsir al-Qur’an, ilmu-ilmu penunjang tafsir juga telah dirumuskan secara
mapan. Kajian secara lebih khusus dan sistematis terangkum dalam ulum
al-Qur’an. Para ulama telah memilah-milah beberapa aspek terpenting seperti
asbab an-nuzul,al-Makiyyah wa al-Madaniah, an-nasikh wa al-mansukh,
al-muhkam dan al-mutasyabih, i’jaz al-Qur’an, i’rob al-Qur’an, qiroaah
al-Qur’an, amtsal al-Qur’an, gharaib al-Qur’an dan lain-lain.
Mengingat
bahwa mentafsirkan al-Qur’an adalah pekerjaan berat, para ulama menetapkan
kualifikasi seseorang layak menjadi seorang mufassir. Setidaknya ia harus
menguasai ushuluddin, mendalami Nahwu, sharf dan istihqoq, juga menguasai ushul fiqh, asbabun nuzul, nasikh dan
mansukh, ilmu qiroat, hadis dan fiqh. Tujuannya adalah agar mufassir bisa
menjaga keilmiahan karyanya sekaligus berperan memelihara keotientikan
al-Qur’an.
Pemaparan di atas menunjukkan
bahwa tafsir beserta ulum al-qur’an telah menjadi sebuah disiplin ilmu yang
sangat matang. Ia adalah bagian yang tak terpisahkan dari Islam. Karena ia
sudah lahir sejak wahyu belum diturunkan secara sempurna. Memang sebagai
mu’jizat yang abadi, al-Qur’an telah, sedang dan akan selalu ditafsirkan.
Karena Ia senantiasa memberikan aspirasi baru yang up to date terhadap fenomena
zaman yang ternyata sesuai dengannya. Karena itu penafsirannya tidak akan
terhenti dan akan terus menerus diulas dari berbagai perspektif cabang ilmu yang
berbeda. Tentu dalam koridor yang sudah ditetapkan oleh para ahli tafsir
melalui kaedah-kaedah yang sudah baku dan mapan.
Wallohu A’lamu bi as-Showab