nuaimy
tentang nuaimy
Latest Post

Ulangan Tengah Semester Ganjil 2013-2014
















 





SEJARAH PERKEMBANGAN PENULISAN DAN PEMBUKUAN HADIST 3


SEJARAH PERKEMBANGAN PENULISAN DAN PEMBUKUAN HADIST III
6.Periode ke Enam
 Kejayaan Kodifikasi Hadis ( Abad III H )
Pada abad ini disebut “Azha ushur al-sunnah al-Nabawiyyah” (masa keemasan sunah), karena pada masa ini kegiatan rihlah mencari ilmu dan sunah serta pembukuannya mengalami puncak keberhasilan yang luar biasa. Maka lahirlah buku-buku Hadis Musnad, buku induk Hadis enam, buku Hadis Sunan, dan Shahih yang dipedomani oleh umat Islam.
Maksud buku induk Hadis enam ialah buku-buku Hadis yang dijadikan pedoman dan referensi para ulama Hadis berikutnya yaitu:
1.      al-Jami’ al-Shahih al-Bukhari (194-256 H)
2.      al-Jami’ al’Shahih li Muslim (204-261 H) kedua kitab ini disebut “al-Shahihayn” atau “Muttafaq alaih”.
3.      Sunan al-Nasa’I (215-303 H)
4.      Sunan Abu Dawud (202-276 H)
5.      Jami’ Al-Turmudzi (209-269 H)
6.      Sunan Ibn Majah (209-276 H)
Masa ini juga disebut “ashr al-jami’ wa al-Takhsish” (masa pembukuan dan penyaringan), karena masa yang paling sukses dalam pembukuan hadis, pada masa ini ulama hadis telah berhasil memisahkan Hadis Nabi Saw dari yang bukan Hadis atau dari hadis Nabi dari perkataan sahabat dan fatwabya dan telah berhasil pula mengadakan filterisasi yang sangat teliti.
Perkembangan pembukuan Hadis pada masa ini ada tiga bentuk, yatiu sebagi berikut:
1.      Musnad, yaitu menghimpun semua Hadis dari tiap-tiap sahabat tanpa memperhatikan masalah atau topiknya dan dinilai ada yang shahih, hasan, dan dhaif. Misalnya semua hadis Nabi yang dipeoleh seoran periwayat melalui Aisyah dikelompokkan pada Hadis-hadis Aisyah.
2.      Al-jami’, yaitu teknik pembukuan hadis yang mengakumulasi 9 masalah yaitu aqa’id, hukum,  perbudakan (riqaq), adab makan minum, tafsir, tarikh, sifat-sifat akhlaq (syamail), fitnah, dan sejarah (manaqib). Misalanya kitab al-jami’ al-Shahih al-Bukhari, al-jami’ Shahih li Muslim, dan Jami’ al-Turmudzi. Kualitas kitab Al-Bukhari dan Muslim shahih semua sebagaimana nama kitab yang menyebutkan kata al-Shahih sedang kitab al-Turmudzi sama dengan kitab sunan ada yang shahih, hasan, dan dhaif.
3.      Sunan, teknik penhimpunan Hadis secara bab seperti fikih, setiap bab memuat beberapa Hadis dalam satu topik, seperti sunan al-Nasa’I, sunan Ibn Majah, dan sunan Abu Dawud. Di dalam kitab ini ada yang shahih, hasan, dan dhaif.

7.  Periode Abad IV-VI H
Ulama yang hidup pada abad ke 4 H dan seterusnya disebut ulama muta’akhirin atau khalaf (modern) sedang yang hidup sebelum abad 4 H disebut ulama mutaqaddimin atau ulama salaf (klasik). Perbedaan mereka dalam dalam periwayatan dan kodifikasi hadis, ulama mutaqaddimin menhimpun Hadis Nabi dengan jalan langsung mendengar dari guru-gurunya kemudian mengadakan penelitian sendiri baik matan dan sanadnya. Sedang ulama mutaakhirin cara periwayatannya dan pembukuannya bereferensi dan mengutip dari kitab-kitab ulama mutaqaddimin. Oleh karena itu tidak banyak penambahan Hadis pada masa ini dan berikutnya kecuali sedikit saja dan dari segi pembukuan lebih sistematik dari pada sebelumnya. Kegiatan pembukuan hadis dalam bentuk ikhtisar (resume), istikhraj, dan syarah (ulasan).

Diantara perkembangan buku Hadis pada masa abad IV ialah sebagai berikut:
1.      Mu’jam yang ditulis oleh Sulayman bin Ahmad al-Thabrani (w 360 H) yang terbagi dalam tiga Mu’jamnya yaitu:
a.       Al-Mu’jam al-Kabir,penghimpunan Hadis yang diperoleh berdasarkan nama sahabat secara abjad, hanya dimuli dari 10 sahabat yang digembirakan masuk surga oleh Rasulullah. Mu’jam ini memuat kurang lebih 525.000 hadis.
b.      Al-Mu’jam al-Aswath
c.       Al-Mu’jam Al-Asghar, kedua Mu’jam yang belakangan ini menghimpun beberapa Hadis berdasarkan yang diperoleh dari syeiknya yang abjadi, hanya benruknya yang membedakan antara keduanya. Jika Al-Mu’jam Al-Ausath tengah-tengah atau sedang, Al-Mu’jam Al-Asghar lebih sederhana. Kitab Mu’jam seperti kamus ialah penghimpunan hadis didasarkan pada nama musyyaikhnya atau negeri tempat tinggalnya atau kabilah secara abjadi.
2.      Shahih, artinya diantara metode pembukuannya mengikuti metode pembukuan hadis shahihayn (Bukhari dan Muslim), yaitu sebagai berikut:
§  Shahih Ibn Hibban al-Bas’ti (w. 354 H)
§  Shahih Ibn Khuzaimah (w.311)
§  Shahih Ibn Al-Sakan (w. 353 H)
§  Al-Mustadrak ‘ala Shahihayn yang ditulis Abi Abdullah Al-Hakim al-Nasyabiri (w.405 H). kitab Mustadrak Artinya menambah beberapa hadis shahih yang belum disebutkan dalam kitab Al-Bukhari Muslim dan menurutnya dan menurutnya telah memenuhi syarat keduanya.
3.      Sunan, metode penulisannya sperti kitab sunan abad sebelumnya, yaitu cakupannya hadis-hadis tentang hukum dan kualitasnya meliputi hadis-hadis shahih, hasan, dan dhaif, yaitu sebagai berikut:
§  Muntaqa Ibn Al-Jarud (w.307 H)
§  Sunan Al-Daru Qutni (w. 385 H)
§  Sunan Al-Baihaqi (w. 458 H), Al-Baihaqi memang wafatnya belakangan akan tetapi umumnya dimasukkan ke abad 4, karena metode penulisannya yang mirip pembukuan abad 4 H.

4.      Syarah, yakni penjelasan hadis baik yang berkaitan dengan sanad atau matan, terutama maksud dan makna matan hadis atau pemecahannya jika terjadi kontradiksi dengan ayat atau hadis, misalnya:
§  Syarh Ma’ani Al-Atsar, ditulis oleh Al-Thahawi (w.321 H)
§  Syarh Musykil Al-Atsar, ditulis oleh Al-Thahawi (w. 321 H)

5.      Mustakhraj, metode penulisan istikhraj adalah seorang penghimpun hadis mengeluarkan beberapa hadits dari sebuah buku hadis seperti yang diterima gurunya sendiri dengan menggunakan sanad sendiri. Misalnya Mustakhraj Abi Bakr Al-Isma’ili ‘ala shahih al-Bukhari (w. 371 H)
6.      Gabungan beberapa buku Hadis, yaitu sebagai berikut:
a.       Gabungan dua kitab shahih “al-Jam’u al-Bayn al-Shahihayn” yang ditulis oleh Ismail bin Ahmad yang dikenal dengan Ibn Al-Furat
b.      Gabungan dua kitab shahih “al-Jam’u al-Bayn al-Shahihayn” yang ditulis oleh Al-Husin bin Mas’ud Al-Baghawi (w. 516 H).
c.       Gabungan lima kitab “al-Tajrid li al-Shahih wa al-Sunan” yaitu gabungan Shahihayn, muwaththa, dan kitab-kitab sunan selain Ibn Majah, yang ditulis oleh Abi Al-Hasan Razin bin Muawiyah Al-Sirqisthi. (W. 535 H).
d.      Gabungan enam kitab, “jami’Al-Ushul li Ahadits al-Rasul” yang ditulis oleh Ibn Atsir Al-Jazari” (w.606 H).

8.    Periode Abad VII – XII dan Sekarang
Setelah pemerintahan Abbasiyyah jatuh ke tangan bangsa Tartar pada tahun 656 H, maka pusat pemerintahan pindah dari Baghdad ke Kairo Mesir dan India. Pada masa ini banyak kepala pemerintahan yang berkecimpung dalam bidang ilmu Hadis sepeti Al-Barquq. Disamping itu banyak usaha ulama India dalam mengembangkan kitab-kitab Hadis. Diantaranya, merekalah yang menerbitkan “Ulumul Hadis” karangan Al-Hakim.
Pada akhir abad ke 7 H turki dapat menguasai daerah-daerah Islam kecuali bagian Barat seperti Maroko dan sekitarnya. Pada peretengahan abad ke 9 H Turki dibawah pemerintahan Otoman berhasil merebut kota Konstantinopel dan dijadikan ibu kotanya. Kemudian menaklukan Mesir dan melenyapkan khilafah Abbasiyah. Turki semakin kuat, akan tetapi bersamaan dengan itu pemerintahan Islam di Andalusia Hancur dan Islam padam setelah memancar sinarnya selama 8 abad. Belum lagi imperialis Barat yang menguasai dunia Islam dengan menjajah dan memperbudak umat Islam. Hal ini menyebabkan kemunduran umat Islam dalam segala bidang termasuk dalam pengabdiannya terhadap agama.
Karena kondisi seperti diatas, ulama hadis tidak bebas dalam menyampaikan dan menerima Hadis. Maka dilakukan secara murasalat (korespondensi), ijazah, dan Imlak. Metode Ijazah artinya seorang guru memberikan izin kepada muridnya untuk meriwayatkan Hadis yang ditulis oleh gurunya. Sedang metode Imlak artinya, seorang guru Hadis duduk di Masjid (biasanya pada hari Jum’at) kemudian ia menguraikan hadis itu baik dari segi kualitasnya, kandungannya, dan lain-lain, sedan yang hadir mencatat, seperti yang dilakukan oleh Zainuddin Al-Iraqi (w. 806 H), dan Ibn Hajar Al-Asqalani (w. 852 H).
Perkembangan penulisan Hadis pada abad ini sebagai berikut:
1.      Menyusun kembali kitab-kitab Hadis dahulu, baik dari segi matan dan sanadnya untuk memudahkan bagi umat Islam dalam mempelajarinya.
2.      Menghimpun Hadis-Hadis Mawdhu’ (palsu), diantaranya seperti:
a.       Al-Mawdhu’at ditulis oleh al-Asbahani (w.414 H).
b.      Al-Mawdhu’at ditulis oleh Ibn Al-Jawzi. (w. 597 H).
c.       Al-Laili al-Mashnu’at fi al-Ahadits al-Mawdhu’at oleh Jalaluddin Al-Suyuthi. (w. 911 H)
3.      Hadis-Hadis hukum diantaranya seperti:
a.       Al-Ahkam Al-Kubra ditulis oleh Ibn al-Kharat (w 581 H).
b.      ‘Umdah Al-Ahkam oleh al-Maqdisi (w. 600 H).
c.       Bulugh al-Maram oleh al- Asqalani (w. 852 H).
4.      Hadis Athraf, artinya teknik pembukuan Hadis dengan menyebutkan permulaan Hadisnya saja, misalnya “Athraf Al-kutub Al-Sittah” (Shahihayn dan kitab-kitab sunan selain Ibn Majah) ditulis oleh al-Maqdisi dikenal Ibn al-Qisrani (w. 507 H).
5.      Takhrij, yaitu seorang Muhaddis mengeluarkan beberapa Hadis yang ada dalam buku Hadis atau pada buku lain dengan menggunakan sanad sendiri atau ditelusuri sanad dan kualitasnya. Misalnya ‘Irwa Al-Ghalil fi Takhrij Ahadis Mannar al-Sabil, oleh Nashiruddin al-Albani.
6.      Zawa’id yaitu penggabungan beberapa kitab tertentu seperti musnad dan Mu’jam ke beberapa kitab induk Hadis. Mislanya Magna Al-Zawa’id wa Manba’ al-Fawa’id ditulis oleh Al-Haytami (w 807 H). Dalam buku ini  di samping berisikan kutub al-Sittah ada tambahan Musnad Ahmad,al-Bazzar, Abi Ya’la, dan Mu’jam al-Thabarani. Zawa’id juga diartikan mengumpulkan Hadis-Hadis yang tak terdapat dalam kitab-kitab yang sebelumnya ke dalam sebuah kitab tertentu, seperti Zawa’id al-Sunan al-Kubra disusun oleh Al-Bashri (w. 840 H).
7.      Jawami’  atau Jami’ , sebuah kitab Hadis yang menhimpun kitab-kitab Hadis Nabi secara mutlak, seperti Jami’ al-Kabir yang dikenal dengan sebutan Jami’ al-Jawami’ dan al-Jami’ al-Shaghir tulisan al-Suyuthi (w. 911 H).
Demikian perkembangan penulisan dan pengkodifikasian Hadis sampai pada abad 12 H. Mulai abad terakhir ini sampai sekarang dapat dikatakan tidak ada kegiatan yang berarti dari para ulama dalam bidang Hadis, kecuali hanya membaca, memahami, Takhrij, dan memberikan syarah Hadis-Hadis yang telah terhimpun sebelumnya.
 Al-Syawkani dalam mukaddimah kitab Nayl al-Authar mejelaskan, bahwa kitab-kitab Hadis yang sah dijadikan hujjah adalah:
1.      Shahih al-bukhari dan Shahih Muslim
Hadis-hadis yang tertulis dalam kedua kitab shahih al-Bukhari dan shahih Muslim dapat dijadikan hujjah tanpa melihat sanad, hanya diperlukan meninjau maksud Hadis yakni tinjauan dirayah.
2.      Hadis-Hadis shahih dalam selain al-Bukhari dan Muslim
Hadis-Hadis yang terdapat dalam kitab0kitab selain shahih al-Bukhari dan Muslim, asal telah dinilai shahih oleh salah seorang imam Hadis yang terpandang dan tidak dicacat oleh ulama imam Hadis lain.
3.      Kitab-kitab Hadis shahih
Hadis-Hadis yang terdapat di dalam kitab-kitab Hadis yang menurut penyusunannya tidak memasukkan selain Hadis shahih saja. Seperti shahih Ibn Khuzaimah dan lain-lain. Hal ini, jika tidak didapati keteranan cacat dan kecuali shahih al-Hakim yang bernama al-Mustadrak karena ia menulisnya pada saat berusia lanjut yang sudah tidak sempat mengoreksi lagi.
4.      Kitab-kitab sunan
Hadis-Hadis yang terdapat dalam kitab sunan yang diakui keshahihannya atau kehasanannya oleh pengarang kitab sunan tersebut dapat diterima.

Adapun Hadis-Hadis yang terdapat dalam kitab-kitab sunan atau musnad yang tidak diterangkan kualitasnya, hendaknya bagi orang yang ada kemampuan memeriksa atau meneliti, periksalah terlebih dahulu keshahihannya atau kehasanannya. Jika tidak ada kemampuan untuk meneliti, hendaknya mengikuti penelitian para ahli yang telah mengadakan penelitian dan jika tidak didapatkan hendaknya dihentikan.

Rangkuman
Para sahabat sangat antusias dalam mencari,menyaksikan dan mendengar Hadis dari Nabi Muhammad Saw, tetapi Hadis pada waktu itu hanya dihapal atau diingat saja. Secara umum penulisan Hadis dilarang Rasul Saw karena khawatir bercampur aduk dengan penulisan Al-Qur’an, kecuali secara khusus bagi mereka yang lemah hapalannya seperti Abu Syah atau rapih tulisannya seperti Abdullah bin Amr bin Al-‘Ash. Penulisan Hadis pada waktu itu berfungsi untuk membantu ingatan mereka agar tidak lupa, setelah hapal bagi sebagian mereka catatan itu bisa jadi dibakar. Pada masa Al-Khulafa Al-Rasyidun para sahabat memperkecil periwayatan Hadis atau tidak boleh meriwayatkannya kecuali ada saksi dan beranni bersumpah. Hal ini dimaksudkan untuk memelihara perhatian mereka agar tetap mengutamakan Al-Qur’an.
Setelah Al-Qur’an terkodifikasi (pada masa Utsman), para sahabat senior berpencar ke berbagai daerah, timbul dan tersebar Hadis Mawdhu’ , dan para Ulama banyak yang meninggal, pada masa Umar bin Abdul Aziz abad ke 2 H Hadis dihimpun dan dikodifikasikan pertama kali dalam Islam. Namun pada masa ini hanya menghimpun dalam sebuah buku dan belum difilter mana yang Hadis Nabi dan mana perkataan sahabat, seperti Al-Muwaththa’ karya Malik. Baru pada abad ke 3 H Hadis mulai dapat dihimpun, dikodifikasi, diklasifikasikan, dan diadakan filterissasi/penyaringan antara Hadis Nabi dan perkataan atau fatwa sahabat dan dapat pula diklasifikasikan mana yang shahih dan mana yang dhaif pada abad inilah perkembangan kodifikasi Hadis mengalami puncaknya yaitu timbulnya 6 buku induk Hadis.
Pada abad berikutnya yaitu abad ke 4 H dan seterusnya tidak mengalami perkembangan yang signifikan, karena para ulama ahli Hadis hanya bereferensi pada kitab-kitab abad sebelumnya. Perkembangan pengkodifikasian Hadis berikutnya hanya terfokus dari segi kualitas belaka, misalnya Al-Mustadrak, karya Al-Hakim (w 371 H), Al-Mu’jam Al-Kabir,Al-Awsath, dan Al-Asghar karya Al-Thabarani (w. 360 H), Mustakhraj Abi Bakar al-Ismaili ‘ala Shahih Al-bukhari (w.371 H), Syarah Ma’ani Al-Atsar, karya Al-Tahawi (w. 321 H), Athraf Kutub Al-Sittah karya Al-Maqdisi Al-Qisrani (w 507 H), dan lain-lain. Diantara buku hadis yang dipedomani umat Islam adalah Al-Muwaththa, kitab-kitab Shahih, Sunan, Musnad Ahmad, atau dari kitab-kitab lain yang telah diketahui tingkat keshahihannya[1].
 Daftar Pustaka
  1. Qadir Hasan, Ilmu Musthalah Hadits, Bandung: Dipenegoro, 2007.
  2. Muhammad Mustafa Azami, Studes in Early Hadith Literature, Terj. Ali Mustafa Ya'qub, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000
  3. Rosnawati Ali, Pengantar Ilmu Hadits, Kualalumpur: Ilham Abati Enterprise, 1997.
  4. Muhammad Mustafa Azami, Metodologi Kritik Hadits, Bandung: Pustaka Hidayah, 1996.
  5. Ahmad Amin, Fajrul Islam, Terj. Zaini Dahlan, Jakarta: Bulan Bintang, 1968.
  6. M. Hasby Ash Shiddeqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, Jakarta, 1998.
  7. Bukhari, Shahih Bukhari
  8. Dr. Muhammad ibn Mathar Al-Zahrani, Tadwin Al-Sunnah Al-Nabawiyah wa Tathawwurihi min Al-Qarn Al-Awwal ila Nihayat Al-Qarni Al-Tasi’Al-Hijri, (Thaif: Maktabah Al-Shadiq, 1412 H)
10.  Ahmad bin Ali bin Hajar al- Asqalani, fath al Bari
12.  http://basyir-accendio.blogspot.com/2012/04/sejarah-pertumbuhan-penulisan-dan.html


[1] http://basyir-accendio.blogspot.com/2012/04/sejarah-pertumbuhan-penulisan-dan.html

SEJARAH PERKEMBANGAN PENULISAN DAN PEMBUKUAN HADIST 2

SEJARAH PERKEMBANGAN PENULISAN DAN PEMBUKUAN HADIST II

5.Periode ke lima  Hadis Masa Tadwin (abad II H)

Secara bahasa tadwin diterjemahkan dengan kumpulan shahifah (mujtama’ al-shuhuf). Secara luas tadwin diartikan dengan al-jam’u (mengumpulkan). Menurut Al-Zahrani tadwid ialah “Mengikat yang berserak-serakan kemudian mengumpulkannya menjadi satu diwan atau kitab yang terdiri dari lembaran-lembaran[1].
Pada masa khalifah Umar ibn Abdul Aziz, mengintruksilkan kepada pejabat daerah agar memperhatikan dan mengumpulkan para penghafalnya,kepada Abu Bakar ibn Muhammad ibn Amr ibn Hazm ia mengirim instruksi “Perhatikan atau periksalah Hadis-hadis Rasul Saw, kemudian tuliskanlah ! Aku khawatir akan lenyapnya ilmu dengan meninggalnya para ulama’(para ahlinya). Dan janganlah kamu terima kecuali hadis Rasul SAW.”[2]Instruksi yang sama ditujukan kepada Muhammad ibn Syihab Al-Zuhri yang dinilainya sebagai orang yang lebih banyak mengetahui hadis dari pada yang lainnya.[3]

Dan  beliaulah yang pertama kali mengkompilasikan hadith dalam satu kitab dan menggandakannya  untuk diberikan ke berbagai wilayah, sebagaimana pernyataannya: ”Umar bin ‘Abdul ‘Aziz memerintahkan kepada kami menghimpun sunnah, lalu kami menulisnya menjadi beberapa buku.” Kemudian beliau mengirimkan satu buku kepada setiap wilayah yang berada dalam kekuasaannya. Demikian pandangan yang dirunut sebagian besar sejarawan dan ahli Hadith. Adapun ulama yang berpandangan Muhammad Abu Bakr ibn Amr ibn Hazm yang mengkodifikasikan hadith pertama, ditolak oleh banyak pihak, karena tidak digandakannya hasil kodifikasi Ibn Amr ibn Hazm untuk disebarluaskan ke berbagai wilayah.

Meski demikian, ada juga yang berpendapat bahwa kodifikator hadith sebelum adanya instruksi kodifikasi dari Khalifah Umar ibn ‘Abdul ‘Aziz telah dilakukan, yakni oleh Khalid bin Ma’dan (w. 103 H). Rasyid Ridha (1282-1354 H) berpendapat seperti itu, berdasar periwayatan, Khalid telah menyusun kitab pada masa itu yang diberi kancing agar tidak terlepas lembaran-lembarannya. Namun pendapat ini ditolak ‘Ajjaj al-Khatib, karena penulisan tersebut bersifat individual,  dan hal tersebut telah dilakukan jauh sebelumnya oleh para sahabat.  Terbukti adanya naskah kompilasi hadis dari abad I H, yang sampai kepada kita, yakni al-Sahifah al-Sahihah.[4]

Ulama lain sebagai penghimpun Hadis pertama pada masa ini antara lain:
1.      Ibn juraij (wafat tahun 150 H) di Makkah
2.      Al-Awza’I (w. 156 H) di Syiria
3.      Sufyan Al-Tsawri (w. 161 H) di Kufah
4.      Imam Malik (w. 179 H) di Madinah
5.      Al-Rabi’ bin Shabih (w. 160 H) di Bashrah
6.      Husyaim Al-Wasithi (w. 188 H) di Wasith
7.      Ma’mar Al-Azdi (w. 153 H) di Yaman
8.      Jarir Al-Dhabi (w. 188 H) di Rei
9.      Ibn Mubarak (w 181 H) di Khurrasan
10.  Al-Layts bin Sa’ad (w. 175 H) di Mesir

Tekhnik pembukuan Hadis pada masa ini si pengarang menghimpun Hadis-Hadis mengenai masalah yang sama dalam satu bab, kemudian bab ini dikumpulkan dengan bab-bab lain mengenai masalah yang lain dalam satu karangan. Namum Hadis pada abad ini masih campur dengan perkataan sahabat dan fatwanya. Berbeda dengan penulisan pada abad sebelumnya yang masih berbentuk lembaran (Shuhuf) atau shahifah-shahifah (lembaran-lembaran) yang hanya dikumpulkan tanpa klasifikasi ke dalam bab secara tertib. Materi hadisnya dihimpun dari shuhuf yang ditulis oleh para sahabat sebelumnya dan diperoleh melalui periwayatan secara lisan baik dari sahabat atau tabi’in. kitab-kitab hadis pada masa itu adalah:

1)                  Al-Muwaththa’ yang ditulis oleh Imam Malik
2)                  Al-Mushannaf oleh Abdul Razzaq bin Hammam Ash-Shan’ani
3)                  As-Sunnah ditulis oleh Abd bin Manshur
4)                  Al-Mushannaf dihimpun oleh Abu Bakar bin Syaybah, dan
5)                  Musnad Asy-Syafi’i.[5]

Teknik pembukuan hadith- hadith pada periode ini sebagaimana disebutkan pada nama-nama tersebut, yaitu al-mushannaf, al-muwaththa’, dan musnad. Arti istilah-istilah ini adalah:
a.             Al-Mushannaf dalam bahasa diartikan sesuatu yang tersusun. Dalam istilah yaitu teknik pembukuan hadits didasarkan pada klasifikasi hukum fiqh dan didalamnya mencantumkan hadith marfu’, mauquf, dan maqthu’.
b.            Al-Muwatththa’ dalam bahasa diartikan sesuatu yang dimudahkan. Dalam istilah Al-Muwaththa’ diartikan sama dengan Mushannaf.
c.             Musnad dalam bahasa tempat sandaran sedang dalam istilah adalah pembukuan hadith yang didaarkan pada nama para sahabat yang meriwayatkan hadith tersebut.

Tulisan-tulisan hadith pada masa awal sangat penting sebagai dokumentasi ilmiah dalam sejarah, sebagai bukti adanya penulisan hadith sejak zaman Rasululloh, sampai dengan pada masa pengkodifikasian resmi dari Umar bin abdul aziz, bahkan sampai pada masa sekarang.[6]


[1] Dr. Muhammad ibn Mathar Al-Zahrani, Tadwin Al-Sunnah Al-Nabawiyah wa Tathawwurihi min Al-Qarn Al-Awwal ila Nihayat Al-Qarni Al-Tasi’Al-Hijri, (Thaif: Maktabah Al-Shadiq, 1412 H), Cet.,hlm. 73.
[2] ‘Ajjaj Al-Khathib,op.cit.,hlm.329.
[3] Mushthafa Al-Siba’i,op.cit., hlm. 104
[5] Ahmad bin Ali bin Hajar al- Asqalani, fath al Bari, juz I, 195.
[6] http://komppaq.blogspot.com/2010/07/sejarah-kodifikasi-hadis.html

Lelaki Pendek, Hitam dan lebih Jelek dari Untanya

   Lelaki Pendek, Hitam dan lebih Jelek dari Untanya  

Di Baqi’yang hening, kampung kecil dipinggiran Madinah, Rasulullah seperti biasa menyampaikan nasehat-nasehatnya. “Siapa yang pada hari ini mengeluarkan shadaqah ,maka aku akan memberikan kesaksian baginya di sisi Allah pada hari kiamat.” begitu  Rasulullah mengabarkan berita gembira. Ya, siapa tak senang, bila di akhirat Rasulullah  menjadi saksi atas sedekahnya? Atas kebaikannya?
Tak lama, datang seorang penduduk. Orang itu begitu hitam kulitnya, paling pendek diantara penduduk yang lain. Bahkan lelaki itu selama ini dianggap paling hina di antara mereka. Dia datang membawa seeokor unta yang sangat bagus. Tidak ada seekor untapun yang lebih bagus dari unta miliknya.
“Apakah unta ini untuk shodaqoh?” tanya Rasulullah S.AW.
“ Benar wahai Rasulullah,” jawab lelaki itu. Kemudian, ada orang berkomentar mengejeknya, “Dia  mensedekahkan untanya? Padahal unta itu lebih bagus dari dirinya?”
            Mendengar perkataan itu, Rasulullah tidak senang dan berkata,”kamu sangat keliru, itu tidak benar. Bahkan orang ini lebih baik dari dirimu dan untanya. Engkau keliru,”Rasulullah bahkan mengulang perkataan itu tiga kali. Lalu menambahkan,”Beruntunglah orang yang zuhud,dan juga berusaha.”
            Begitulah, lelaki yang hitam dan pendek penduduk Baqi’ itu, dia adalah contoh tentang orang baik yang dilecehkan. Ia bukan saja tidak terkenal, bahkan dia dianggap paling hina diantara semua warga kampung itu.
            Wajahnya hitam, tubuhnya pendek, Untanya lebih ‘ganteng’ dari dirinya. Pola pikir “lelaki pendek, hitam, lebih jelek dari untanya” seperti itu, sesungguhnya hari-hari ini begitu mewabah. Kita hidup ditengah masyarakat yang hanya melihat harga orang lain dari tampilan luarnya.
            Maka disinilah berlaku hukum ketenaran, keterkenalan, kemasyhuran. Sesuatu yang sangat mudah direka-reka oleh industri media yang menggurita. Raksasa media hanya punya satu bahasa: Bila kamu tidak terkenal, maka kamu bukan siapa-siapa. Kamu, hanyalah “lelaki pendek, hitam, yang lebih jelek dari unta”. Industri media semakin mengokohkan, bahwa menjadi terkenal pada saat ini tidak harus karena kebaikan. Ia bisa membuat buruk bisa tampil berkesan baik, alami, manusiawi, dan bagian dari hak asasi.
            Sebaliknya, ia bisa menampilkan orang-orang baik, dalam format yang kumal, lusuh, dan tak punya gairah  hidup. Semua itu, telah memaksa orang dengan perlahan namun sangat massif, untuk merekam dibawah alam sadarnya, bahwa orang-orang besar ialah mereka yang berulang-ulang muncul di televisi, tampil diatas panggung, menyeruak diatas pentas. Maka semua akan menjadi sumpek dan sangat terbatas.
            Padahal, ada berjuta orang baik yang tak kita kenal. Ada berjuta orang baik yang tak pernah dikenal sama sekali. Memahami prinsip ini sangat penting. Tidak semata dengan etika memahami sesama.Agar kita tidak mengukur kebaikan dengan kacamata pribadi. Wallahu ‘alam.
                                                   ( Nawardi/Red)
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
 
Copyright © 2011. Mahad Aly An-Nuaimy - All Rights Reserved
Template by Creating Website