Muqaddimah
Telah kita
ketahui bahwa kegiatan tulis menulis dan juga kegiatan
pendidikan di dunia Islam telah berlangsung sejak zaman Nabi SAW masih hidup.
Ini dapat dilihat dengan adanya bukti-bukti bahwa ketika nabi masih hidup, para
sahabat banyak yang mencatat hal-hal yang diimlakan beliau kepada mereka. Ada
juga sejumlah sahabat yang menyimpan surat-surat nabi atau salinannya.
Hudzaifah r.a. menutukan bahwa Nabi meminta dituliskan nama orang-orang yang
masuk Islam, maka Hudzaifah menuliskannya sebanyak 1500 orang. Selain itu ada
juga aturan registrasi nama orang-orang yang mengikuti perang[1].
Bahkan seperampat abad sesudah Nabi wafat, di
Madinah sudah terdapat gudang kertas yang berhimpitan dengan rumah Utsman bin
Affan. Dan menjelang akhir abad pertama pemerintah pusat membagi-bagi kertas
kepada para gubernur.[2]
Di masa hayat Rasulullah SAW semenjak tahun pertama Hijriyah beliau
bergaul di tengah-tengah masyarakat sahabat, para sahabat bisa bertemu dengan
beliau secara langsung tanpa adanya birokrasi yang rumit seperti sekarang ini.
Rasulullah SAW bergaul dengan mereka di masjid , di pasar, ruma dan dalam
perjalanan.
Segala ucapan perbuatan dan kelakuan Rasulullah
SAW-yang kita kenal sabagai hadits akan menjadi ushwah bagi para sahabat r.a.
dan mereka akan berlomba-lomba mewujudkannya dalam kehidupan mereka. Tidak
dapat kita sangkal bahwa tidak semua sahabat mendengar satu hadis secara
bersamaan, sehingga ada sahabat yang menuliskan hadits dalam shahifah agar
tidak tercecer, seperti shahifah Abdullah bin Amru bin Ash.
Bagaimana hal ini bisa terjadi sementara hadits
dari Abu Said al Khudri meyebutkan
لاَ تَكْتُبُوْا عَنِّيْ،
وَمَنْ كَتَبَ عَنِّيْ غَيْرَ الْقُرْآنِ فَلْيَمْسَحُهُ
”Jangan kalian tulis apa yang kalian dengar
dariku, barangsiapa yang menuliskan selain dari al-Qur’an, hendaklah
dihapus”.(H.R. Muslim)
Dan ternyata setelah Rasulullah SAW meninggal dunia
telah diketahui tentang adanya sahifah-sahifah berisi hadits-hadits Rasullah SAW
seperti sahifah Sa’ad Ibnu Abu Ubadah, Sahifah Jabir Ibn Abdullah, Samurah Ibn
Jundab dan yang lainnya[3].
Bahkan Muhammad Mustafa Azami PhD menulis dalam tesis doktoralnya yang berjudul
Studies in Early Hadits Literature bahwa sejak awal pertama hijriyah
buku-buku kecil berisi hadits telah beredar.[4]
Walaupun ada sahifah-sahifah berisi hadits-hadits
Rasulullah SAW, kodifikasi hadits ini tidak dilakukan secara formal seperti
halnya al-Qur’an sampai abad pertama Hijriyah berlalu, padahal bisa saja para
sahabat mengumpulkan hadits-hadits shahih dan mensarikannya dalam sebuah kitab.
pengarang fajrul Islam memberi komentar :
Mungkin hal itu juga terpikirkan oleh sebagian
mereka, tetapi pelaksanaannya amat sukar. Sebab mereka tahu sewaktu Nabi SAW
wafat jumlah sahabat yag mendengarkan dan meriwatkan dari beliau 114.000 orang.
Setiap orang masing-masing mempunya satu, dua hadits seringkali nabi mengatakan
sebuah hadits di hadapan segolongan sahabat yang tidak didengar oleh golongan
lain.[5]
Adapun dalam perkembangan penulisan hadits
telah dicoba mengelompokkannya kedalam beberpa periode, seperti yang dirumuskan
oleh M Hasbi Asyiddiqi yang membagi kedalam beberapa periode pada masa Nabi dan
sahabat, yaitu pada abad pertama.[6]
1. Periode Pertama (Masa Rasulullah SAW)
Pada periode pertama para sahabat langsung
mendengarkan dari Rasulullah SAW atau dari sahabat lain, karena para sahabat
tersebar di penjuru negri, ada yang di dusun, dan ada yang di kota. Adakalanya
diterangkan oleh istri-istri rasul seperti dalam masalah kewanitaan dan
rasulullah SAW juga memerintahkan para sahabat untuk menghapal dan menyebarkan
hadits-haditsnya diantara sabda beliau yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim.
وحدثوا عني ولا حرج ومن كذب
علي متعمدا فليتبوأ مقعده من النار
”Dan ceritakanlah dariku, tidak ada keberatan
bagimu untuk menceritakan apa yang kamu dengar daripadaku. Barang siapa yang
berdusta terhadap diriku, hendaklah ia bersedia menempati kedudukannya di
neraka.”(H.R Muslim)
Perlu diketahui bahwa dalam menyampaikan hadits
dilakukan dengan dua cara :
- Dengan lafadz asli, yakni menurut laafadz yang mereka dengar dari rasulullah Saw.
- Dengan makna saja, yakni hadits tersebut disampaikan dengan mengemukakan makna saja, tidak menurut lafadz seperti yang diucapkan Nabi.
Kecuali itu, pada masa Rasulullah SAW sudah
ada catatan hadits-hadits beliau seperti Abdullah bin Amru, dan pernah suatu
waktu Rasulullah SAW berkhutbah, setelah seorang dari yaman datang dan berkata.
”Ya Rasulullah tuliskanlah untukku”,tulislah Abu Syah ini.[7]
Kembali kepada pelarangan Rasulullah SAW
dalam penulisan hadits. Tujuan Rasulullah adalah agar al-Qur’an tidak bercampur
dengan apapun, termasuk perkataan beliau sendiri. Ketika menemukan ternyata ada
sahifah-sahifah berisi hadits pada masa Rasulullah SAW kita tidak akan berani
mengatakan bahwa para sahabat menghiraukan perintah Rasulullah SAW. Setelah
diteliti ternyata ada hadits yang menyatakan bolehnya penulisan hadits, seperti
sabda Rasulullah saw kepada Ibnu Umar
yang diriwayatkan Abu Daud;
اكتب فوالذي نفسي بيده ما يخرج
منه إلا حق
”Tulislah, maka jiwaku yang berada ditangan-Nya
tidaklah keluar dari mulutku kecuali kebenaran” (H.R Abu Daud)
Hadits ini terlihat kontradiktif dengan hadits
sebelumnya, berikut ini adalah pendapat para ulama untk mengkomromikan kedua
hadits ini;
- Bahwa larangan menulis hadits itu, telah dimansukh oleh hadits yang memerintahkan menulis
- Bahwa larangan itu bersifat umum, sedang untuk beberapa sahabat khusus diizinkan
- Bahwa larangan menulis hadits ditujukan kepada mereka yang dikhawatirkan mencampur adukannya denga al-Qur’an, sedangkan keizinan menulis ditujukan kepada mereka yang dijamin tidak akan mencampuradukannya.
- Bahwa larangan itu dalam bentuk kodifikasi secara formal seperti mushaf al-Qur’an, sedang untuk diakai sendiri tidak dilaarang.
- Bahwa larangan itu berlaku pada saat wahyu-wahyu yang turun belum dihafal dan dicatat oleh para sahabat, setelah dihafal dan dicatat, menulis hadits diizinkan.
2. Periode Kedua (Masa Khalifah Rasyidah)
Pada masa perintahan Abu Bakar r.a. dan Umar r.a.,
pengembangan hadits tidak begitu pesat, hal ini disebabkan kebijakan kedua
khalifah ini dalam masalah hadits, mereka menginstruksikan agar berhati-hati
dalam meriwayatkan hadits. Bahkan khalifah Uimar r.a dengan tegas melarang
memperbanyak periwayatan hadits. Hal ini dimaksudkan agar al-Qur’an terpelihara
kemudiannya dan ummat Islam memfokuskan dirinya dalam pengkajian al-Qur’an dan
penyebarannya.
Hakim meriwayatkan; pernah suatu malam Abu Bakar
r.a merasa bimbang sekali, pagi harinya ia memanggil putrinya Aisya r.a dan
meminta kumpulan hadits yang ada padanya lalu Abu Bakar membakarnya.
Lain halnya ada masa khalifah Utsman dan Ali r.a,
mereka sedikit memberi kelonggaran dalam mengembangkan hadits tetapi mereka
masih sangat berhati-hati agar tidak bercampur dengan al-Qur’an, Khalifash Ali
r.a, melarang penulisan selain al-Qur’an yang sesungguhnya ditujukan untuk
orang-orang awam, karena beliau sendiri memiliki sofhah yang berisi kumpulan
hadits.[8]
3. Periode Ketiga ( Masa Sahabat Kecil dan
Tabi’in Besar)
Setelah berakhirnya masa pemerintahan Ali
r.a, ummat Islam dilanda fitna besar, dimana mereka terpecah menjadi 3
golongan;
1.
Khawarij, golongan pemberontak yang tidak setuju dengan
perdamaian dua kelimpok yang bertikai.
2.
Syi’ah sangat fanatik dan mengkultuskan ‘Ali
3.
Jumhur umat Islam yang tidak termasuk golongan pertama
dan kedua diatas. Diantara mereka ada yang mendukung pemerintahan ‘Ali,ada yang
mendukung pemerintahan Mu’awiyah, dan ada pula yang netral tidak mau melibatkan
diri dalam kancah konflik.
Akibat perpecahan ini mereka tidak
segan-segan membuat Hadis palsu (mawdhu’) untuk mengklaim bahwa dirinya
yang paling benar diantara golongan atau partai-partai diatas untuk mencari
dukungan dari umat Islam. Pada masa inilah awal terjadinya Hadis mawdhu’
dalam sejarah yang merupakan dampak konflik politik secara internal yang
kemudian diboncengi faktor-faktor lain. Ulama di kalangan sahabat tidak tinggal
diam dalam menghadapi pemalsuan hadis ini. Mereka berusaha menjaga kemurnian
Hadis dengan serius dan sungguh-sungguh, diantaranya mengadakan perlawatan ke
berbagai daerah Islam untuk mengecek kebenaran Hadis yang telah sampai kepada
mereka baik dari segi matan ataupun sanad.
4.Periode ke Empat Masa Perlawatan Hadits (41 akhir
abad 1 H)
Masa ini awal berkembangnya
periwayatan dan perlawatan ke kota-kota besar untuk mencari hadits dari para
sahabat dan tabi’in senior yang telah pindah ke kota-kota lain atau
daerah-daerah lain setelah masa perluasan ekspansi wilayah Islam. Masa ini
disebut masa rihlah ilmiyah. Setelah ekspansi Islam semakin luas, yakni
sejak masa Utsman, Ali, dan sampai akhir abad pertama hijriah, para sahabat
senior banyak yang hidup di berbagai negeri yang terpisah untuk mengajarkan
Al-Qur’an dan hadis di berbagai wilayah yang telah dikuasai Islam. Diantara
daerah yang telah dikuasai Islam adalah Syam dan Irak (17 H), Mesir (20 H),
Persia (21 H), Samarkand (56 H), dan Spanyol (93 H).
Para sahabat yunior banyak
yang mengadakan perjalanan jauh (rihlah ilmiyah) untuk menghimpun atau
mengecek kebenaran hadis dari sesamanya atau dari sahabat yang lebih senior.
Misalnya yang dilakukan Jabir bin Abdullah yang pernah melakukan rihlah
ke Syam dalam waktu satu bulan dengan menjual seekor unta untuk ongkos
perjalanan hanya ingin mendapatkan satu hadits yang belum pernah ia dengar.
Dari Abdullah bin Unays
tentang Hadis
يخشر الناس عراة عزلا
بهما رواه البخارى احمد االطبرانى البيحاقى
“ Manusia digiring pada hari kiamat telanjang tidak
berpakaian, berwarna hitam” (HR
Bukhari, Ahmad, at-Thabrani, al-bayhaqi)
Demikian juga Abu Ayyub al-Anshari yang tinggal di
Madinah pergi ke Mesir untuk menemui ‘Uqbah bin Amir al-Juhari untuk menanyakan
sebuah hadis yang belum pernah ia dengar, yaitu sabda Nabi:
من ستر مؤمنا فى الدنيا على كربته
سترالله يوم القيامة رواه البيحا قى
“ Barang siapa yang menutupi kesukaran-kesukaran
orang mukmin di dunia, maka Allah akan menutupinya pada hari kiamat” (HR Al-Bayhaqi)
Ada 6 orang diantara sahabat
yang banyak meriwyatkan hadits ialah:
1.
Abu Hurairah sebanyak 5.374 buah hadis
dan ia mengambilnya lebih dari 300 orang diantara sahabat.
2.
Abdullah bin Umar bin Al-Khathab
sebanyak 2.635 buah hadis
3.
Anas bin Malik sebanyak 2.286 buah
hadis
4.
‘Aisyah Ummi Al-Mukminin sebanyak
2.210 buah hadis
5.
Abdullah bin Abbas sebanyak 1.660 buah
hadis
6.
Jabir bin Abdullah sebanyak 1.540 buah
hadis
Para sahabat yang terkenal
banyak meriwayatkan hadis ada beberapa alasan, diantaranya lebih dahulu
bersahabat dengan Nabi seperti Abdullah bin Mas’ud, atau karena banyak
berkhidmah dengan beliau seperti Anas bin Malik, atau karena banyak menyaksikan
internal dalam rumah tangga beliau seoerti ‘Aisyah, dan atau karena
ketekunannya dalam hadis seperti Abdullah bin Umar, Abdullah bin Amr, dan Abu
Hurairah.
Di antara kota-kota yang
menjadi pusat kegiatan periwayatan hadis ialah sebagai berikut:
1.
Madinah
Diantara tokoh hadis dari
kalangan sahabat yang tinggal di Madinah adalah Abu Bakar, Umar, Ali (sebelum
pindah ke Kufah),Abu Hurairah, Aisyah, Ibn Umar, Abu Said Al-Khudri, dan Zaid
bin Tsabit. Diantara tabi’in yang belajar kepada mereka adalah: Sa’id, Urwah,
Al-Zuhri, Ubaidillah bin Abdullah bin Utbah bin Mas’ud, Salim bin Abdullah bin
Umar, Al-Qasim bin Muhammad bin Abi Bakar, Nafi’, Abi Bakar bin Abdurrahman bin
Al-Harits bin Hisyam, dan Abu Al-Zinad.
2.
Makkah
Diantara tokoh hadis dari
kalangan sahabat yang tinggal di Makkah adalah Mu’adz bin Jabal dan Ibn Abbas.[9]
Sedangkan para Tabi’in yang belajar kepada mereka adalah: Mujahid, ‘Ikrimah,
‘Atha’ bin Abi Rabah, dan Abu Al-Zubair Muhammad bin Muslim.[10]
3.
Kufah
Diantara pemimpin besar
hadits di Kufah adalah ‘Abdullah bin Mas’ud yang belajar dari padanya antara
lain Masruq,Ubaydah,Al-Aswad,Syuraih,Ibrahim,Said bin Jubair, Amir bin
Syurahil, dan Al-Sya’bi.[11]
4.
Bashrah
Di antara tokoh hadis di
kota ini dari kalangan sahabat adalah Anas bin Malik, ‘Utbah, ‘Imran bin
Hushain, Abu Barzah, Ma’qil bin Yasar, Abu Bakrah, ‘Abdurrahman bin Samurah,
dan lain-lain. Sedangkan tabi’in yang belajar kepada mereka antara lain: Abu
al-Aliyah, Rafi’ bin Mihram, Al-Hasan al-Bishri, Muhammad bin Sirin, Abu
Sya’tsa, Jabir bin Zayd, Qatadah, Mutharraf bin Abdullah bin Syikhkhir, dan Abu
Burdah bin Abu Musa.[12]
5.
Syam
Di Antara sahabat yang
mengembangkan hadits di Syam adalah Mu’adz bin jabal, ‘Ubadah bin al-Shamit,
dan Abu al-Darda. Sedang dikalangan tabi’in adalah Abu idris al-Khawlani,
Qabishah bin Dzua’ib, Makhul, dan Raja’ bin Haywah.[13]
6.
Mesir
Di antara para sahabat di
Mesir adalah Abdullah bin ‘Amr, ‘Uqbah bin ‘Amir Kharijah bin Hudzaifah,
Abdullah bin Sa’ad, Mahmiyah bin Juz, Abdullah bin Harits, dan lain-lain kurang
lebih ada 40 orang sahabat sedang di kalangan tabi’in antara lain Abu al-Khayr
Martsad al-Yazini dan Yazid bin Abi Habib.[14]
[1] Muhammad
Mustafa Azami, Studes in Early Hadith Literature, Terj. Ali Mustafa
Ya'qub, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000. Hlm. 103
[2] Ibn Abd
al-Hakam, Sirah Umar bin Abdul Aziz, yang dikutip oleh M.M. Azami dalam buku
beliau Studes in Early Hadith Literature, Terj. Ali Mustafa Ya'qub,
Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000. Hlm. 104
[3] Rosnawati Ali, Pengantar Ilmu Hadits,
Kualalumpur: Ilham Abati Enterprise, 1997. hlm. 67
[4] Muhammad
Mustafa Azami, Metodologi Kritik Hadits, Bandung: Pustaka Hidayah,
1996. hlm. 121
[5] Ahmad
Amin, Fajrul Islam, Terj. Zaini Dahlan, Jakarta: Bulan Bintang, 1968. hlm. 285
[6] M. Hasby Ash Shiddeqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu
Hadits, Jakarta, 1998. hlm. 47 et Seq
[7] Lihat
Bukhari dalam Shahihnya kitab Ilm yang diriwayatkan dari Abu Hurairah
[10] Ajjaj
Al-Khatib,op.cit.,hlm.111-118
[11]
Al-Hakim,op.cit.,hlm.243
[12] Ibid.,
hlm.192 dan 242.
[13] Ibid., hlm.193 dan 242
[14] Ibid., hlm.193 dan 241