Home » » MAHAR DALAM PERSPEKTIF AL QUR ‘AN

MAHAR DALAM PERSPEKTIF AL QUR ‘AN


MAHAR  DALAM PERSPEKTIF AL QUR ‘AN


Di antara sunah Allah swt yang telah ditetapkanNya untuk seluruh makhluk di muka ini adalah terjadinya hubungan pernikahan antara dua jenis.Begitu pula yang terjadi dengan manusia.Manusia adalah makhluk social yang tidak dapat hidup sendiri melainkan dengan adanya orang lain di sampingnya yang dapat membantunya dalam melakukan sesuatu.
Allah swt telah berfirman dalam surah al-Hujurat ayat 13 berikut ini :
 ياأيها الناس إنا خلقناكم من ذكر وأنثى وجعلناكم شعوبا وقبائل لتعارفوا إن أكرمكم عند الله أتقاكم إن الله  عليم خبير
 "Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang wanita dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu disisi Allah adalah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal."
 Pernikahan adalah suatu cara bagi seseorang untuk menyatukan atau membuat suatu keluarga yang baik dengan orang lain .Berkaitan dengan tujuan pernikahan adalah untuk membina rumah tangga yang baik maka sangat perlu sekali pernikahan itu diawali dengan sesuatu yang baik pula.Yaitu diawali dengan akad nikah yang sah menurut pandangan Islam.

Di antara ciri – ciri akad nikah yang sah sesuai syariat Islam adalah adanya mahar yang diberikan dari mempelai laki – laki kepada mempelai perempuan.Baik itu berupa benda berharga atau sesuatu yang bernilai di sisi Allah swt seperti lantunan ayat suci Al Qur’an dan lain sebagainya.

Mahar adalah termasuk salah satu dari keutamaan dan keagungan dari ajaran agama Islam.Begitu tingginya Islam menempatkan mahar sehingga sebagian ulama berpendapat bahwasanya mahar termasuk salah satu rukun dalam pernikahan.[1]Dengan adanya mahar ini termasuk salah satu cara bagaimana Islam memuliakan wanita dan melindunginya dengan memberikan haknya yang sudah seharusnya dan sewajarnya menjadi miliknya dalam pernikahan.Bahkan bukan mahar saja yang harus diberikan tetapi ada hak – hak lainnya seperti nafkah setelah nikah baik lahir maupun batin dan lain sebagainya.

Kata mahar secara etimologi dalam bahasa Indonesia disebut juga dengan “maskawin”. Kata mahar berasal dari bahasa Arab mahara – yamharu atau yamhuru, mahran, bentuk jama’nya muhur. Kata mahar secara bahasa artinya memberi mahar kepada wanita.Sedangkan dalam fiqh yang mana telah didefinisikan oleh mazhab syafi’iyah ialah mahar ialah suatu pemberian yang wajib diberikan oleh suami kepada isteri dengan sebab adanya ikatan pernikahan.[2]

Begitu pentingnya akan mahar dalam suatu pernikahan sehingga sering disebutkan di dalam Al Qur’an dan dalam kata – kata yang berbeda-beda. Di antara kata - kata lain yang terdapat dalam surat tersebut yang semakna dengan mahar ialah:

1.  Sadaaq: benar, karena maskawin itu memberi lambang kebenaran akan cinta suami terhadap isterinya. Kata sadaaq tersebut sebagaimana yang disebutkan dalam firman Allah yang berbunyi :
وَآتُوا النِّسَاءَ صَدُقَاتِهِنَّ نِحْلَةً فَإِنْ طِبْنَ لَكُمْ عَنْ شَيْءٍ مِنْهُ نَفْسًا فَكُلُوهُ هَنِيئًا مَرِيئًا
“Berikanlah mahar kepada wanita-wanita yang kalian nikahi sebagai pemberian dengan penuh kerelaan.Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari (maskawin) itu dengan senang hati ,maka terimalah dan nikmatilah pemberian itu dengan senang hati” (An-Nisa’: 4)
2.  Nihlah bermakna ‘atiyah atau hibah: pemberian. Istilah nihlah disebut dalam ayat 4 surat an-Nisa’ bersmaan dengan menyebut kalimat sadaaq di atas.

3.   Faridah: sesuatu yang ditetapkan. Kata faridah tersebut sebagaimana yang disebutkan dalam firman Allah swt yang berbunyi :

لَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِنْ طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ مَا لَمْ تَمَسُّوهُنَّ أَوْ تَفْرِضُوا لَهُنَّ فَرِيضَةً وَمَتِّعُوهُنَّ عَلَى الْمُوسِعِ قَدَرُهُ وَعَلَى الْمُقْتِرِ قَدَرُهُ مَتَاعًا بِالْمَعْرُوفِ حَقًّا عَلَى الْمُحْسِنِينَ
 Tidak ada dosa bagimu, jika kamu menceraikan isteri kamu sebelum kamu bercampur dengan mereka dan sebelum kamu menentukan maharnya. Dan hendaklah kamu beri mereka mut’ah bagi yang mampu menurut kemampuannya dan bagi yang tidak mampu menurut kesanggupannya, yaitu pemberian dengan cara yang patut, yang merupakan kewajiban bagi orang-orang yang berbuat kebaikan. (Al -Baqarah ayat 236)

4.  Ajr yang jamaknya ujuur: memberi imbalan. Kata ajr tersebut sebagaimana yang disebutkan dalam firman Allah swt yang berbunyi :

وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الْمُؤْمِنَاتِ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكُمْ إِذَا آتَيْتُمُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ مُحْصِنِينَ غَيْرَ مُسَافِحِينَ
     (dan Dihalalkan mangawini) wanita yang menjaga kehormatan diantara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina.( Al Maidah ayat 5)

Para ulama fiqh sepakat bahwa mahar wajib diberikan oleh suami kepada istrinya baik secara kontan maupun secara tempo, pembayaran mahar harus sesuai dengan perjanjian yang terdapat dalam aqad pernikahan. Pemberian mahar suami sebagai lambang kesungguhan suami terhadap isteri. Selain itu mahar juga mencerminkan kasih sayang dan kesediaan suami hidup bersama  serta sanggup berkorban demi kesejahteraan rumah tangga dan keluarga.

Dengan adanya mahar ini akan terbedakan antara pernikahan dengan perzinaan. Dalam hal ini sebagaimana firman Allah yang berbunyi :
4وَأُحِلَّ لَكُمْ مَا وَرَاءَ ذَلِكُمْ أَنْ تَبْتَغُوا بِأَمْوَالِكُمْ مُحْصِنِينَ غَيْرَ مُسَافِحِينَ
Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian itu jika kamu berusaha dengan hartamu untuk menikahinya bukan untuk berzina. (An-Nisa’: 24)

 Dalil lainnya yang menunjukkan akan wajibnya mahar antara lain dalam firman Allah swt yang berbunyi:
وَآتُوا النِّسَاءَ صَدُقَاتِهِنَّ نِحْلَةً فَإِنْ طِبْنَ لَكُمْ عَنْ شَيْءٍ مِنْهُ نَفْسًا فَكُلُوهُ هَنِيئًا مَرِيئًا
“Berikanlah mahar kepada wanita-wanita yang kalian nikahi sebagai pemberian dengan penuh kerelaan.Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari (maskawin) itu dengan senang hati ,maka terimalah dan nikmatilah pemberian itu dengan senang hati” (An-Nisa’: 4)

Di masa Rasulullah saw, beliau tidak memperbolehkan suatu pernikahan tanpa adanya mahar sama sekali. Hal ini ditunjukkan dengan sangat jelas dalam hadits Sahl bin Sa’d tentang wanita yang menghibahkan dirinya kepada Rasulullah saw, namun beliau tidak menginginkan wanita tersebut. Hingga ada salah seorang lelaki yang hadir dalam majelis tersebut meminta agar beliau menikahkannya dengan wanita tersebut. Rasulullah bertanya kepada lelaki tersebut :

قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : هَلْ عِنْدَكَ مِنْ شَيْءٍ؟ قَالَ: لاَ وَاللهِ، يَا رَسُوْلَ اللهِ. فَقالَ: اذْهَبْ إِلَى أَهْلِكَ، فَانْظُرْ هَلْ تَجِدُ شَيْئًا. فَذَهَبَ ثُمَّ رَجَعَ فَقَالَ: لاَ وَاللهِ، مَا وَجَدْتُ شَيْئًا. فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ : انْظُرْ وَلَوْ خَاتَماً مِنْ حَدِيْدٍ. فَذَهَبَ ثُمَّ رَجَعَ، فَقَالَ: لاَ وَاللهِ، يَا رَسُوْلَ اللهِ، وَلاَ خَاتَماً مِنْ حَدِيْدٍ، وَلَكِنْ هَذَا إِزَارِي – قَالَ سَهْلٌ: مَا لَهُ رِدَاءٌفَلَهَا نِصْفُهُ. فَقاَلَ رَسُوْلُ اللهِ : مَا تَصْنَعُ بِإِزَارِكَ، إِنْ لَبِسْتَهُ لَمْ يَكُنْ عَلَيْهَا مِنْهُ شَيْءٌ، وَإِنْ لَبِسَتْهُ لَمْ يَكُنْ عَلَيْكَ مِنْهُ شَيْءٌ. فَجَلَسَ الرَّجُلُ حَتَّى إِذَا طَالَ مَجْلِسَهُ قَامَ، فَرَآهُ رَسُوْلُ للهِ مُوَالِيًا فَأَمَرَ بِهِ فَدُعِيَ، فَلَمَّا جَاءَ قَالَ: مَاذَا مَعَكَ مِنَ الْقُرْآنِ؟ قال: مَعِيْ سُوْرَةُ كَذَا وَسُوْرَة كَذَا –عَدَّدَهَا- فَقاَلَ: تَقْرَؤُهُنَّ عَنْ ظَهْرِ قَلْبِكَ؟ قَالَ: نَعَمْ. قَالَ: اذْهَبْ، فَقَدْ مَلَّكْتُكَهَا بِمَا مَعَكَ مِنَ الْقُرْآنِ. ( متفق عليه )

 “Apakah engkau punya sesuatu untuk dijadikan mahar?” “Tidak demi Allah, wahai Rasulullah,” jawabnya. “Pergilah ke keluargamu, lihatlah mungkin engkau mendapatkan sesuatu,” kata Rasulullah saw. Laki-laki itu pun pergi, tak berapa lama ia kembali, “Demi Allah, saya tidak mendapatkan sesuatu pun,” ujarnya. Rasulullah saw bersabda: “Lihatlah lagi dan carilah walaupun hanya berupa cincin dari besi.” Laki-laki itu pergi lagi kemudian tak berapa lama ia kembali, “Demi Allah, wahai Rasulullah! Saya tidak mendapatkan walaupun cincin dari besi, tapi ini izar (sarung) saya –kata Sahl, “Laki-laki itu tidak memiliki rida (kain penutup tubuh bagian atas)”– setengahnya untuk wanita yang ingin kuperistri itu.” Kata Rasulullah saw, “Apa yang dapat kau perbuat dengan izarmu? Jika engkau memakainya berarti tidak ada sama sekali izar tersebut pada istrimu. Jika ia memakainya berarti tidak ada sama sekali izar tersebut padamu.” Laki-laki itu pun duduk hingga tatkala telah lama duduknya, ia bangkit. Rasulullah saw melihatnya berbalik pergi, maka beliau memerintahkan seseorang untuk memanggil laki-laki tersebut. Ketika ia telah ada di hadapan Rasulullah saw, beliau bertanya, “Apa yang kau hafal dari Al-Qur`an?” “Saya hafal surah ini dan surah itu,” jawabnya. “Benar-benar engkau menghafalnya di dalam hatimu?” tegas Rasulullah saw. “Ya,” jawabnya. “Bila demikian, pergilah, sungguh aku telah menikahkan engkau dengan wanita ini dengan mahar berupa surah-surah Al-Qur`an yang engkau hafal,” kata Rasulullah saw. (HR. Al-Bukhari no. 5087 dan Muslim no. 3472)

Merujuk dari hadis di atas dapat diambil suatu dalil bahwasanya agama tidak menetapkan jumlah minimum dan begitu pula jumlah maksimum dari maskawin. Hal ini disebabkan oleh perbedaan tingkatan kemampuan manusia dalam memberikannya. Orang yang kaya mempunyai kemampuan untuk memberi maskawin yang lebih besar jumlahnya kepada calon istrinya. Sebaliknya, orang yang miskin ada yang hampir tidak mampu memberinya.[3] 

 Oleh karena itu, pemberian mahar diserahkan menurut kemampuan yang bersangkutan disertai kerelaan dan persetujuan masing-masing pihak yang akan menikah untuk menetapkan jumlahnya yang pas dan layak tanpa ada kesan merendahkan perempuan tersebut.

Para ulama berpendapat bahwa mahar tidak ada batas maksimalnya.[4].Hal ini berdasarkan firman Nya :
وَآتَيْتُمْ إِحْدَاهُنَّ قِنْطَارًا
sedang kamu telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak
 (an nisa ayat 20)

Tetapi para ulama berbeda pendapat tentang minimalnya suatu mahar.Imam Syafi’i, Ahmad, Ishaq, Abu Tsaur, dan Fuqaha Madinah dari kalangan Tabi’in berpendapat bahwa mahar tidak ada batas minimalnya. Segala sesuatu yang dapat menjadi harga bagi sesuatu yang lain dapat dijadikan mahar. Pendapat ini juga dikemukakan oleh Umar bin Khattab,Ibnu Abbas,Said bin Musayyib dan Hasan Al Bashri.[5]

            Dan ada pula sebagian fuqaha yang lain berpendapat bahwa mahar itu ada batas terendahnya. Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa paling sedikit mahar itu adalah sepuluh dirham. Riwayat yang lain ada yang mengatakan lima dirham, ada lagi yang mengatakan empat puluh dirham.
            Imam Malik dan para pengikutnya mengatakan bahwa mahar itu paling sedikit seperempat dinar emas murni, atau perak seberat tiga dirham, atau bisa dengan barang yang sebanding berat emas perak tersebut.[6]

Asal perbedaan pendapat ini, menurut Ibnu Rusydi, terjadi karena dua faktor, yaitu:
  1. Adanya posisi yang tidak jelas tentang akad nikah itu sendiri antara kedudukannya sebagai salah satu jenis pertukaran, karena yang dijadikan adalah kerelaan menerima ganti, baik sedikit maupun banyak, seperti halnya dalam jual beli dan kedudukannya sebagai ibadah yang sudah ada ketentuan. Demikian itu, karena ditinjau dari segi bahwa dengan mahar itu laki-laki dapat memiliki jasa wanita untuk selamanya, maka perkawinan itu mirip dengan pertukaran. Tetapi, ditinjau dari segi adanya larangan mengadakan persetujuan untuk meniadakan mahar, maka hal itu mirip dengan ibadah.

  1. Telah terjadinya pertentangan antara qiyas yang menghendaki adanya pembatasan mahar dengan segi pemahaman hadis yang tidak menghendaki adanya pembatasan. Qiyas yang menghendaki adanya pembatasan adalah seperti pernikahan itu ibadah, sedangkan ibadah itu sudah ada ketentuannya.[7]
Namun demikian, jika seandainya sang istri telah menerima maharnya,lalu ia memberikan sebagian maharnya dengan ikhlas dan tanpa ada paksaan maka suami boleh menerimanya dan tidak disalahkan.Hal ini berdasarkan firman Allah swt :


آتُوا النِّسَاءَ صَدُقَاتِهِنَّ نِحْلَةً فَإِنْ طِبْنَ لَكُمْ عَنْ شَيْءٍ مِنْهُ نَفْسًا فَكُلُوهُ هَنِيئًا مَرِيئًا
 
“Berikanlah mahar kepada wanita-wanita yang kalian nikahi sebagai pemberian dengan penuh kerelaan.Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari (maskawin) itu dengan senang hati ,maka terimalah dan nikmatilah pemberian itu dengan senang hati” (An-Nisa’: 4)

 Akan tetapi, bila istri dalam memberi maharnya karena malu, atau takut, maka tidak halal menerimanya. Allah Swt. Berfirman:

وَإِنْ اَرَدْتُمْ اِسْتِبْدَالَ زَوْجٍ مَّكَانَ زَوْجِ وَءَاتَيْتُمْ اِحْدَهُنَّ قِنْطَارًا فَلاَ تَأْخُذُوْا مِنْهُ شَيْئُا اَتَأْخُذُوْنَهُ بُهْتَنًا وَاِثْمًا مُبِيْنًا
Dan jika kamu ingin mengganti istrimu dengan istri yang lain, sedang kamu telah memberikan seseorang diantara mereka harta yang banyak, maka janganlah kamu mengambil kembali daripadanya barang sedikit pun. Apakah kamu akan mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan yang dusta dan dengan (menanggung) dosa yang nyata?( q.s al-nisa ayat 20)
Dalam ayat selanjutnya, Allah Swt. Berfirman :

وَكَيْفَ تَأْخُذُوْنَهُ وَقَدْ اَفْضَى بَعْضُكُمْ اِلَى بَعْضٍ وَاَخَذْنَ مِنْكُمْ مِيْثَقًا غَلِيِظًا
Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami-istri. Dan mereka (istri-istrimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat. ( q.s al-nisa ayat: 21)


[1] Hashiyatul showi ala syarah shogir jilid 2 hal.428
[2] Mugni al muhtaj jilid 3 hal 220
[3] Kamal Muhktar, Asas-asas Hukum Islam tentang Perkawinan (Jakarta: Bulan Bintang, 1994), hlm. 82
[4] Hasyiah ibnu abidin jilid 2 hal 330
[5] Mausuah fiqhiyyah al kuwaitiyah jilid 39 hal 161
[6] Syarah as shogir jilid 2 hal. 428
[7] Bidayah mujtahid wa nihayah muqtashid jilid 1 hal 407
Berbagi itu indah: :
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
 
Copyright © 2011. Mahad Aly An-Nuaimy - All Rights Reserved
Template by Creating Website