Oleh:
Dr. Saiful Bahri, MA
Dosen Mahad Aly An-Nuaimy Jakarta
Lihat Profil:
Pendahuluan
Tak sedikit orang mengklaim dirinya sebagai pembela kaum
perempuan, atau sebagai pejuang penyetaraan gender. Sebagian lain
meyakini bahwa pembelaan terhadap kaum perempuan merupakan hal yang baru
yang belum pernah dilakukan oleh siapapun. Praduga dan perasaan seperti
inilah yang kemudian menggerakkan sekelompok orang untuk –dengan
berani- mengritisi nash-nash Al-Quran dan hadis, karena keduanya
dianggap belum memberikan porsi yang cukup dalam memberikan pembelaan
terhadap kaum perempuan. Di antara ayat-ayat yang dianggap dan diklaim
misoginis itu adalah:
Artinya, ”dan anak laki-laki tidaklah seperti anak perempuan…” (QS. Ali Imran [3]: 36)
Ayat di atas dianggap mengandung makna perlakuan
diskriminatif terhadap perempuan, padahal kata “tidaklah seperti” (ليس
كـ) berarti umum. Perbedaan yang dimaksud bisa dari struktur fisik,
fungsi-fungsi yang diperankan, serta fitrah dan tabiatnya sudah tentu
tidak bisa sama persis. Maka, perbedaan antara keduanya adalah suatu
keniscayaan. Namun, perbedaan di atas tak menandakan bahwa derajat
perempuan di bawah kaum laki-laki. Ada banyak kesamaan lainnya dalam hak
dan kewajiban. Seperti yang ditegaskan Allah dalam firman-Nya:
Artinya, “Dan orang-orang yang beriman, laki-laki dan
perempuan, sebagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebagian yang
lain, mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dari yang
munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah
dan Rasul-Nya. mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; Sesungguhnya
Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. At-Taubah [9]: 71)
Maka, menjadi hal yang sangat prinsipil untuk dikatakan
bahwa antara perempuan dan laki-laki terdapat banyak perbedaan
sebagaimana juga tak sedikit persamaan di antara keduanya. Keduanya tak
mungkin disamakan secara mutlak sebagaimana tak juga bisa selalu
dibedakan dalam segala hal. Keseimbangan dalam hal persamaan dan
perbedaan inilah yang menempatkan perempuan di bawah naungan syariat
Islam menjadi mulia dan bermartabat. Sebelumnya, perempuan tak pernah
mendapatkan hak warisnya. Islam datang untuk mengatur hal-hal ini,
termasuk memberikannya hak waris yang merupakan sebuah aturan
menyeluruh. Perempuan juga mendapatkan hak belajar dan menuntut ilmu,
hak keluar rumah dan beraktivitas, hak meriwayatkan hadits dan pergi ke
medan peperangan sebagai paramedis maupun pejuang, sebagaimana ia
mendapatkan jatahnya dari harta rampasan perang (ghanimah)([2]). Islam bahkan tak pernah melarangnya untuk berpenghasilan dan bekerja.
Sebagian orang menjadikan kewajiban shalat jumat bagi
laki-laki -saja- tidak termasuk bagi perempuan, sebagai bentuk
diskriminasi lain. Padahal tidak diwajibkannya perempuan Shalat Jumat
adalah sebuah bentuk keringanan (rukhshah) yang diberikan
kepada perempuan. Namun, bukan berarti Islam melarang perempuan untuk
mendatangi Shalat Jumat. Karena ada sebuah kaidah “man shahha zhuhruhû shahhat jum’atuhû” (Barang siapa yang shalat zhuhurnya sah, maka sah pula Shalat Jum’atnya)([3]).
Istilah dan Sejarah Gender
Dalam Women’s Studies Encyclopedia dijelaskan bahwa gender adalah suatu konsep kultural yang berupaya membuat pembedaan (distinction)
dalam hal peran, perilaku, mentalitas, dan karakteristik emosional
antara laki-laki dan perempuan yang berkembang dalam masyarakat.([4]) Istilah gender berasal dari “Middle English”, gendre, yang diambil dari era penaklukan Norman pada zaman Perancis Kuno. Kata ‘gender’ berasal dari bahasa Latin, genus, berarti tipe atau jenis. Kedua istilah gendre dan genus,
memiliki arti tipe, jenis, dan kelompok. Gender adalah himpunan
karakteristik yang terlihat membedakan laki-laki dan perempuan. Kata
Gender dapat diperpanjang dari sekedar kata “seks” sampai dengan “peran
sosial atau identitas gender.” Kata, ‘gender’ memiliki lebih dari satu
definisi yang valid. Dalam pidato umum, biasa digunakan bergantian
dengan ‘seks’ untuk menunjukkan kondisi fisik sebagai laki-laki atau
perempuan. Dalam ilmu-ilmu sosial, kata ‘gender’ secara khusus mengacu
pada konstruksi sosial dan perbedaan kelembagaan, seperti perbedaan
peran gender([5])([6]).
Hingga saat ini belum ada kesepakatan dari berbagai
kalangan untuk mendefinisikan gender. Maka sebagai sesuatu yang baru,
batasan-batasan gender menjadi sangat debatable. Gender bisa
merupakan peran-peran yang diakibatkan dari jenis kelamin seseorang
(laki-laki atau perempuan).Dan tak bisa dipungkiri, peran-peran ini
tentu memiliki sudut pandang dan implementasi yang berbeda dari suatu
komunitas masyarakat dengan masyarakat yang lainnya. Biasanya merujuk
pada kepatutan dan etika sosial yang berlaku di sebuah masyarakat.
Adapun di Indonesia, sejarah gender tak bisa dilepaskan
dari kisah emansipasi, pembebasan perempuan dari keterkungkungan dan
perjuangan meraih hak yang adil dan sejajar dengan laki-laki. Secara
personal, wacana emansipasi mencuat dengan diterbitkannya surat-surat
pribadi RA. Kartini dengan istri Gubernur Hindia Belanda di Indonesia,
Abendanon antara tahun 1899-1904 M. Terbitan dalam Bahasa Belanda itu
diberi judul ”Door Duisternis tot Licht” (Habis Gelap Terbitlah
Terang) dicetak sebanyak lima kali sejak tahun 1911 M. Dan pada tahun
1912 M Gubernur Van Deventer mendirikan “Yayasan Kartini”([7]).
Geliat emansipasi perempuan ini kemudian dilanjutkan secara
berkelompok dan dalam Aisyiyah Muhammadiyah (1917 M), Fatayat NU (1950
M), dan Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia) (1954 M) sebuah under bow
PKI.
Gerakan emansipasi perempuan di Indonesia mengalami
perubahan orientasi dari sekedar menuntut hak pendidikan, kesehatan dan
kehidupan yang laik, menjadi sebuah arus feminis. Yaitu gerakan yang
menuntut penyetaraan dan persamaan mutlak antara kaum laki-laki dan
perempuan. Gerakan ini pun berubah menjadi sangat liberal dengan
berkembangnya aliran liberal di Indonesia, terutama pasca euforia
kebebasan pasca reformasi 1998.
Sasaran Penyetaraan Gender
Wacana Pengarusutamaan Gender (PG) atau kemudian menjelma
di mana-mana menjadi perjuangan membela kesetaraan gender di berbagai
sektor kehidupan, tidaklah muncul sebagai sebuah gerakan independen dan
bermula dari kesadaran perempuan atau pembela hak-hak perempuan. Tapi
hal tersebut lebih merupakan desain global yang memiliki target jangka
panjang. Di antaranya yang paling mendasar adalah desakralisasi
nilai-nilai yang ditanamkan dan dipegang dalam pernikahan yang dalam
agama Islam dikenal sebagai ”mîtsâqan ghalîdhan”. Maka
wacana-wacana tersebut diperjuangkan sampai final memasuki ranah
konstitusi di tingkat internasional. Sebagai sebuah lembaga representasi
perkumpulan paling bergengsi di dunia, PBB pun akhirnya takluk di
tangan para pejuang kesetaraan gender.
Komitmen PBB untuk menjamin hak-hak perempuan secara khusus
ditunjukkan ketika Majelis Umum PBB menyetujui Konvensi tentang
Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women)
yang kemudian dikenal dengan CEDAW pada tanggal 18 Desember 1979.
Konvensi tersebut memuat tiga puluh poin materi yang terbagi menjadi
enam pokok tema; mengatur segala hal perbedaan perlakuan yang berkaitan
dengan perempuan, langkah-langkah apa saja untuk menghilangkan dan
menghapuskan diskriminasi tersebut, kemudian membicarakan hak-hak
pendidikan, ekonomi, sosial, kesehatan, perilaku seksual, hak bekerja,
perlindungan dalam rumah tangga, perkawinan. Selain menjelaskan tatacara
merealisasikan kesepakatan ini, diatur juga bentuk pengawasan bersama
baik dari pemerintah maupun NGO untuk berkomitmen menghapuskan segala
bentuk perbedaan perlakuan dan diskriminasi terhadap perempuan([8]).
Pemerintah Indonesia pun telah menandatangani konvensi
tersebut pada tanggal 29 Juli 1980 pada saat mengikuti Konferensi
Perempuan se-Dunia II di Kopenhagen. Konvensi tersebut kemudian
diratifikasi menjadi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang
Pengesahan Konvensi mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi
terhadap Wanita atau lebih dikenal dengan Konvensi Perempuan pada
tanggal 24 Juli 1984. Di samping meratifikasi Konvensi Perempuan,
Indonesia bersama 188 negara lainnya telah menyepakati Deklarasi dan
Landasan Aksi Beijing (Beijing Declaration and Platform for Action/
BPFA) yang merupakan hasil Konferensi Perempuan se-Dunia IV yang
diselenggarakan di Beijing pada tahun 1995. BPFA merupakan landasan
operasional yang disepakati bagi pelaksanaan Konvensi Perempuan yang
bertema kesetaraan, pembangunan, dan perdamaian (equality, development, and peace). Dalam Millenium Development Goals (MDGs) yang dicanangkan PBB dalam Millenium Summit
yang diselenggarakan pada bulan September 2000, juga tak luput dari isu
dan tekanan kesetaraan gender sebagaimana sebelum-sebelumnya.
Dengan isu gender, terselubung proteksi terhadap perilaku
penyimpangan seksual, dengan dalih kebebasan melakukan aktivitas
seksual. Perilaku menyimpang tersebut kini sudah diakui di PBB dengan
tajuk besar kebebasan orientasi seksual. Dampaknya, sebuah pernikahan
tak lagi dibatasi hanya terjadi antara dua jenis manusia, tapi
memungkinkan untuk dilakukan dengan sesama jenis. Kriminalisasi terhadap
perilaku seksual seperti ini (homoseks dan lesbian) dianggap sebagai
pengekangan dan pelecehan terhadap Hak Asasi Manusia ([9]).
Tema-Tema yang Ditarget Para Pejuang Gender
1. Asal kejadian manusia
Dalam persoalan manusia pertama yang diciptakan Allah pertama kali, para pejuang gender beranggapan bahwa Adam ‘alaihissalam bukanlah
manusia pertama tersebut. Penafsiran ayat Al-Quran yang mengarah pada
hal tersebut dianggap sangat diskriminatif. Maka, klaim yang
disosialisasikan adalah bahwa “nafsun wahidah” lah yang pertama
kali diciptakan oleh Allah, dan bukan laki-laki (Adam). Menurut Musda
Mulia pemahaman distortif dan sarat dengan bias gender ini muncul dari
penafsiran literal terhadap ayat Al-Quran. Dan sayangnya pemahaman
seperti ini justru dianut oleh kebanyakan kaum muslimin([10]). Sedangkan jumhur ulama berpendapat bahwa yang dimaksud ”nafsun wahidah” dalam awal surat An-Nisa’ adalah Adam alaihissalam. Sebagian kecil saja dari para ulama yang berpendapat selain itu. Di antaranya adalah Al-Qadhi Abdul Jabbar al-Mu’tazily, ”Jika
Allah mampu menciptakan Adam dari debu/tanah, maka tentu Allah sanggup
mencipta Hawa juga dari tanah. Jika demikian, lalu apa faidah penciptaan
Hawa dari tulang rusuk Adam”([11]).
Sedangkan Abu Muslim al-Asfahany (254-322 H) mengatakan, ”lafazh ‘nafs’
di dalam Al-Quran diulang sebanyak 295 kali. Dan tidak ada yang
mengisyaratkan bahwa yang dimaksud adalah Adam ‘alaihissalam. Demikian juga kata ”nafsun wahidah” yang diulang sebanyak lima kali. Tak ada satupun yang mengindikasikan bahwa yang dimaksud adalah Adam ‘alaihissalam”([12]).
Para pejuang gender ini merasa makin kuat ketika
mendapatkan dukungan dari Muhammad Syahrur yang sangat terpengaruh teori
evolusi Darwin. Menurutnya bahwa Allah menciptakan manusia setidaknya
melalui dua tahap. Pertama, Allah ciptakan semua unsur jantan (dzakar) dan betina (untsa)
dari semua makhluk-Nya, yang berakal maupun yang tidak. Pada tahap
kedua, Allah membedakan antara jenis manusia dan yang lainnya ketika
meniupkan ruh. Kemudian Allah menegaskan kemuliaan manusia tanpa
memandang perbedaan jenis kelamin (QS. Al-Isra’: 70)([13]).
Adapun kebanyakan pakar tafsir dan ulama menyepakati bahwa
Adam lah manusia pertama yang diciptakan Allah, seperti penuturan Allah
dalam surat Al-Baqarah ayat 30 dan 31. Kemudian penegasan bahwa
perumpamaan Isa dan Adam itu sama-sama merupakan mukjizat dan tanda
kekuasaan Allah([14]).
Pendapat ini juga didukung dalil-dalil hadis yang kuat yang menunjukkan
bahwa Adam adalah manusia pertama ciptaan Allah yang akan mendapat
pengaduan anak-anak Adam ketika hari kiamat([15]).
Adapun penciptaan Hawa, di dalam Al-Quran secara implisit disebut sebanyak tiga kali dengan redaksi ”khalaqa minhâ” atau “ja’ala minhâ”([16]). Sedangkan secara eksplisit hadits Nabi Muhammad SAW menyebutkan bahwa perempuan diciptakan dari tulang rusuk laki-laki([17]).
Pilihan penulis terhadap pendapat jumhur bukan hanya karena
banyak yang berpendapat demikian. Tapi karena pendapat ini argumentatif
dan didukung dalil yang kuat. Dan permasalahan penciptaan ini tidak
berhubungan dengan kualitas manusia. Karena kualitas manusia tidaklah
ditentukan oleh jenis kelaminnya juga oleh urutan penciptaannya. Nabi
Muhammad SAW, yang diciptakan Allah jauh setelah Adam dan nabi-nabi
utusan-Nya bahkan menjadi utusan pamungkas dan nabi akhir zaman, justru
ditahbiskan dan dinobatkan sebagai manusia terbaik dan pimpinan para
nabi dan rasul.
2. Tema perwalian dan mahar dalam nikah
Adanya perwalian dan mahar dalam pernikahan, menurut para
pejuang gender dianggap sebagai bentuk diskriminasi lain yang harus
diamandemen aturannya.
Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 30 disebutkan, “calon
mempelai pria wajib membayar mahar kepada calon mempelai wanita yang
jumlah, bentuk dan jenisnya disepakati kedua belah pihak”. Musdah Mulia mengusulkan amandemen pasal ini dalam Counter Legal Draft (CLD), pasal 16 dengan menawarkan, ”(1)
Calon suami dan calon istri harus memberikan mahar kepada calon
pasangannya sesuai dengan kebiasaan (budaya) setempat. (2) Jumlah,
bentuk dan jenis mahar disepakati oleh kedua belah pihak sesuai dengan
kemampuan pemberi”([18]).
Hingga saat ini usulan CLD ini masih belum diterima, tetapi jika suatu
saat RUU Kesetaraan dan Keadilan Gender (KKG) disahkan tidak mustahil
butir-butir aneh tersebut termasuk usulan-usulan lainnya akan kembali
diperjuangkan.
Mahar yang merupakan salah satu syarat nikah, maka hukum
memberikan mahar adalah wajib, baik tunai ataupun ditunda. Mahar
bukanlah sebuah simbol hegemoni atau “harga” seorang perempuan. Justru
Islam menjadikannya simbol penghormatan dan pemuliaan. Maka mahar adalah
kepemilikan penuh bagi istri yang tak boleh diotak-atik oleh suami atau
pihak lainnya.
Selain masalah mahar, mereka juga banyak menyebut
unsur-unsur diskriminatif lain dalam ajaran agama Islam. Masalah
perwalian misalnya, juga hak menolak atau meminta hubungan badan (jima’)
atau menikmatinya sama seperti suaminya (laki-laki). Maka hak aborsi
juga perlu diberikan kepada perempuan, bahkan kesediaan untuk hamil atau
menundanya atau menolaknya adalah hak setiap perempuan. Sebagaimana hak
untuk keluar rumah dan beraktivitas serta mendapatkan pendidikan yang
lain.
Tentunya pembahasan masalah mahar, perwalian juga aborsi (pengguguran janin)
tidaklah bisa disamakan dengan masalah hak perempuan dalam pendidikan,
ekonomi dan aktivitas publik. Terlebih masalah hubungan badan yang
merupakan hak keduanya secara sama, yang oleh Rasulullah SAW ditegaskan ”pada kemaluan kalian terdapat shadaqah”([19]).
Karena Rasul menambahkannya bahwa jika dilampiaskan pada yang haram
maka akan berdosa. Hasrat seksual sengaja Allah ciptakan pada manusia
sekaligus diberikan jalan pemenuhannya secara halal dan aman. Sedangkan,
wacana kesetaraan gender punya kepentingan untuk melegalkan kebebasan
seksual tanpa batas.
Poin lain dalam masalah sensitif ini adalah tentang masalah nusyuz yang sering disalahartikan dan tak jarang justru dituduhkan sebagai dasar normatif KDRT (kekerasan dalam rumah tangga) dalam Islam. Menurut bahasa, nusyuz diambil dari suatu dataran tinggi di bumi. Maka bisa diartikan nusyuz terjadi
bila salah satu pihak dari masing-masing suami maupun istri merasa
lebih tinggi dari yang lainnya. Nusyuz disebut secara spesifik sebanyak
dua kali, yaitu dalam QS. An-Nisa: 34-35 bila terjadi dari pihak istri
(perempuan) dan di dalam An-Nisa’: 128, jika terjadi dari pihak suami
(laki-laki).
Ini adalah solusi penawaran dalam sebuah masalah yang
terjadi di tengah keluarga. Jika permasalahan berat atau kesalahan dari
pihak perempuan maka sebagai pemimpin rumah tangga laki-laki disarankan
untuk menyeselaikannya dengan santun, melalui tiga tahap: menasehati dan
berdialog, jika tak mempan maka diambil langkah berikutnya yaitu “pisah
ranjang”. Adapun langkah ketiga “memukul” terdapat banyak aturan, di
antaranya: tidak menyakiti dan tidak memukul wajah serta tidak
menghinakan. Imam Malik bahkan menyaratkan boleh memukulnya dengan
sehelai tisyu. Hal tersebut bukan dimaksudkan sebagai pelampiasan
kemarahan atau hukuman tapi untuk mencairkan suasana dan mengembalikan
keakraban serta keharmonisan. Imam al-Hakim dan al-Baihaqi meriwayatkan
hadis Nabi SAW, ”Orang-orang pilihan di antara kalian takkan pernah memukul –istrinya-”([20]). Nusyuz
istri ini tidaklah dikarenakan semua bentuk kesalahan istri, tapi
kesalahan besar yang mengganggu keharmonisan rumah tangga. Ar-Ragib
Al-Asfahany menegaskan, ”bahwa nusyuz terjadi bila istri merasa
tinggi di depan suaminya sehingga berdampak ketidaktaatan, atau jika
hatinya sudah tak berhasrat padanya dan berpaling pada laki-laki lainnya”([21]). Demikian sebaliknya jika tanda-tanda nusyuz
ditemukan seorang perempuan dalam diri suaminya, serta ada masalah
disharmonisasi di tengah biduk rumah tangga, maka cara damai diutamakan
untuk ditempuh. Jika dalam dua kondisi nusyuz di atas tak
terelesaikan secara internal, maka dibolehkan minta mediasi (dari
keluarga masing-masing mereka) untuk ikut menyelesaikan masalah. Dan
jika cara ini tak menemui solusi yang baik, maka berpisah pun
diperbolehkan dengan cara yang makruf. Sedang ketiadaan tahapan-tahapan
penyelesaian nusyuz (bagi perempuan) mengandung hikmah yang
sangat arif. Karena, jika perempuan disarankan memukul tentu rumah
tangga akan berubah menjadi ring pertarungan yang tak seimbang. Dengan
hal ini justru perempuan dilindungi dari kekerasan dan pelecehan
martabatnya sebagai manusia yang terhormat.
Tak jarang, sebagian orang menukil beberapa data perceraian
yang diakibatkan oleh KDRT sebagai argumen untuk mendelegitimasi aturan
agama. Mereka mengatakan bahwa perilaku KDRT ini meningkat bisa jadi
karena sandaran aturan normatif yang salah. Padahal, jika mau jujur
orang-orang yang melakukan KDRT tesebut sama sekali tidak memahami
aturan agamanya, bahkan mungkin tidak terbersit bahwa apa yang mereka
lakukan memiliki pembenaran dan dalil. Dengan demikian kesimpulan di
atas menjadi sangat prematur dan merupakan bentuk generalisasi yang
tidak argumentatif.
3. Masalah thalaq (perceraian)
Sebagai tindak lanjut masalah sebelumnya, kali ini talak
atau perceraian diklaim sebagai bentuk lain perlakuan diskriminatif
Islam terhadap perempuan atau bentuk hegemoni lain laki-laki terhadap
perempuan. Karena –menurut mereka- laki-laki dan perempuan tidak
memiliki hak talak yang setara.
Maka menurut para pejuang penyetaraan gender, sebagai
bentuk keadilan yang mutlak adalah jika hak percerian hanya bisa
dilakukan oleh pengadilan. Maka, pelucutan hak talak dari laki-laki
merupakan bunyi keadilan dan kesetaraan gender. Di samping itu mereka
juga menghendaki adanya iddah yang diberlakukan juga bagi laki-laki. Salah satu pejuang penyetaraan gender, Nawal Sa’dawi mengatakan, ”Sesungguhnya
talak merupakan salah satu solusi untuk menyelesaikan sebagian masalah
rumah tangga. Tapi apakah sebuah keluarga hanya berisi satu pihak saja
yaitu laki-laki? Mengapa penyelesaian masalah justru merugikan pihak
lain?”([22]).
Sementara yang lain –Aminah Wadud- memandang bahwa peraturan ini hanya
bersifat temporer, mengingat kondisi saat turun wahyu sangat tidak
memihak perempuan([23]). Maka di zaman saat kesetaraan dijunjung tinggi hal itu perlu direvisi dan diubah.
Talak adalah salah satu solusi disharmonisasi dalam rumah
tangga, bahkan merupakan solusi terakhir yang ditempuh jika solusi
alternatif lainnya tidak menghasilkan solusi yang memuaskan kedua pihak
yang bertikai. Meskipun hak talak ini aslinya dipegang laki-laki, tapi
diikuti batasan dan aturan yang sangat ketat. Karena ada kondisi
tertentu yang tidak diperbolehkan menjatuhkan talak pada istri, demikian
halnya kewajiban nafkah dan tempat tinggal tidak dengan otomatis
berhenti seketika bagitu talak dijatuhkan pada sang istri. Secara normal
dan umumnya pasangan, laki-laki yang selama ini menafkahi akan
menakar-nakar ulang sebelum menjatuhkan pilihan antara mentalak atau
menahannya. Tentu berbeda kasusnya jika penyikapannya hanya
memperturutkan perasaan yang emosional. Biasanya perempuan lebih
emosional dan lebih sering menuntut untuk diulangkan ke rumah orang
tuanya. Bahkan dalam kondisi ia mampu menyumbangkan pemasukan bagi
keluarga sekalipun. Maka pelucutan sepihak seperti di atas adalah bentuk
kezhaliman. Ini belum membicarakan hak asuh anak dan masalah-masalah
yang berkaitan dengan persusuan serta persoalan rujuk, jika terjadi
keinginan antar keduanya untuk memulai membangun kembali mengurai
disharmonisasi.
Di samping itu, jika dalam kondisi perempuan menjadi pihak
yang dirugikan jika terpaksa bertahan dalam keadaan disharmonisasi yang
menjeratnya, ia bisa melakukan khulu’ (tuntutan cerai kepada suaminya).
4. Hijab/Jilbab
Menutup aurat yang menjadi salah satu tanda iffah
dan usaha merealisasikan ketakwaan. Namun, kewajiban kaum muslimah ini
didesakralisasi oleh para slogan perangusutamaan gender dengan meluaskan
wilayah khilafiyah (perbedaan pendapat) dari yang sudah maklum di kalangan umat Islam; yaitu antara wajah dan kedua telapak tangan muslimah. Khilafiyah
ini diperluas dengan redefinisi dan pembatasan aurat perempuan (di
depan publik dan laki-laki yang bukan suami atau mahramnya) menjadi
lebih luas dari itu; yaitu bukan hanya sekedar wajah dan dua telapak
tangan.
Orang-orang yang sering menyebut diri mereka kalangan modernis, di antaranya Muhammad Syahrur, meredefinisi ”az-zinah” yang dikecualikan dalam ayat (ولا يبدين زينتهنّ إلا ما ظهر منها) [QS. Al-Ahzab: 31] terbagi dalam dua hal: yaitu, 1. Az-zinah yang zhahir dan 2. Az-Zinah yang tersembunyi. Lalu apakah yang dimaksud zinah di sini yang sesuai dengan ruh dalam ayat QS. An-Nisa’: 22 dan 23. Setelah membagi jenis-jenis perhiasan/zinah, Syahrur juga menjelaskan apa yang dimaksud kata ”juyub” dalam Al-Qur’an yang dianggapnya aurat kubra. Ia lalu mengatakan, ”Jika
ada pertanyaan: bolehkah seorang perempuan membuka auratnya (telanjang)
di depan mahram-mahramnya. Maka saya jawab: boleh, jika tidak
mengganggu atau ada keperluan. Jika ada rasa tak enak maka itu termasuk
bagian dari adat, kepatutatan/aib atau malu. Tapi hal ini tidak ada
hubungannya dengan halal dan haram, karena suami dan ayah termasuk di
dalamnya. Jika seorang ayah melihat anak perempuannya demikian, ia
jangan mengatakan: ini haram. Tapi katakanlah hal tersebut aib!”([24]).
Sementara Muhammad Said al-Asywamy mencoba mengritisi
argumen disyariatkannya jilbab yang menurutnya secara global bermula
dari dua hal: melindungi kaum muslimat yang merdeka dari pelecehan
seksual atau disamakan dengan budak atau pelacur pada saat mereka hendak
menunaikan hajat (buang air). Inilah –menurut Asymawy- maksud yang
sesungguhnya dan bukan untuk mewajibkan pakaian islami sebagaimana
banyak diklaim orang. Apalagi saat ini untuk membedakan identitas
seseorang sangat mudah karena ada kartu identitas, juga karena hampir
semua model kamar kecil (toilet) sekarang berada di dalam rumah atau
ruang yang sangat tertutup (privasi). Dengan demikian perlu peninjauan
ulang terhadap klaim kewajiban jilbab([25]).
Penulis takkan menjawab syubhat ini, karena kewajiban
tentang jilbab sudah demikian jelas sejelas kewajiban shalat dan zakat.
Jika ada perdebatan maka wilayahnya menjadi sangat kecil, yaitu hanya
wajah dan kedua telapak tangan. Jika sebagian muslimah atau banyak di
antara mereka enggan mengenakan pakaian iffah ini maka tidak
menjadi tolok ukur bahwa kewajiban jilbab kemudian tereduksi dan
mengalami perubahan hukum atau dikatakan hukumnya belum final.
5. Waris
Satu-satunya wacana klasik yang diperdebatkan dalam masalah waris dalam frame
kesetaraan gender adalah bahwa dalam masalah perwarisan seorang
perempuan –hanya- mendapatkan jatah setengah bagian laki-laki. Maka ini
merupakan bentuk perlakuan diskriminatif yang lain.
Padahal dalam agama Islam hukum waris adalah sebuah sistem
komprehensif dan tidak boleh dipahami dan dilaksanakan secara parsial
saja. Aturan-aturan tersebut dikemas dalam al-Qur’an yang kemudian
dipelajari perkembangan kasus-kasusnya yang oleh para ulama kemudian
dinamakan dengan sebuat disiplin ilmu ”Fara’idh”. Para pejuang gender tersebut hendak menggeneralisasi kondisi perwarisan, atau dimaksudkan untuk memblow up,
beberapa kondisi yang sangat sedikit saja sehingga mendukung tujuan
mereka serta menempatkan Islam dalam posisi tembak dan tak ubahnya
seperti perundang-undangan yang bisa direvisi dan diamandemen.
Secara umum Islam mengatur hak perempuan dalam waris
sebagai berikut, jika diperhatikan justru yang terjadi sebaliknya,
perempuan menjadi sangat dimuliakan dan dijunjung derajat dan
martabatnya.
- Hanya ada 4 kondisi saat perempuan menerima setengah bagian laki-laki
- Ada 8 kondisi saat perempuan menerima bagian sama sempurna seperti laki-laki
- Ada 10 kondisi saat perempuan menerima bagian lebih banyak dari laki-laki
- Bahkan ada beberapa kondisi saat itu perempuan menerima bagian, sementara laki-laki tidak mendapatkannya([26]).
6. Poligami
Adapun poligami yang dihalalkan Allah sudah tentu menjadi
musuh utama para pejuang gender. Karena selain dianggap perlakuan
diskriminatif terhadap perempuan, poligami dianggap tidak manusiawi dan
merendahkan martabat perempuan. Tak heran, jika di mana-mana poligami
disosialisasikan untuk diperangi, karena merupakan bentuk perbudakan dan
perlakuan tidak adil yang dialami perempuan. Juga karena perempuan
tidak diperbolehkan memiliki pasangan lebih dari satu.
“Termasuk pula dalam pengertian ”mâ anzalallah”
adalah hukum poligami. Dalam banyak pandangan di dalam masyarakat hukum
poligami bukan sekedar dibolehkan, tetapi juga sunnah karena pernah
dipraktekkan oleh Nabi SAW” ([27]).
Gerakan anti poligami ini sangat mudah untuk digulirkan.
Dengan memanfaatkan sisi emosional perempuan yang memang sulit menerima
untuk diduakan, maka tak perlu berpikir panjang seolah-olah poligami
adalah dilarang dan dimusuhi bersama. Di saat yang sama para pejuang
gender tersebut ingin melegalkan dan melindungi praktek perselingkuhan
dan perzinahan, termasuk perilaku seksual yang sangat bebas tanpa
batasan tertentu karena dipandang sebagai wilayah yang sangat privat.
Padahal poligami adalah sebuah solusi sebagaimana
perceraian yang diperbolehkan dalam Islam. Adanya syarat keadilan yang
tak bisa ditawar merupakan bentuk pengetatan dan rem keberanian seorang
laki-laki sebelum melangkah mengambil keputusan untuk menikah lagi. Nabi
Muhammad SAW sendiri tetap bertahan monogami selama kurang lebih 27
tahun. Sulitnya kondisi perceraian tak menyebabkan seseorang harus
mengatakan bahwa talak diharamkan. Maka demikian halnya dengan poligami,
yang jika –terpaksa- dilakukan karena suatu sebab dan diikuti dengan
pemenuhan keadilan yang maksimal maka adalah bentuk prestasi. Meski
pandangan yang mengatakan bahwa poligami adalah sunnah, tetap harus
dikritisi dan dikaji ulang. Karena poligami merupakan salah satu solusi
masalah sosial dan juga kebutuhan pribadi di waktu yang sama. Maka
secara proporsional –justru- akan kembali menempatkan perempuan dalam
kehormatannya. Berbeda dengan perselingkuhan dan perzinahan yang
merupakan bentuk hubungan yang sulit dipertanggungjawabkan secara
manusiawi sebelum di hadapan hukum Allah.
7. Kepemimpinan (qawwamah)
Masalah qawwamah cenderung dibahasakan sebagai
penguasaan atas perempuan. Kepemimpinan yang dimaksud adalah pengayoman
didistorsis sebagai hegemoni dan diktatorisme. Parahnya pembahasan
kepemimpinan lokal dalam skup rumah tangga kemudian diluaskan ke
mana-mana seolah menjadi genderang perang terhadap Al-Quran yang diklaim
menutup hak politik dan publik para perempuan.
Gerakan dan perjuangan para pembela kesetaraan gender ini
bahkan sangat berlebihan. Sebagai contohnya, ranah politik dipaksakan
harus mengakomodir 30% jatah khusus perempuan. Ini di Indonesia, di saat
negara-negara maju di dunia ini tak sampai menetapkan kuota dengan
angka seperti itu.
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik[28] mengakomodasi beberapa paradigma baru Indonesia. Pasal 2 ayat (2) dan ayat (5) yang menyebutkan :
(2) Pendirian dan pembentukan Partai Politik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyertakan 30% keterwakilan perempuan.
(5) Kepengurusan Partai Politik tingkat pusat sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) disusun dengan menyertakan paling rendah 30%
keterwakilan perempuan.
Islam tak melarang perempuan untuk menggunakan hak
politiknya juga tak melarang rincian-rincian di atas. Namun, jika
ditilik dari munculnya undang-undang tersebut maka tak bisa dilepaskan
dari semangat pengarusutamaan gender, atas nama kesetaraan gender.
8. Persaksian perempuan
Isu yang diangkat dalam masalah persaksian juga tak jauh
berbeda seperti poin-poin sebelumnya, perlakuan tak adil (diskriminatif)
terhadap perempuan dalam masalah persaksian didakwa sebagai
pembedaan/diskriminasi perempuan sekaligus sama halnya menempatkan
perempuan sebagai setengah manusia.
Banyaknya wilayah perbedaan dalam masalah ini di kalangan
para ulama mengindikasikan bahwa terjadi perkembangan yang konstruktif.
Dan semakin menegaskan pemahaman para ulama akan hal-hal yang konstan (tsâbit) yang tak bisa berubah yang tidak menjadi wilayah ijtihat serta mana yang termasuk wilayah yang berubah (mutaghayyirât).
Sebagai contoh sederhana, seorang murid yang sangat setia pada gurunya
seperti Ibnu al-Qayyim al-Jauziyyah, banyak berbeda pendapat dengan
gurunya, Ibnu Taimiyah dalam masalah ini([29]).
Metode yang Digunakan
Untuk disebut sebagai sebuah metode, dalam kajian apapun
yang diperlukan adalah konsistensi dan nilai ilmiah yang bisa
dipertanggungjawabkan. Secara khusus penulis tidak menemukan metode yang
digunakan para pejuang gender untuk mencari sandaran normatif dalam
rangka mendukung dan menguatkan propaganda mereka dari perspektif agama.
Meskipun pada dasarnya agama dan etika adalah dua hal yang dihindari,
dikritisi dan dijauhi.
Secara global pembahasan ayat-ayat Al-Quran yang berkaitan
dengan perempuan dikaji dalam perspektif kesetaraan gender dengan
beberapa pendekatan dan metode berikut.
1. Hermeneutika
Secara umum hermeneutika adalah penakwilan bebas dan tak
ada yang final dalam penafsiran teks (relativisme). Wahyu telah berubah
menjadi teks dan masuk ke dalam ranah manusia karena sudah diturunkan ke
bumi. ”Sebuah ilmu tentang penakwilan teks-teks suci atau teks
agama manusia, seperti sebuah tafsir atau ilmu filologi, pemaknaan
literal (harfiyah), atau pendekatan marfologi dan gramatikal. Atau yang
dikenal sebagai penafsiran per lafazh”([30]). “… yaitu dengan menanyakan banyak hal dari sumbernya atau dari pembacaan di lain sisi”([31]).
Maka bagi para penganut ”tafsir hermeneutika” ada lima unsur pokok:
(1). Matinya pengarang, karena penakwilan dibebaskan sesuai pembacaan
pembaca; (2). Wahyu telah beralih menjadi teks manusia, maka bisa
dikritisi sebagaimana karangan manusia; (3). Tak ada yang zhahir,
semuanya bisa ditakwilkan; (4). Relativisme dan tidak ada yang final
dalam penakwilan, karena akan terus berkembang; (5). Maka sebagaimana
para mufassirun berkarya, semua yang datang setelahnya boleh
berkata apa saja. Di antara pelopor hermeneutika: Schleirmacher
(1768-1834 M), Martin Heidegger (1889-1976 M), Gadamer (1900-2002 M).
Oleh para sarjana muslim yang belajar ke Barat, hermeneutika dianggap
sebagai penemuan atau ilmu baru yang dibutuhkan dalam penafsiran
Al-Quran.
2. Kritik sastra dan kebahasaan Al-Quran
1. Strukturalisme (al-binyawiyah):
Dengan pendekatan strukturalisme, Al-Quran bagaikan teks
yang berdiri sendiri terlepas dari berbagai ikatan ideologis. Atau
menjadikan teks harus dikembalikan kepada kaidah kebahasaan yang
memiliki aturan gramatikal dan sebagainya. Tidak finalnya Al-Quran
ditunjukkan dengan adanya qira’ah sab’ah (tujuh) atau asyrah (sepuluh).
Maka bagi kritikus strukturalis tidaklah memiliki misi mengungkap
hakikat sesuatu yang terkandung dalam bahasa teks, tapi misinya adalah
menyesuaikan bahasa teks dengan bahasa modern saat ia hidup di tengahnya([32]).
Di antara para pelopor aliran kritik sastra ini: Ferdinand De Sausure (1857-1913 M) dan Roland Barthes (1980-1915 M).
2. Dekonstruksi (at-tafkîkiyah): adalah sebuah metode pembacaan teks yang beranggapan, setiap teks/ungkapan selalu kontekstual. Di antara tokohnya: Jacques Derrida (1930-2004 M) menunjukkan bahwa kita cenderung untuk melepaskan teks dari
konteksnya. Satu term tertentu kita lepaskan dari konteks (dari
jejaknya) dan hadir sebagai makna final. Inilah yang Derrida sebut
sebagai logosentrisme, yaitu, kecenderungan untuk mengacu kepada suatu metafisika tertentu,
suatu kehadiran objek absolut tertentu. Dengan metode dekonstruksi,
Derrida ingin membuat kita kritis terhadap setiap teks. Derrida sendiri banyak terpengaruh oleh Nitche (1844-1900 M)([33]) dengan filsafat nihilismenya([34]).
3. Stylistik (al-uslûbiyah):
Yaitu dengan menempatkan Quran dalam kritik sastra dan
kebahasaan. Wahyu yang semula adalah kalam Allah, ketika disampaikan
kepada Muhammad (manusia), maka yang digunakan adalah bahasa manusia.
Adanya kesenjangan antara dua bahasa tersebut (antara sumber dan
penerima) dimediasi oleh Jibril. Maka yang menjadi pusat kritik bukan
asal sumbernya (wahyu/kalam Allah), juga bukan penerimanya (Nabi
Muhammad), juga bukan mediatornya (Jibril), tapi teks yang sampai kepada
Umat Islam. Al-Quran yang diterima Nabi Muhammad dari Jibril, pasti
berbeda pemaknaan dari yang diterima sahabat langsung dari Nabi SAW,
demikian seterusnya para tabi’in hingga sampai ke zaman sekarang. Maka
kritik gaya bahasa (uslub) dijadikan poin penting dalam kritik. Meski terjadi perbedaan serius di antara para pelopor aliran ini([35]), tapi tetap bisa dipakai para pejuang gender untuk mengangkat kebenaran relatif dan perlunya amandemen isi al-Quran.
4. Semiotika (as-simiya`iyyah):
Dengan metode ini yang dipusatkan adalah unsur bahasa yang sering disebut kode atau simbol([36]). Maka unsur-unsur yang dimuat dalam al-Quran juga demikian, menjadi sangat relatif. Sebagai contoh: definisi khamr,
aurat dalam kebahasaan Arab akan berkembang dan mungkin berubah jika
dilakukan dengan pendekatan bahasa lain dan di tengah komunitas lain.
3. Pendekatan sejarah
Dengan pendekatan sejarah, agama (Islam) dimasukkan sebagai unsur sejarah([37])
dan budaya yang mengalami perkembangan. Maka kandungan ajaran-ajaran
yang dibawa harus dikritisi dan direvisi untuk menyesuaikan perkembangan
sejarah. Tak heran jika kemudian muncul istilah ”muntaj tsaqafi” (produk budaya) sebagai padanan Al-Quran([38]).
Artinya sebagai produk budaya Al-Quran juga tak bisa lepas dari kritik
dan revisi. Termasuk di dalamnya tema-tema perempuan dan gender.
Tak heran jika kemudian, para pejuang kesetaraan gender
mencoba memperjuangkan persamaan antara laki-laki dan perempuan termasuk
dalam wilayah budaya dalam RUU KKG (Kesetaraan dan Keadilan Gender).
Jika nantinya RUU ini disahkan, maka bisa dijadikan pintu untuk merevisi
atau mengamandemen aturan-aturan agama yang sudah pakem. Apalagi jika
ditekankan bahwa Islam adalah bagian dari sejarah dan budaya([39]),
maka sudah selaiknya ditinggalkan dan diganti dengan yang baru. Atau
jika tak memungkinkan setidaknya diperbarui dan diubah kandungannya.
4. Pendekatan sosiologis dan antropologis
Dengan pendekatan ini, dipahami bahwa agama adalah fenomena sosial([40]),
maka perilaku keagamaan orang Arab tak bisa disamakan dengan perilaku
keagamaan orang Indonesia. Targetnya adalah lokalisasi ajaran agama (nasionalisasi).
Termasuk di antaranya kondisi perlakuan terhadap perempuan dan
kentalnya sistem laki-laki dalam Arab. Maka dengan sendirinya, dalam
konteks keindonesiaan atau tatanan sosial modern perlu diatur perlakuan
manusiawi yang lebih bermartabat kepada perempuan.
5. Pendekatan psikologis
Dalam pendekatan ini, yang diutamakan dalam tataran realita
adalah hasil dari perilaku keagamaan. Tanpa melihat seseorang memeluk
agama tertentu apa. Dari sini akan dimunculkan sebuah madhab baru dalam
beragama, yaitu madzhab pluralisme([41]).
Yang terpenting adalah keshalihan dan kebaikan individu tanpa memandang
agama yang dianutnya. Atau dengan kata lain mereka mengklaim mengambil
intisari kebaikan dari berbagai agama.
RUU Kesetaraan dan Keadilan Gender (KKG)
Target dari pengesahan RUU KKG adalah kriminalisasi segala bentuk pelanggaran dan perlakuan diskriminatif terhadap perempuan([42]),
tanpa memandang kondisi. Maka dengan rujukan RUU ini kelak akan
berimplikasi terevisi dan teramandemennya beberapa Undang-Undang di
negara ini, khususnya secara mendasar akan terjadi perubahan besar dalam
UU Perkawinan (Ahwal Syakhshiyyah). Target dan sasaran ini
bisa diendus dengan masuknya unsur budaya dalam berbagai poin dalam RUU
tersebut. Dengan pendekatan budaya dan sejarah, maka segala bentuk
aturan agama adalah unsur budaya yang terus mengalami perkembangan.
Meskipun belum bisa digeneralisir, namun patut dicermati
sebuah fakta yang mencengangkan sekaligus menyedihkan. Angka perceraian
di Indonesia pasca reformasi (di atas tahun 2000) meningkat empat hingga
sepuluh kali lipat dari tahun-tahun sebelumnya. Pada tahun 2009,
terdapat 250 ribu perkara perceraian, atau sebanding dengan 10% angka
pernikahan di tahun yang sama. Tujuh puluh persen di antara perceraian
tersebut adalah bentuk cerai gugat, yaitu pihak istri (perempuan) yang
menggugat cerai suaminya dengan berbagai sebab([43]).
Padahal para pejuang dan pembela kesetaraan gender sering mengemukakan
bahwa terjadi perbaikan dan peningkatan dalam penerapan kesetaraan
gender serta penekanan angka perlakuan diskriminatif terhadap perempuan.
Penutup
Di antara bukti Islam menghargai dan menghormati perempuan,
di dalam Al-Qur’an secara khusus terdapat sebuah surat bernama Surat
an-Nisa’, wasiat terakhir Nabi Muhammad SAW adalah berkaitan dengan
perlakuan yang baik terhadap perempuan, serta banyak kesempatan di dalam
Al-Quran dan As-Sunnah yang memerinci penempatan mulia serta menjunjung
martabat perempuan. Maka, kita tak menafikan perjuangan dan kegigihan
para pejuang gender, tapi yang kita perlu waspadai jika aksi tersebut
berbau politis dan ideologis, dengan membawa misi anti kemapanan,
relativisme serta mendobrak nilai dan tatanan agama serta memerangi
kemapanan keluarga dalam masyarakat.
Sumber: http://saifulelsaba.wordpress.com/
Sumber: http://saifulelsaba.wordpress.com/
([1]) Alumni Universitas Al-Azhar Cairo, Jurusan Tafsir dan
Ilmu-Ilmu Al-Quran, Wakil Ketua Komisi Seni Budaya MUI Pusat, Divisi
Kajian Sharia Consulting Center (SCC) Jakarta, Dosen di Sekolah Tinggi
An-Nuaimy, Jakarta, Dosen Pasca Sarjana PTIQ Jakarta, aktif di Asia
Pasific Community for Palestina di Jakarta.
([2]) Dr. Ali Muhammad Shalabi, As-Sirah An-Nabawiyyah; Ardh Waqa’i wa Tahlil Ahdats, Darut Tauzi’, Cairo, Cet. II, 20023 M-1424 H, Jilid 2, hlm. 363-364. Suhailah Zainal Abidin, al-Mar’ah al-Muslimah wa Muwajahah Tahaddiyat al-Aulamah, Ubaikan, Riyadh, Cet.I, 2003 M-1424 H, hlm. 190-191.
([3]) An-Nawawi, Minhaj al-Qashidin wa Umdatu al-Muftin, Darul Ma’rifah, Beirut, 1986 M-1406 H, J.1, h. 21.
([4]) Lihat Helen Tierney (Ed.), “Women’s Studies Encyclopedia”, Green Wood Press, New York, Vol. I, hlm. 153.
([5]) Lihat Wikipedia Online, dengan alamat http://en.wikipedia.org/wiki/Gender, diakses tanggal 17 September 2010.
([6]) dikutip dari Naskah Akademis RUU KKG (Kesetaraan dan
Keadilan Gender), Tim Kerja PUU-Deputi Perundang-undangan DPR RI, 24
Agustus 2011, hlm. 11
([7]) M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern (1200 – 2008 M), Serambi, Jakarta, Cet. I, 2008, hlm. 341
([8])United Nations, The CEDAW and its Optinal Protocol-Handbook for Parlimentarians, Switzerland, 2003, hlm. 9, 13
([9])International Commision of Jurists, Sexual Orientation, Gender Identity and International Human Rights Law-Practitioners Guide No. 4, Geneva, 2009, hlm. 52, 53
([10]) Siti Musdah Mulia, Islam dan Inspirasi Kesetaraan Gender, Kibar Press, Yogyakarta, Cet.II, Agustus 2007, hlm. 62, 63
([11]) sebagaimana dinukil oleh Imam Fakhrurrazi dalam tafsirnya (Mafatih al-Ghaib, Darul Fikr, Beirut, Cet. I, 1980 M – 1401 H, Jilid 9, hlm. 167)
([12]) Yaitu QS. An-Nisa’:1, QS. Al-An’am: 98, QS. Al-A’raf: 189, QS. Luqman: 28, QS. Az-Zumar: 6
([13]) Muhammad Syahrur, Al-Kitab wa Al-Qur’an: Qira’ah Mu’ashirah, 596-597
([14]) QS. Ali Imran: 59
([15]) HR. Bukhori dalam shahihnya, Bab Lima Khalaqtu bi Yadayya, hadis nomer 6975, dan Muslim dalam Kitâb al-Iman, Bâb Adnâ Ahli al-Jannah Manzilatan, hadis nomer 193.
([16]) QS. An-Nisa’: 1, QS. Al-A’raf: 189 dan QS. Az-Zumar: 6
([17]) HR. Bukhori, Kitâb Bad’i al-Wahyi, Bâb Wa Idz Qâla Rabbuka, hadis nomer: 3084, Muslim, Kitâb Ar-Radha’, Bâb al-Washiyyah bi an-Nisa`, hadis nomer: 1468, At-Tirmidzi, Kitâb Ath-Thalâq, Bâb Mâ Jâ`a fi Mudârah an-Nisa`, hadis nomer: 1188, hadis ini juga diriwayatkan oleh al-Hakim, Imam Ahmad dan ad-Darimy.
([18]) Siti Musdah Mulia, Menuju Hukum Perkawinan yang Adil: Memberdayakan Perempuan Indonesia, dalam Sulistyowayi Irianto, Perempuan dan Hukum, Yayasan Obor, Jakarta, Cet II, 2008, hlm. 158
([19]) HR. Muslim, Kitâb Az-Zakâh, Bâb Bayân Ismi as-Sadaqah, hadis nomer: 1006, hadis ini diriwayatkan dari sahabat Abu Dzar al-Ghifary ra.
([20]) Al-Hakim dalam al-Mustadrak dan mengatakan bahwa
sanadnya shahih (2/208), juga Imam Baihaqi dalam as-Sunan al-Kubra,
hadis nomer: 14553
([21]) Ar-Raghib, al-Mufradat fi Gharib al-Qur’an, Maktabah Nazar Musthafa, Riyadh, Cet.I, 1997, hlm. 493.
([22]) Dr. Nawal Sa’dawi, Qadhaya al Mar’ah wa al-Fikr wa as-Siyasah, Maktabah Madbuli, Cairo, 2002, h. 218.
([23]) Dr. Aminah Wadud, Al-Qur’an wa Al-Mar’ah: I’adah Qira’ah an-Nash al-Qur’any min Manzhur Nisa’iy, Maktabah Madbuli, Cairo, Cet.I, 2006 hlm. 129-132.
([24]) Dr. Muhammad Syahrur: Al-Kitab wa al-Quran: Qira’ah Mu’ashirah, Syarikah al-Mathbu’at li Tauzi wa an-Nasyr, Beirut, Cet.I, 1992 M – 1412 H, hlm. 605-606.
([25]) Muhammad Said al-Asymawy, Ma’alim al-Islam, Sina li an-Nasyr, Cairo, Cet.I, 1989, h. 124-125
([26]) Shalah Sultan, Mîrâts al-Mar’ah wa Qadhiyatu al-Musâwâh, Nahdhah Misr, Cairo, Cet.I, 1999, hlm. 10-11
([27]) Husein Muhammad, Islam Agama Ramah Perempuan, Penerbit LkiS, Yogyakarta, Cet. II, 2007, h. 29-30
([28]) Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 2 Tentang Partai Politik
([29]) Seperti yang beliau tulis dalam karyanya, Ath-Thuruq al-Hukmiyah fi as-Siyasah asy-Syar’iyyah, Tahqiq: Nayif Ahmad al-Hamd, Dar Alam al-Fawa’id, Makkah, Cet.I, 1428 H.
([30]) Dr. Ahmad Idris Ath-Tha’an, Al-Qur’ân al-Karîm wa at-Ta’wîliyah al-Almâniyyah, hlm. 2.
([31]) Dr. Nashr Hamib Abu Zaid, Isykaliyât al-Qirâ’ah wa Âliyât at-Ta’wîl, Al-Markaz Ats-Tsaqafi al-Araby, Casablanca, 2005, hlm. 13
([32]) Manal Shalih al-Muhaimid, Tahawwulât an-Nash Baina al-Binyawiyah wa at-Tafkîkiyah, hlm. 1.
([33]) lihat: Megan ar-Ruwaily, Dalil an-Naqid al-Adaby, al-Markaz ats-Tsaqafy al-Araby, Casablanca-Maroko, Cet.III, 2002, hlm. 108
([34]) Nihilisme (al-Adamiyah) sebuah paham dan
aliran yang didasarkan pada pengingkaran/penafiyan terhadap nilai-nilai
atau pemikiran sebagai sesuatu yang absolut, nilai atau norma tersebut
sangat relatif, maka tak perlu diatur oleh undang-undang atau negara
karena menyangkut kebebesan dan privat (Akademi Bahasa Arab Mesir, al-Mu’jam al-Falsafy, Al-Mathabi’ al-Amiriyah, Cairo, 1983 M- 1403 H, hlm. 118)
([35]) Seperti yang ditulis oleh Dr. Shalah Fadhl, Manâhij an-Naqd al-Mu’âshir wa Mushtalahâtihi, Merit, Cairo, Cet. I, 2002, hlm. 111-112.
([36]) Ibid, hlm. 121-122.
([37]) Nuruzzaman Shiddiqie, Pengantar Sejarah Muslim, Nur Cahaya, Yogyakarta, 1983, hlm. 13.
([38]) Fahruddin Faiz, Hermeneutika Al-Qur’an, Elsaq Press, Yogyakarta, Cet.I, 2005, hlm. 100.
([39]) Lihat, misalnya: BAB I (Ketentuan Umum), Pasal 1,
dan BAB III (Hak dan Kewajiban) pasal 14 dalam RUU KKG (Kesetaraan dan
Keadilan Gender)
([40]) Sayyed Hossein Nasr, Knowledge and the Scared, Suhail Academy, Lahore, 1988, hlm. 66.
([41]) Madzhab yang memandang bahwa semua agama adalah sama
benar, terpengaruh dengan falsafah relativisme yang menafsirkan
eksistensi, perilaku dengan perspektif yang berbeda-beda (Al-Mu’jam al-Falsafi, Ibid, hlm. 48).
([42]) Seperti termaktub dalam: BAB IX (Ketentuan Pidana), Pasal 70-72 dalam RUU KKG .
([43]) lihat: International Islamic Commitee for Women and
Child (IICWC), Tatanan Keluarga dalam Islam, Lembaga Kajian Ketahanan
Keluarga Indonesia (LK3I), Jakarta, 2012, hlm. vii