Oleh:
Dr. Saiful Bahri, MA
Dosen Mahad Aly An-Nuaimy Jakarta
Lihat Profil:
Sebenarnya apa yang dibayangkan perempuan ketika ia berhadapan dengan
makhluk yang bernama laki-laki. Menjumpainya di jalan, di tempat-tempat
umum, dalam media cetak atau audio visual. Atau hanya mendengarnya
saja. Ketika laki-laki disebut atau yang berkaitan dengan laki-laki
tiba-tiba ia mendengar atau mengetahuinya.
Bagaimana perempuan mempersepsikan laki-laki.
Hal ini tak bisa dijauhkan dari latar belakang seorang perempuan. Ia
mengenal laki-laki dan dunianya melalui keluarganya atau lingkungan
tempat ia berada sejak kecil.
Dalam keluarga ia menemukan ayahnya juga saudara-saudaranya atau
hanya mendengarnya dari kisah dan cerita ibunya. Lingkungan sekitarnya
secara tak langsung membangun set psikis tertentu tentang laki-laki.
Hal-hal ini terus berkembang sampai ia menjadi dewasa dan bisa
mencari tahu dengan sendiri siapa laki-laki. Sebelum akhirnya ia bisa
jujur dengan dirinya, apa yang dirasakan ketika ia berhadapan dengan
laki-laki? Apa yang ia harapkan dari makhluk yang bernama laki-laki?
Kita sering membicarakan bagaimana buruknya lingkungan jahiliyah
yang memenjarakan dan menghinakan perempuan. Tapi, dalam waktu yang
sama kita lupa mengoreksi; sudahkah kita memuliakan perempuan dan
memenuhi hak-hak didiknya. Kita, sebagai laki-laki. Sebagai ayah bagi
anak perempuannya. Sebagai suami bagi istrinya. Dan sebagai saudaranya.
Setidaknya sebagai mitra dan penolong. “Dan orang-orang yang beriman,
lelaki dan perempuan, sebagian mereka (adalah) menjadi penolong
sebagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah
dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka ta’at
kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah;
Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”(QS. At-Taubah:71).
Kita lupa bahwa pola hidup modern sering kelewat memuja perempuan.
Eksploitasi hedonisme malah cenderung dijadikan barometer modernitas.
Moral tak lagi suatu hal yang dianggap penting dalam dinamika
berinteraksi. Sebagian perempuan menikmati eksploitasi ini sebagai hobi,
profesi yang ditekuni dan disukai. Sebagian lain mengumbar sisi-sisi
fisik yang sama sekali menafikan keberadaan spiritual seorang perempuan.
Sebagian laki-laki memanfaatkan ini sebagai pendulang nafsu dan
pemuas hawa. Dan sebagian perempuan tak merasa bahwa ia diperdaya.
Sebagian laki-laki seolah memujanya sedang ia tak sadar bahwa
sesungguhnya mereka menertawakan kebodohan perempuan. Sebagian laki-laki
melakukan yang demikian dengan mengatasnamakan kebebasan, seni dan
sastra. Namun, mereka, para perempuan itu tak menyadarinya bahwa mereka
dibohongi belaka. Itu adalah bahasa nafsu dan hawa.
Sebagian perempuan menyadari bahwa mereka ditipu oleh laki-laki.
Kemudian menjadikan hidupnya adalah permusuhan terhadap laki-laki.
Makhluk bernama laki-laki sungguh tak laik untuk hidup berdampingan.
Mereka, laki-laki harus dimusnahkan. Perempuan ini hendak membalas
kecongkakan laki-laki. Mereka harus direndahkan.Namun, tak semua perempuan seperti itu.Sebagian perempuan yang lain dengan jujur mengatakan bahwa mereka
memerlukan laki-laki. Karena mereka juga berpendapat bahwa laki-laki
bisa bersikap jujur. Laki-laki juga membutuhkan kehadiran perempuan di
sisinya. Laki-laki perlu ketenangan dan ketentraman berada disisi
perempuan. Perempuan perlu perlindungan dan perhatian dari laki-laki.
Saat demikian, perempuan yang cerdas berpendapat bahwa laki-laki tak
selaiknya dimusuhi. Bahwa laki-laki tak selaiknya direndahkan.
Sebagaimana laki-laki juga tak selaiknya dipuja berlebihan dengan
histeris. Seperti halnya ketika seorang bintang sedang live show di depan para penggemarnya yang juga para perempuan.
Dari mana para perempuan mendapatkan pemahaman tentang laki-laki secara utuh? Dari lingkungan keluarga dan sekelilingnya.
Siapa laki-laki yang paling berpengaruh dalam hidupnya? Ayahnya.Maka menjadi kewajiban ayahnya untuk mendidik dengan kesempurnaan
pendidikan yang laik untuknya. Salah mendidiknya akan berakibat fatal.
Tak heran bila sang ayah berkaitan erat denan perwalian seorang
perempuan ketika ia menikah dengan seorang laki-laki. Dan saat itu
kewajibannya berpindah ke pundak suaminya. Saat itu perempuan akan
mengenal laki-laki dalam bentuk suami. Yang bukan ayahnya juga bukan
saudaranya. Kelak ia akan mengenal laki-laki sebagai anaknya yang bukan
suami atau ayahnya.
Kesalehan individu seorang perempuan yang terbina sejak kecil
ditumbuhkan oleh lingkungan keluarga yang harmonis dan dekat dengan
nuansa ketuhanan. Kental dengan warna normatif dan kesopanan. Ramai
dengan dinamika pergaulan yang cair. Tidak beku karena kedua orang
tuanya mengajarkan cinta. Mengajarkan bahwa antara laki-laki dan
perempuan saling memerlukan sebagaimana ayah dan ibunya saling
memerlukan dan saling bekerja sama dalam membina keluarga.
Fondasi awal inilah yang kelak akan mengembangkan wawasan berpikirnya
menjadi cerdas juga sangat proporsional dalam memandang laki-laki.
Saat ia mulai memahami laki-laki lewat sekolah dan pendidikan di luar
keluarganya. Menjumpainya di jalan atau di lingkungan luar rumahnya.
Saat ia mengenal teman-temannya. Bahkan sampai ia sendiri yang
mengkajinya. Hingga dalam benaknya telah ada bayangan dan obsesi tentang
laki-laki tertentu dalam hidupnya. Ia yakin suatu saat akan
menemukannya.
Saat itulah ia mulai membina diri dan terus memperbaiki dengan
menghiasi diri dengan sesuatu yang berharga baginya dan bagi laki-laki
yang mencarinya. Ketakwaan. Kebaikan. Dengan berbagai dimensinya.
“… dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik
dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula)”(QS. An-Nur: 26).
Setelah itu tak ada yang salah dengan laki-laki kecuali mereka
sebagai manusia yang bisa saja sewaktu-waktu melakukan kesalahan. Namun,
kesalahan itu bukan berarti tidak termaafkan, bukan? Dan justru
laki-laki yang manusia itulah yang ia perlukan sebagai pelindungnya.
Bagaimana pun kondisinya. Jika ia seorang laki-laki bertakwa maka ia
akan aman disisinya. Bila laki-laki itu mencintainya, ia akan
dimuliakan. Bila laki-laki itu belum mencintainya, ia akan berusaha
dicintainya. Bila laki-laki itu tak mencintainya, ia takkan teraniaya.
Dan yang baik akan menemukan kebaikan dalam yang baik. Kebaikan yang
akan bertemu bila masing-masing merasa ia telah membina kebaikan dalam
dirinya. Masih ada keraguan? Masih adakah permusuhan setelah ini?
Saiful Bahri
Cairo, Medio April 2004
Bagian Pertama
sumber: saifulelsaba.wordpress.com