Oleh:
Dr. Saiful Bahri, MA
Dosen Mahad Aly An-Nuaimy Jakarta
Lihat Profil:
Adapun laki-laki, apa yang ia ketahui tentang makhluk bernama perempuan?
Apakah ia adalah setan yang selalu menggodanya.
Ataukah ia adalah berhala yang selalu dipuja-puja.
Ataukah ia kelemahan yang harus dilindungi.
Ataukah ia kesempurnaan yang harus dibela dan ditinggikan.
Ataukah ia kemuliaan yang harus diraih dengan kemuliaan.
Ataukah ia bidadari yang hanya bisa diangankan.
Ataukah ia pembawa sial yang harus dijauhi dan dibuang.
Ataukah ia adalah musuh baginya yang harus diperangi
Ataukah ia selalu menjijikkan dan harus diterlantarkan.
Ataukah ia manusia seperti dirinya yang memiliki kekurangan sebagaimana kelebihan yang ada padanya.
Ataukah bahkan ia tak mengenalnya sehingga tak perlu menghadirkan dalam hidupnya.
Ataukah ia adalah kerusakan yang sedang mencari kerusakan.
Ataukah ia adalah kebaikan yang sedang menunggu kebaikan.
Ataukah ia kelembutan dan ketentraman yang diperlukan dalam hidupnya.
Ataukah ia yang membuatnya selalu mengangankan masa depan.
Ataukah ia yang sanggup membuatnya berani dan menjadi kuat.
Atau bahkan ia tak bisa mengatakan: siapa perempuan baginya?
Apapun jawabannya, laki-laki takkan bisa tidak menemukan perempuan
dalam hidupnya. Ia bisa saja menulikan telinga atau membutakan mata,
namun tidak dengan hati.
Seorang laki-laki tak bisa dilepaskan dari perempuan. Ibu yang
mengandung dan melahirkannya adalah seorang perempuan. Dari sinilah ia
mulai mengenal dan memahami perempuan. Ia mendapatkan ketentraman dan
cinta serta kasih sayang untuk pertama kalinya adalah dari ibunya.
Tentunya, semua karunia cinta ini tak lepas dari tanda kekuasaan-Nya.
Ia juga mengenal perempuan dari saudara kandungnya, adik atau
kakaknya. Kemudian ia akan menemukan perempuan yang lain dengan berbagai
watak di lingkungan sekitarnya. Bisa sebagai orang lain yang berjasa
selain ibunya, sebagai guru atau teman bermainnya. Namun ia juga akan
menemukan perempuan lain yang tak disukainya, entah sebagai kejelekan
yang sama sekali jauh dari fitrah perempuan atau sebagai kejahatan yang
diketahuinya.
Kelak ia pun kan dengan sendiri memahami dan mencari tahu siapa
sebenarnya perempuan. Dan apa pengaruhnya dalam hidup seorang laki-laki.
Bila ia hendak mengasari perempuan sepatutnya ia mengenang ibunya.
Sanggupkah ia mengasarinya sebagai balasan kasih sayang dan kelembutan
yang dengan ikhlas diberikan. Kasih sayang yang tumbuh bersama kesusahan
diatas kesusahan. Dari sejak mengandung sembilan bulan sampai
perjuangan hidup mati ketika melahirkannya. Kemudian menyusui dan
membelainya dengan sepenuh cinta.
Suatu saat seorang laki-laki mendatangi Rasulullah saw. Ia meminta
izin untuk berzina. Seketika para sahabat yang berada disekeliling Rasul
pun marah dan geram. Hendak menghardik dan mengusirnya. Namun, dengan
tenang Rasulullah menyambanginya dan mengajaknya berdialog. Tidak dengan
hujatan atau dengan ancaman atau dengan mengeluarkan dalil larangan
berzina.
Beliau mendekati laki-laki itu, kemudian bertanya dengan halus, “Apakah Engkau rela jika hal itu terjadi pada ibumu?”
Lelaki itu menjawab, ”Tidak, wahai Rasulullah!”
Kemudian beliau bertanya lagi, “Apakah engkau rela jika hal itu juga terjadi pada saudara perempuanmu”
Lelaki itu menjawabnya, “Tidak, wahai Rasulullah!”
Beliau bertanya lagi, “Apakah engkau rela jika hal demikian juga terjadi pada saudara perempuan ayahmu”
Laki-laki itu pun dengan tegas mengatakan, “Tidak wahai Rasulullah!”
Kemudian Rasul pun tersenyum dan menutup pertanyaannya, “Masihkah engkau berhasrat untuk berzina?”
Laki-laki itu menggeleng sambil mengatakan, “Tidak. Sekali-kali tidak wahai Rasulullah!”
Gambaran di atas menunjukkan bahwa laki-laki sangat dekat dengan
perempuan. Ia sangat mengenal perempuan, entah itu ibunya, saudara
kandungnya atau bibinya.
Dengan membawa set ulang pengenalan awal tentang perempuan, seorang
laki-laki akan mampu menghormati perempuan. Menghormati, bukan memuja.
Mencintai, bukan menjadikannya berhala yang disembah. Membutuhkan dan
memerlukan, namun tidak dengan mengemis atau merendahkan diri. Ia
menyadari bahwa dirinya dan perempuan adalah sesama makhluk dan manusia
yang sejajar. Perbedaannya adalah ia laki-laki dan perempuan adalah
perempuan. Beda tabiat dan struktur fisiknya. Juga fitrah dan tugasnya.
Namun, semua saling memerlukan. Semua bisa bekerja sama. Kualitas dan
posisi masing-masing disisi Allah dan juga manusia ditentukan dengan
kualitas takwa. Takwa yang berdimensi vertikal dengan sepenuh
ketundukan. Dan takwa yang berdimensi horizontal dengan kebaikan sosial.
Pada usia tertentu dalam hidupnya ia merasakan suatu perasaan yang
belum pernah dirasakan dalam hidupnya. Ia menjadi mengangankan seorang
perempuan. Ia merasa ingin selalu dekat dengannya. Ia ingin mendapatkan
kelembutan dan ketentraman sebagaimana yang ia peroleh dari ibunya. Ia
mengharap ada tempat melabuhkan kegundahan dan kegelisahannya. Ia hendak
menceritakan seluruh pengalaman dan kejadian serta ingin mendapat
respon yang hangat. Dan ia merasa perlu untuk melindungi seseorang. Ia
ingin menjadi pahlawan bagi kelembutan.
Perasaan ini semakin bersemi bersama usia. Namun, dimensi persemian
ini berkembang sesuai dengan pemahaman dan kedewasaan bersikap. Tidak
lantas hanya dengan romantisme psikis yang ingin didapatkannya. Sebagai
laki-laki yang paham, ia akan berusaha membina dirinya. Karena ia sedang
mencari kebaikan. Bukan selalu mencari yang terbaik. Yang pertama akan
membuatnya tenang. Yang kedua akan membuatnya semakin gelisah. Karena ia
akan terus membandingkan dan terus mencari dengan selektifitas yang
tinggi. Ia menjadi sangat ketakutan. Padahal tak ada yang perlu ditakuti
atau ditakutkan dari seorang perempuan bagi laki-laki. Kecuali untuk
merasa cemas akan muslihat perempuan yang akan menggelincirkan dari
cinta Allah menjuju kemurkaan-Nya.
Lalu, kebaikan akan mencari kebaikan. Karena kebaikan juga sedang menunggu kebaikan.
Jangan pernah mencari ketenangan setenang Khadijah, karena Anda bukan Muhammad.
Jangan pernah mencari kecerdasan secerdas Aisyah, karena Anda bukan Muhammad.
Carilah kebaikan sebagaimana kita memahami kebaikan yang ada dalam
diri kita. Kebaikan yang telah kita usahakan bersemi dan berkembang
dalam diri kita. Kebaikan yang kita yakini akan cocok dengan kebaikan
yang sedang kita cari. Kebaikan yang akan memberi ketentraman dan
kedamaian serta menyuburkan cinta dan kasih sayang.
Bukankah keteduhan akan memerlukan payung untuk berteduh?
Saiful Bahri
Cairo, Medio April 2004