Ditulis oleh: Habib Ziadi
Alumni Mahad Aly An-Nuaimy
Angkatan III
A. Definisi Israiliyyat
Israiliyyaat secara etimologis memiliki beberapa definisi menurut para pakar.
Pengarang tafsir ini adalah Imam Husain bin Mas’ud Al-Farra’ Al-Baghawi. Beliau juga seorang faqih lagi muhaddist, bergelar Muhyi As-sunnah (yang menghidupkan sunnah). Beliau wafat tahun 510 H. Beliau memberi nama tafsirnya dengan Ma’alim At-Tanzil.
Alumni Mahad Aly An-Nuaimy
Angkatan III
A. Definisi Israiliyyat
Israiliyyaat secara etimologis memiliki beberapa definisi menurut para pakar.
- Lafazh Israiliyyat -seperti zhahirnya adalah plural, asalnya Israiliyyah, yaitu kisah atau peristiwa dari orang Israil. Dinisbatkan kepada orang Israil, dia adalah Ya’kub bin Ishaq bin Ibrahim, seorang bapak yang keturunannya berjumlah 12. Padanya juga dinisbatkan nama Yahudi, lalu disebut Bani Israil[1]
- Israil berasal dari bahasaIbrani, tersusun dari “Isra” artinya hamba atau pilihan, dan dari “Eli” yaitu Allah. Maka artinya adalah Abdullah dan orang yang terpilih dari mkhluk-Nya.
- Menurut Doktor Goerge Bush, yang dikutip oleh DR. Ramzi Na’na’ah, Israiliyyat adalah julukan Ya’kub, yang bermakna pemimpin perjuangan bersama Allah. Kemudian julukan ini disematkan kepada seluruh anak cucu Ya’kub[2]
Terkadang Israiliyyat identik dengan Yahudi, walaupun sebenarnya tidak demikian. Bani Israil menunjuk merujuk pada garis keturunan bangsa, sedangkan Yahudi merujuk kepada pola pikir, termasuk di dalamnya agama dan dogma.[3]
Secara terminologis, pada mulanya merujuk pada sumber-sumber dari Yahudi dalam tafsir dan tsaqafah Yahudi secara zhahir nama, tetapi yang dimaksudkan dengannya adalah sesuatu yang lebih luas dan lebih global. Dan yang diinginkan adalah mencakup corak Yaahudi dan Nasrani dalam Tafsir, apa saja yang mempengaruhi tafsir dari tsaqafah keduanya. Apaun pengistilahan “Israiliyyat” karena intensitas keyahudian lebih sering (bersinggungan dengan islam) dibandingkan kenasranian. Sisi keyahudian lebih masyhur, lebih banyak penukilan darinya.[4] Oleh karena itu ada ulama yang mendefinisikan israiliyyat yaitu sesuatu yang menunjukkan pada setiap hal yang berhubungan dengan tafsir maupun hadis berupa cerita atau dongeng-dongeng kuno yang dinisbatkan pada asal riwayatnya dari sumber Yahudi, Nasrani, atau lainnya. Dikatakan pula bahwa israiliyyat termasuk dongeng yang sengaja diselundupkan oleh musuh-musuh Islam ke dalam tafsir dan hadis yang sama sekali tidak ada dasarnya dalam sumber lama.[5]
B. Sebab-sebab Masuknya Kisah Israiliyat dalam tafsir Al-Qur’an
Ketika ahlul kitab banyak masuk ke dalam Islam, mereka memabwa tsaqofah agama mereka berupa berita-berita, kisah-kisah agama. Mereka itu ketika mendengar kisah-kisah Al-Qur’an kadang-kadang mereka mengaitkannya dengan kisah yanga ada dalam kitab-kitab mereka sebelumnya. Para sahabat akhirnya berpegang dari apa yang mereka dengar dari mereka. Hal ini memang ada dasar dari hadis Rasul saw sendiri:
“Janganlah kalian membenarkan dan mendustai ahli kitab, katakanlah, kami beriman kepada Allah dan apa yang diturunkan kepada kami...” (HR. Bukhari). Para sahabat dan ahli kitab bergaul seputar beberapa masalah. Mereka menerima sebagian darinya selama tidak berkaitan dengan akidah dan hukum, kemudian hal itu jadi isu perbincangan.[6]
Jika kita lihat masa pra Islam, jauh sebelum Islam datang, Israiliyyat sudah mulai memasuki kebudayaan Arab (pada masa jahiliyah) karena di tengah-tengah mereka orang-orang ahli kitab yaitu Yahudi telah lama hidup berdampingan. Orang-orang Yahudi telah melakukan migrasi ke jazirah Arabiya secara besar-besaran pada tahun 70 M untuk menghindari penyiksaan dan keberutalan yang dilakukan kaisar dinasti Titus Romawi yang hendak menjajahnya dengan membakar dan menghancurkan Jerussalaem yang dikenal dengan nama Great Diaspora. Mereka datang ke jazirah Arabiya dengan membawa kebudayaan mereka yang bersendikan kitab-kitab keagamaan.
Di samping itu harus diakui bahwa masyarakat Madinah dan sekitarnya termasuk masyarakat yang heterogen dengan Yahudi dan Arab sebagai etnis yang paling dominan. Mereka yang masuk Islam dari kaum Yahudi (suku bani Qainuqa, Quraidzah, An-nazir, Khaibah, Taima, dan Fadak) dan nasrani serta Majusi masih tetap membawa kesan-kesan agama terdahulu pemahaman mereka sebelumnya. Di samping itu, bangsa Arab sendiri tidak banyak mengetahui perihal kitab-kitab terdahulu, sehingga ketika mereka ingin mengetahui perihal kitab-kitab terdahulu, sehingga ketika mereka iingin mengetahui tentang penciptaan alam, kejadian-kejadian penting lainnya, mereka bertanya kepada ahli kitab dari golongan Yahudi dan Nasrani. Momen inilah yang mengakibatkan merembesnya faham-faham israiliyyat ke dalam Islam.[7]
Faktor yang juga menjadi sebab masuknya kisah israiliyyat adalah masuk Islamnya ulama Yahudi, seperti Abdullah bin Salam, Ka’ab bin Akhbar, dan Wahab bin Munabbih. Mereka dipandang punya andil besar terhadap masuknya kisah israiliyat di kalangan Muslim. Ini juga mengindikasikan kisah israiliyat telah muncul sejak masa sahabat dan membawa pengaruh besar terhadap kegiatan penafsiran Al-Qur’an pada masa-masa sesudahnya.[8]
Harus diakui bahwa salah satu lembaga pengkajian keagamaan memiliki andil besar tumbuyh berkembangnya Israiliyyat. Midras, sebagai lembaga kajian agama tersebut, menurut Ahmad Khalil, juga sering didatangi sahabat Nabi untuk mendengar apa yang disajikan di sana. Di dalam musnad, Imam Ahmad meriwayatkan:
“Nabi saw pernah melihat Umar bin Al-Khattab keluar dari Midras, lalu nabi menegurnya, Apakah engkau ragu terhadap ajaran islam wahai Umar? Demi Allah yang berkuasa atas diriku, aku benar-benar telah datang membawa ajaran itu kepadamu dalam keadaan putih bersih. Janganlah kamu bertanya kepada mereka tentang sesuatu lalu mereka menceritakannya kepadamu dengan sebenar-benarnya lalu kamu mendustakannya, atau mereka memabawa berita bohong, tetapi kamu sekalian membenarkannya. Demi zat yang diriku berada pada kekuasaan-Nya, seandainya Nabi Musa masih hidup, tidaklah ia memberi kebebasan melainkan menyuruh mengikuti jejakku.”
Ilmu-ilmu seperti dialektika dan kalam banyak dipengaruhi pula oleh israiliyyat. Ibnu Atsir dalam tarikh-nya mengabadikan bahwa faham khalq Qur’an yang dicetuskan kaum muktazilah berasal dari Bisr Al-Marisiy. Ia mengambil faham itu dari Jahm ibnu Shafwan. Jahm mengadopsinya dari Ja’di Ibnu Dirham, Ja’di menerimanya dari Aban Ibnu Sam’an, Sam’an mengambilnya dati Thalut Ibnu Ukht lubaid Ibnu Al-As’am dsan ia menerimanya dari lubaid bin Al-As’am, seorang Yahudi yang pernah menyihir nabi saw.
Jadi, penyusupan israiliyyat ke dalam tafsir dapat dikatakan melalui periodesasi periwaayatan dan kodifikasinya. Adapun pada masa tabi’in, untuk memecahkan masalah keagamaan, informasi didapat dari para sahabat dan murid-murid sahabat. Namun, persoalannya, tidak semua yang diriwayatkan tabi’in itu berasal dari Rasul saw, melainkan ada yang mauquf sampai sahabat dan tabi’in. Di zaman tabi’in inilah muncul pemalsuan dan kebohongan terhadap hadis dan tafsir.[9]
C. Dampak Israiliyyat Terhadap Tafsir
Menurut DR. Muhammad Husain Al-Dzahabi israiliyat memiliki beberapa dampak negatif terhadap khazanah tafsir Al-Qur’an.
a. Dapat merusak akidah kaum Muslimin karena ia mengandung unsur penyerupaan keadaan Allah, peniadaan ishmah para Nabi dan Rasul dari dosa, serta mengandung tuduhan buruk yang tidak pantas bagi seorang nabi.
b. Merusak citra islam, karena seolah-olah islam itu agama yang penuh dengan khurafat dan mitos yang tidak ada sumbernya.
c. Menghilangkan kepercayaan kepada ulama salaf, baik di kalangan sahabat maupun tabi’in.
d. Memalingkan manusia dari maksud dan tujuan yang terkandung dalam ayat-ayat Al-Qur’an.[10]
D. Hukum Periwayatan Israiliyyat
Dari segi kandungannya, secara garis besar, Israiliyyat terbagi menjadi tiga bagian. Pertama, kisah Israiliyyat yang benar isinya, sesuai dengan Al-Qur’an dan Hadis. Kedua, kisah Israiliyyat yang bertentangan dengan Al-Qur’an dan Hadis. Ketiga, kisah Israiliyyat yang tidak di ketahui benar tidaknya.
Di antara kitab tafsir yang memuat banyak kisah-kisah Israiliyat adalah kitab Tafsir Ath-Thabari dan Ibnu Katsir. Dalam kitab Tafsir Ath-Thabari memuat tidak kurang dari 20 tema israiliyat, dan dari sekian banyak itu hanya satu riwayat yang dapatdiklasifikasikan sejalan dengan Islam. Yang sejalan dengan Islam itu adalah yang shahir riwayat dan redaksinya. Seperti riwayat yang menceritakan sifat Nabi yang disebutkan dalam Taurat. Dalam shahih Bukhari bab tafsir disebutkan bahwa ayat Al-Qur’an surat Al-Ahzab ayat 45 menyebutkan:
“Hai nabi, sesungguhnya Kami mengutusmu sebagai pembawa kabar gembira dan pembawa peringatan.” Didalam Taurat juga disitir, “Hai Nabi sesungguhnya Kami mengutusmu sebagai pembawa kabar gembira dan pembawa peringatan, engkau hamba-Ku, Rasul-Ku, Aku menamakanmu orang yang bertawakkal, tidak keras, kasar, tidak suka mengumpat di pasar, tidak membalas kejelekan dengan kejelekan, melainkan memafkan . Allah tidak akan mencabut nyawanya sebelum agama tegak karenanya, sehingga orang-orang berkata, La Ilaha Illallah, ia akan membuka mata orang yang buta dan membuka telinga orang yang tuli.[11]
Sementara dalam kitab Tafsir Ibnu Katsir terdapat tidak kurang 40-an kisah israiliyat.Kisah-kisah yang sejalan dengan Islam hanya satu.Di antara contoh-contoh Israiliyat yang dapat di kemukakan adalah:
1. Kisah Nabi Sulaiman.
Israiliyat Yang terdapat dalam Tafsir Att-Thabari, dari Basyir dari Yazid dari Said dari Qatadah yang berkaitan dengan kisah Nabi Sulaiman :
Israiliyat itu menjelaskan bahwa ada seseorang berkata pada Nabi Sulaiman bahwa didasar laut terdapat setan yang bernama Syahr Al-Maridhah ( batu durhaka ), lalu NabiSulaiman mencarinya dan ternyata di sisi laut terdapat sumber mata air yang memancar satu kali dalam seminggu. Pancaran ini sangat jauh dan kemudian sebahagiannya menjadiarak. Nabi Sulaiman dating pada saat Pancarannya berubah menjadi arak. Dan ia berkata, “Sesungguhnya engakau (arak) adalah minuman yang sangat nikmat hanya saja engkau menyebabkan orang yang sabar mendapat musibah dan orang bodoh bertambah kebodohannya”. Lalu Nabi Sulaiman pulang, tetapi dalam perjalannanya ia merasa dahaga yang sangat dan kembali ketempat tersebut, Ia meminum arak hingga hilanglah kesadarannya. Dalam kondisi seperti itu, ia melihat cincinnya dan merasa terhina karenanya, lalu dilemparlah cincin itu ke laut dan dimakan oleh seekor ikan, sehingg ahilanglah seluruh kerajaannya, Setan lalu datang menyerupainya dan duduk di atas singgasana Nabi Sulaiman.
2. Kisah Nabi Isma’il
Israiliyat yang berkaitan dengan kisah penyembelihan Nabi Ismail, yaitu berasal dariKa’ab bin Akhbar yang menyebutkan bahwa yang disembelih itu adalah Ishaq bukanIsmail. Israiliyat ini menurut Ibnu Katsir merupakan tipuan dan dusta karena bertentangan dengan Nash Al-Qur’an sendiri. Orang Yahudi lebih suka menyebut Ishaq karena ia adalah nenek moyangnya, sedangkan Ismail adalah nenek moyang orang Arab.
3. Kisah Awal Surat Qaf
Israiliyat yang dikuti oleh Ibnu Katsir tentang awal Surat Qaf ialah Qaf adalahsebuah nama gunung yang mengelilingi bumi. Namun menurut Ibnu Katsir pendapat ini merupakan israiliyat yang tidak perlu dibenarkan dan didustakan
Dari kategori kisah-kisah Israiliyyat itu, Ibnu Taimiyyah berpendapat bahwa cerita Israiliyyat yang shahih boleh diterima; cerita yang dusta harus ditolak; dan yang tidak diketahui kebenaran dan kedustaannya didiamkan; tidak disutakan dan tudak juga dibenarkan. Jangan mengimaninya dan jangan pula mebohonginya.
Secara umum, ada dua pendapat ulama yang memberikan pendapat tentang diakui atau tidaknya israiliyyat. Pendapat pertama, menagatakan keharamnya, sedangkan lainnya mengatakan kebolehannya.
Alasan ulama yang mengharamkannya mendasarkan diri pada beberapa alasan.
• Riwayat tentang menerima berita dari ahli kitab di atas
• Karena Yahudi dan Nasrani telah merubah kitab-kitab mereka, sehingga periwayatannya tidak tsiqot/kuat lagi. Riwayat yang tidak kuat tidak dibenarkan untuk dijadikan hujjah.
Adapun pendapat yang membolehkannya bersandar kepada Al-Qur’an surat Yunus ayat 94.
“Jika kamu ragu kepada apa yang kami turunkan kepadamu, maka tanyalah orang-orang yang membaca Al-Kitab sebelum kamu.”
Di samping itu ada hadis yang berbunyi:
“Sampaikanlah olehmu apa yang kalian dapat dariku, walaupun satu ayat. Ceritakanlah tentang bani Israil dan tidak ada dosa di dalamnya, barangsiapa yang sengaja berbohong kepadaku maka bersiaplah dirinya mendapatkan tempat di dalam neraka.”
E. Israiliyyat dalam kitab-kitab Tafsir
· Jamiiul Bayan fi Tafsir Al-Qur’an
Tafsir ini disusun oleh Ibnu Jarir Al-Thabariy (224-310), seorang yang dikenal faiq, mufassir, dan ahli dalam berbagai disiplin ilmu. Disebut-sebut sebagai Tafsir yang paling unggul dalam tafsir bil-Ma’tsur. Paling shahih dan terkumpul di dalamnya pernyataan para sahabat dan tabi’in. Tafsir ini dianggap sebagai referensi utama para mufassir. Bahkan sampai Imam An-Nawawi berkata, “Kitab Ibnu jarir dalam tafsir tidak ada duanya.”[12]
Bagi sebagian kalangan, dalam tafsir ini terdapat beberapa riwayat Israiliyyat dan ini dianggap kesalahan. Riwayat itu banyak berasal dari Ka’ab Al-Ahbar, Wahhab bin Munabbih, Ibnu Juraij, As-Sudi dan lain-lain.
Salah satu contoh beliau menafsirkan surat Al-Kahfi ayat 94:
“Mereka berkata: Hai Zulkarnain, ya’juj dan ma’juj itu perusak di muka bumi.”
Ibnu Jarir Al-Thabariy menyebutkan riwayat dengan isnad yang menyatakan: “Telah menceritakan kepada kami Humaid”; ia berkata:”telah menceritakan kepada kami salamah” ia berkata: “Telah menceritakan kepada kami Muhammad bi Ishaq, yang berkata, ““Telah menceritakan kepada kami salah seorang ahli kitab yang telah masuk Islam, yang suka menceritakan kisah-kisah asing: “dari warisan-warisan cerita yang diperoleh, dikatakan bahwa Zulkarnain termasuk salah seorang penduduk Mesir. Nama lengkapnya Mirzaban bin Murdhiyah, bangsa Yunani keturunan Yunann bin Yafits bin Nuh dan seterusnya.”
Oleh para muhaqqiq seharusnya Ibnu jarir tidak menukil riwayat-riwayat yang belum jelas kesahihannya berkenaan dengan Israiliyyat. Namun, bagaimanapun juga beliau selalu menulis lengkap sanad-sanad riwayat yang dinukilnya.[13]
· Tafsir Muqatil
Disusun oleh muqatil bin Sulaiman wafat tahun 150 H. Dikenal sebagai ahli tafsir. Beliau banyak mengambil hadis dari Mujahid, Atha bin Rabah. Dhahak, dan Atiyyah.
Tafsir karya Muqatil terkenal sebagai tafsir yang satrat dengan cerita-cerita Israiliyyat tanpa memberi sanad sama sekali. Disamping itu tidak ditemukan komentar penelitian dan penjelasannya, mana yang hak dan yang batil. Contoh yang diceritakan dalam tafsir ini hampir merupakan bagian dari khurafat.
Tafsir Al-Quranul Adzim
Kitab tafsir buah karya Al-Hafizh Imaduddin Ismail bin Amr bin Katsir (700-774 H) ini adalah kitab yang paling masyhur dalam bidangnya. Kedudukannya berada pada posisi kedua setelah Tafsir Ibnu Jarir At-Thobari. Nama aslinya adalah Tafsir Al-Qur’an Al-Adzim. Tafsir yang diterima di khalayak ramai umat Islam.
Beliau menempuh metode tafsir bil ma’tsur dan benar-benar berpegang padanya. Ini diungkapkan sendiri oleh beliau dalam muqaddimah tafsirnya,: “Bila ada yang bertanya, apa metode penafsiran yang terbaik? Jawabannya, metode terbaik ialah dengan menafsirkan Al-Qur’an dengan Al-Qur’an. Sesuatu yang global di sebuah ayat diperjelas di ayat lain. Bila engkau tidak menemukan penafsiran ayat itu, carilah di As-Sunnah karena ia berfungsi menjelaskan Al-Qur’an. Bahkan Imam Syafi’I menegaskan bahwa semua yang ditetapkan oleh Rasulullah saw, itulah hasil pemahaman beliau terhadap Al-Qur’an. Allah SWT berfirman: Sesungguhnya Kami menurunkan kepadamu Al-Kitab dengan kebenaran, agar engkau memutuskan perkara di antara manusia dengan apa yang Allah ajarkan kepadamu. (QS. An-Nisa’ 105) dan Rasul saw bersabda: sesungguhnya aku diberikan Al-Qur’an dan bersamanya yang semisal (As-sunnah).
Murid Imam Ibnu Taimiyah ini menafsirkan dengan menyertakan ilmu al-Jarh wa at-ta’dil. Hadis-hadis mungkar dan dhoif beliau tolak. Terlebih dahulu beliau menyebutkan ayat lalu ditafsirkan dengan bahasa yang mudah dipahami dan ringkas. Kemudian disertakan pula ayat-ayat lainnya sebagai syahidnya. Beberapa ulama setelah beliau telah mengambil inisiatif menulisnya dalam bentuk mukhtasar (ringkasan). Bahkan hingga saat ini.[14]
Di dalam tafsir ini juga menurut DR. Al-Zhahabi, tafsir ini populer dengan israiliyyat dan disertai penjelasan dan komentar, hanya sedikit saja yang tidak dikomentari. Berbeda dengan Ibnu jarir, Ibnu Katsir selalu mengingatkan para pembaca agar mewaspadai keganjilan dan kemungkaran kisah-kisah Israiliyyat dalam tafsir bil-Ma’tsur[15]
Contoh saat menafsirkan surat Al-Baqarah ayat 67
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu untuk menyembelih sapi betina...”
Dalam tafsirnya, Ibnu katsir menceritakannya panjang lebar sampai hal aneh dengan menceritakan bahwa mereka mencari sapi betina khusus dan berada pada seorang Bani Israil yang paling berbakti..” setelah menceritakan hal tersebut beserta asal-usul riwayatnya, ia menjelaskan bahwa semua itu berasal dari kmitab-kitab bani Israil yang boleh diriwayatkan tapi tidak boleh dibenarkan atau didustakan. Maka cerita-cerita ini gtidak boleh dipercaya kecuali yang sesuai dengan haq menurut kami.[16]
Tafsir Al-BaghawiPengarang tafsir ini adalah Imam Husain bin Mas’ud Al-Farra’ Al-Baghawi. Beliau juga seorang faqih lagi muhaddist, bergelar Muhyi As-sunnah (yang menghidupkan sunnah). Beliau wafat tahun 510 H. Beliau memberi nama tafsirnya dengan Ma’alim At-Tanzil.
Dalam menafsirkan Al-Qur’an beliau mengutip atsar para salaf dengan meringkas sanad-sanadnya. Beliau juga membahas kaedah-kaedah tata bahasa dan hukum-hukum fiqh secara panjang lebar. Tafsir ini juga banyak memuat kisah-kisah dan cerita sehingga kita juga bisa menemukan diantaranya kisah-kisah Israiliat yang ternyata batil (menyelisihi syariat dan tak rasional). Namun secara umum, tafsir ini lebih baik dan lebih selamat dibanding sebagian kitab-kitab tafsir bil ma’tsur lain.
Imam Ibnu Taimiyah pernah ditanya tentang tafsir yang paling dekat dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah diantara Al-kassyaf, Al-Qurtubi atau Al-Baghawi. Beliau menjawab: ”Adapun diantara tiga tafsir yang ditanyakan, tafsir yang paling selamat dari bid’ah dan hadis dhaif adalah Tafsir Al-Baghawi, bahkan ia adalah ringkasan tafsir Atsa’labi dimana beliau menghapus hadis palsu dan bid’ah di dalamnya.[17]
Imam Ibnu Taimiyah pernah ditanya tentang tafsir yang paling dekat dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah diantara Al-kassyaf, Al-Qurtubi atau Al-Baghawi. Beliau menjawab: ”Adapun diantara tiga tafsir yang ditanyakan, tafsir yang paling selamat dari bid’ah dan hadis dhaif adalah Tafsir Al-Baghawi, bahkan ia adalah ringkasan tafsir Atsa’labi dimana beliau menghapus hadis palsu dan bid’ah di dalamnya.[17]
Al-Baghawi membahas tentang qira’at sekalipun tidak panjang lebar. Sesekali membahas ilmu nahwu dalam rangka mengungkap makna. Adapun berkenaan dengan kisah israiliyyat, ia menulisnya tanpa memberi komentar. Ia juga mengutip selisih pandangan di antara para salaf dalam tafsir dan menyebutkan riwayat-riwayat mereka tanpa mentarjih, yakni tanpa mensahihkan atau mendaifkan.[18]
[1] Muhammad Husain Az-Zahabi, Al-israiliyyat fil-Tafsir wal Hadits, (Kairo: Maktabah Wahbah,1990), hal. 11.
[2] Ramzi Na’na’ah, Al-Israiliyyat wa Atsaruha fi kutubit Tafsir, Damaskus: Darul Qalam, 1980), hal. 72
[3] Supiana dan M. Karman, Ulumul Quran, (Jakarta:Pustaka Islamika) hal. 197.
[5] Ahmad Izzan, Ulumul Quran; Telaah Tekstualitas dan Kontekstualitas Al-Quran, (Bandung: Tafakur:2009) hal. 232.
[6] Manna Al-Khattan, Mabahis fi Ulumil Qur’an, (Mansurat Al-Ashril hadits ,1393) hal. 354
[7] Supiana dan M. Karman, Op.cit, hal. 198-199.
[8] Ahmad Izzan, Op.Cit, hal. 233.
[9] Idem hal.199.
[10] Muhammad husain Az-Zahabi, Al-Tafsir Wal-Mufassirun, Terjemahan Ensiklopedia Tafsir,( Jakarta:Kalam Mulia, 2010) hal. 165
[12] Muhammad Ali As-shobuni, Op.cit, hal190
[13] Supiana dan M. Karman, Op.Cit, hal. 206
[14] Muhammad Ali As-shobuni, Op.cit, hal. 192
[15] Muhammad Husein Al-Zahabi, Op.cit, hal 223
[16] Idem, hal. 232.
[17] Idem, hal. 223
[18] Muhammad Husain Az-Zahabi, Op.Cit. hal. 165