Ditulis Oleh: Muhammad Sofwan Abbas, MA
Dosen Mahad Aly An-Nuaimy
Dosen Mahad Aly An-Nuaimy
Pandangan adalah Titik Lemah untuk Jatuh pada Godaan
Ada saluran yang sangat kuat antara hati dan mata. Apa yang tersembunyi di dalam hati seringkali dapat dibaca pada kedua mata. Allah swt. berfirman:
يَعْلَمُ خَائِنَةَ الْأَعْيُنِ وَمَا تُخْفِي الصُّدُورُ
Artinya: “Dia mengetahui (pandangan) mata yang khianat dan apa yang disembunyikan oleh hati.” (Ghafir: 19)
Dalam surat An-Nur: 30 di atas, perintah menjaga pandangan diteruskan dengan perintah menjaga kemaluan. Hal itu karena pandangan adalah jalan bagi seseorang untuk jatuh pada perbuatan zina, baik laki-laki maupun perempuan. Oleh karena itu, Rasulullah saw. bersabda:
كُتِبَ عَلَى ابْنِ آدَمَ نَصِيبُهُ مِنْ الزِّنَا مُدْرِكٌ ذَلِكَ لَا مَحَالَةَ فَالْعَيْنَانِ زِنَاهُمَا النَّظَرُ وَالْأُذُنَانِ زِنَاهُمَا الِاسْتِمَاعُ وَاللِّسَانُ زِنَاهُ الْكَلَامُ وَالْيَدُ زِنَاهَا الْبَطْشُ وَالرِّجْلُ زِنَاهَا الْخُطَا وَالْقَلْبُ يَهْوَى وَيَتَمَنَّى وَيُصَدِّقُ ذَلِكَ الْفَرْجُ وَيُكَذِّبُهُ
Artinya: “Setiap manusia sudah ditentukan bagiannya dari berzina. Hal itu pasti akan dirasakannya. Zina kedua mata adalah dengan memandang. Zina kedua telinga adalah dengan mendengar. Zina lisan adalah dengan berucap. Zina tangan adalah dengan memukul. Zina kedua kaki adalah dengan melangkah. Hati itu bisa suka dan berkeinginan, sedangkan kemaluan bisa melaksanakan hal itu atau pun tidak melaksanakannya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Maksudnya, semua hal yang disebutkan dalam hadits di atas bisa menjadi jalan menuju perbuatan zina. Dan yang paling kuat pengaruhnya adalah mata, sehingga disebutkan paling awal. Namun tentunya memandang wanita yang bukan mahram tidak diharamkan secara mutlak dalam semua kondisi. Dalam kondisi-kondisi tertentu, memandang wanita yang bukan mahram diperbolehkan, misalnya seorang dokter yang akan mengobati pasien wanitanya; seorang hakim yang akan harus mengenali wanita yang sedang menjalani persidangan; dan lain sebagainya. Namun dalam kondisi-kondisi itu pun niatan dalam hati harus tetap dijaga, sehingga memandang mereka saat itu tidak membangkitkan syahwat.
Dalam surat An-Nur ayat 27 seperti yang disebutkan di atas, seorang yang akan bertamu diharuskan meminta ijin sebelum masuk rumah. Ketika sedang menunggu, dia tidak diperkenankan berdiri menghadap pintu, melainkan di pinggirnya saja. Dan jika penghuni rumah menanyakan siapa yang mengetuk pintu, maka sang tamu diharuskan menjawabnya, dengan menyebutkan namanya secara jelas. Muhammad bin Al-Munkadir ra. meriwayatkan, “Aku pernah mendatangi Rasulullah saw. untuk membayar hutang ayahku. Setelah aku mengetuknya, Rasulullah saw. bertanya dari dalam, “Siapa itu?” Aku menjawab, “Saya.” Kemudian beliau kembali berkata, “Saya, saya?” Seakan-akan beliau tidak senang dengan jawaban seperti ini. Karena jawaban ini tidak bisa mengidentifikasikan siapa sebenarnya orang yang datang tersebut. Oleh karena itu, sebenarnya beliau harus menyebutkan nama, atau kun-yah beliau yang terkenal sehingga bisa diketahui siapa beliau. Karena untuk maksud inilah disyariatkan kewajiban meminta ijin.
Dalam sebuah hadits disebutkan, “Ada seseorang (menurut perawi, dia adalah Sa’ad) datang kepada Rasulullah saw., kemudian berdiri menghadap pintu untuk meminta ijin masuk. Melihat hal tersebut, Rasulullah saw. berkata:
فَإِنَّمَا الِاسْتِئْذَانُ مِنْ النَّظَرِ
Artinya: “Meminta ijin itu adalah meminta ijin untuk melihat.” (HR. Abu Daud)
Imam Muslim meriwayatkan dari Jarir bin Abdillah Al-Bajilli ra., beliau berkata, “Aku bertanya kepada Rasulullah saw. tentang pandangan yang mengagetkanku. Beliau memerintahkanku untuk mengalihkannya kea rah yang lain.”
Imam Abu Daud meriwayatkan dari Abdullah bin Buraidah ra., dari ayahnya, bahwa Rasulullah saw. berkata kepada Ali bin Abi Thalib ra.:
يَا عَلِيُّ لَا تُتْبِعْ النَّظْرَةَ النَّظْرَةَ فَإِنَّ لَكَ الْأُولَى وَلَيْسَتْ لَكَ الْآخِرَةُ
Artinya: “Wahai Ali, janganlah engkau lanjutkan pandangan pertamamu (pandangan yang mengagetkan) dengan pandangan berikutnya. Sesungguhnya pandangan yang pertama itu untuk kamu, sedangkan yang kedua tidak demikian.”
Dalam shahih Bukhari diriwayatkan bahwa Rasulullah saw. juga bersabda:
إِيَّاكُمْ وَالْجُلُوسَ عَلَى الطُّرُقَاتِ فَقَالُوا مَا لَنَا بُدٌّ إِنَّمَا هِيَ مَجَالِسُنَا نَتَحَدَّثُ فِيهَا قَالَ فَإِذَا أَبَيْتُمْ إِلَّا الْمَجَالِسَ فَأَعْطُوا الطَّرِيقَ حَقَّهَا قَالُوا وَمَا حَقُّ الطَّرِيقِ قَالَ غَضُّ الْبَصَرِ وَكَفُّ الْأَذَى وَرَدُّ السَّلَامِ وَأَمْرٌ بِالْمَعْرُوفِ وَنَهْيٌ عَنْ الْمُنْكَرِ
Artinya: “Kalian hindarilah duduk-duduk di pinggir jalan.” Para sahabat berkata, “Tapi kami memang harus duduk-duduk di sana untuk membicarakan banyak hal.” Rasulullah saw. kembali berkata, “Kalau memang harus begitu, maka berikanlah jalan itu haknya.” Mereka kembali berkata, “Apa itu hak-hak jalan?” Beliau menjawab, “Menjaga pandangan, tidak menyakiti orang lain, menjawab salam, memerintakan yang makruf dan melarang yang munkar.”
Imam Muslim meriwayatkan dari Sahl bin Sa’d As-Sa’idy ra. bahwa ada seseorang mengintip salah satu kamar Rasulullah saw., dan saat itu Rasulullah saw. sedang memegang semacam sisir dari besi. Ketika mengetahuinya, beliau berkata, “Kalau aku tahu bahwa kamu mengintipku, pasti matamu sudah kutusuk dengan ini.”
Imam Ahmad meriwayatkan dari Ibnu Mas’ud ra. bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Janganlah seorang wanita berdekatan-dekatan dengan wanita lain, kemudian dia menceritakan kepada suaminya tentang wanita tersebut. Karena hal itu membuat suami seakan melihatnya sendiri.”
Imam Muslim juga meriwayatkan dari Jabir ra. bahwa Rasulullah saw. melihat seorang wanita, maka beliau kemudian menemui Zainab ra. yang sedang menyamak kulit binatang. Beliau menggauli Zainab ra. Kemudian beliau menemui para sahabat, dan berkata:
إِنَّ الْمَرْأَةَ تُقْبِلُ فِي صُورَةِ شَيْطَانٍ وَتُدْبِرُ فِي صُورَةِ شَيْطَانٍ فَإِذَا أَبْصَرَ أَحَدُكُمْ امْرَأَةً فَلْيَأْتِ أَهْلَهُ فَإِنَّ ذَلِكَ يَرُدُّ مَا فِي نَفْسِهِ
Artinya: “Sesungguhnya wanita itu, dari depan bisa digunakan setan untuk menggoda, dari belakang juga bisa digunakan setan untuk menggoda. Maka jika seseorang melihat wanita, sebaiknya segera mendatangi isterinya. Karena hal itu akan menghapus pikiran-pikiran tadi.”
Dari ayat dan hadits di atas, dapat disimpulkan beberapa hal:
1. Anjuran untuk menyegerakan menikah. Karena menikah adalah sarana yang paling tepat untuk menundukkan syahwat. Jika memang belum mampu menikah, hendaknya sering melakukan puasa.
2. Menjaga pandangan.
3. Bagi wanita, hendaklah mengenakan hijab, dan menutup perhiasan-perhiasannya (bagian tubuhnya yang membangkitkan birahi)
4. Hendaknya tidak berdua-duaan antara laki-laki dan perempuan.
5. Dan anjuran bagi seorang suami agar segera menggauli isterinya, jika melihat dan memikirkan wanita lain.
Seorang isteri dilarang menceritakan secara detail tentang wanita lain, karena hal itu membuat seorang suami seakan melihat wanita itu dengan mata kepalanya sendiri. (Sofwan, dari beberapa sumber)