1.
Pengertian
Bank Asi
Bank ASI merupakan tempat penyimpanan dan penyalur ASI
dari donor ASI yang kemudian akan diberikan kepada ibu-ibu yang tidak bisa
memberikan ASI sendiri ke bayinya. Ibu yang sehat dan memiliki kelebihan
produksi ASI bisa menjadi pendonor ASI. ASI biasanya disimpan di dalam plastik
atau wadah, yang didinginkan dalam lemari es agar tidak tercemar oleh bakteri.
Kesulitan para ibu memberikan ASI untuk anaknya menjadi salah satu pertimbangan
mengapa bank ASI perlu didirikan, terutama di saat krisis seperti pada saat
bencana yang sering membuat ibu-ibu menyusui stres dan tidak bisa memberikan
ASI pada anaknya[1].
Semua ibu donor diskrining dengan hati-hati. Ibu donor
harus memenuhi syarat, yaitu non-perokok, tidak minum obat dan alkohol, dalam
kesehatan yang baik dan memiliki kelebihan ASI. Selain itu, ibu donor harus
memiliki tes darah negatif untuk Hepatitis B dan C, HIV 1 dan 2, serta HTLV 1
dan 2, memiliki kekebalan terhadap rubella dan sifilis negatif. Juga tidak
memiliki riwayat penyakit TBC aktif,
herpes atau kondisi kesehatan kronis lain seperti multiple sclerosis
atau riwayat kanker. Berapa lama ASI dapat bertahan sesuai dengan suhu
ruangannya:
a. Suhu 19-25 derajat celsius ASI dapat tahan 4-8 jam.
b. Suhu 0-4 derajat celsius ASI tahan 1-2 hari
c. Suhu dalam freezer khusus bisa tahan 3-4 bulan[2].
2.
Hukum
Jual Beli Asi
Air Susu Ibu (ASI) adalah bagian yang mengalir dari
anggota tubuh manusia, dan tidak diragukan lagi itu merupakan karunia Allah
bagi manusia dimana dengan adanya ASI tersebut seorang bayi dapat memperoleh
gizi. ASI tersebut merupakan sesuatu hal yang urgen di dalam kehidupan bayi. Karena
pentingnya ASI tersebut untuk pertumbuhan maka sebagian orang memenuhi
kebutuhan tersebut dengan membeli ASI pada orang lain. Jual beli ASI manusia
itu sendiri di dalam fiqih Islam merupakan cabang hukum yang para ulama berbeda
pendapat di dalamnya. Ada dua pendapat ulama tentang hal tersebut[3].
Pertama,
tidak boleh menjualnya. Ini merupakan pendapat ulama madzhab Hanafi kecuali Abu
Yusuf, salah satu pendapat yang lemah pada madzhab Syafi'i dan merupakan
pendapat sebagian ulama Hanbali. Kedua, pendapat yang mengatakan
dibolehkan jual beli ASI manusia. Ini merupakan pendapat Abu Yusuf (pada susu
seorang budak), Maliki dan Syafi'i, Khirqi dari madzhab Hanbali, Ibnu Hamid,
dikuatkan juga oleh Ibnu Qudamah dan juga madzhab Ibnu Hazm[4].
3.
Timbulnya
Perbedaan Pendapat dikalangan Ulama
Menurut Ibn Rusyd, sebab timbulnya perselisihan
pendapat ulama di dalam hal tersebut adalah pada boleh tidaknya menjual ASI
manusia yang telah diperah. Karena proses pengambilan ASI tersebut melalui
perahan. Imam Malik dan Imam Syafi'i membolehkannya, sedangkan Abu Hanifah
tidak membolehkannya. Alasan mereka yang membolehkannya adalah karena ASI itu
halal untuk diminum maka boleh menjualnya seperti susu sapi dan sejenisnya.
Sedangkan Abu Hanifah memandang bahwa hukum asal dari ASI itu sendiri adalah
haram karena dia disamakan seperti daging manusia[5].
Maka karena daging manusia tidak boleh memakannya maka tidak boleh menjualnya.
4.
Hukum
Mendirikan Bank Asi
Bahwa di dalam pembolehan menjual ASI itu ada
kemungkaran karena bisa menimbulkan rusaknya pernikahan yang disebabkan
kawinnya orang sesusuan dan hal tersebut tidak dapat diketahui jika antara
lelaki dan wanita meminum ASI yang dijual bank ASI tersebut[6].
Namun, ada juga yang berpendapat bahwa menjual ASI tersebut membawa manfaat
bagi manusia yaitu tercukupinya gizi bagi bayi karena kita melihat bahwa banyak
bayi yang tidak memperoleh ASI yang cukup baik karena kesibukan sang ibu
ataupun karena penyakit yang diderita ibu tersebut. Tetapi pendapat tersebut
dapat ditolak karena kemudaratan yang ditimbulkan lebih besar dari manfaatnya
yaitu terjadinya percampuran nasab. Padahal Islam menganjurkan kepada manusia
untuk selalu menjaga nasabnya. Kaidah ushul juga menyebutkan bahwa:
دَفْعُ الضَّرَارِ اَوْلَى مِنْ جَلْبِ الْمَصَالِحِ
Menolak
kemadharatan lebih utama dari pada menarik kemaslahatan.
Ibnu Sayuti di dalam kitab Asybah Wa Nadhaair
menyebutkan bahwa di dalam kaidah disebutkan bahwa diantara prinsip dasar Islam
adalah :
اَلضَّرَارُ لاَ يُزَالُ بِالضَّرَارِ
Kemudaratan
itu tidak dapat dihilangkan dengan kemudaratan lagi.
Hal ini jelas, karena akan menambah masalah. Kaitannya
dengan pembahasan kita yaitu, ketiadaan ASI bagi seorang bayi adalah suatu
kemudaratan, maka memberi bayi dengan ASI yang dijual di bank ASI adalah
kemudaratan pula. Maka apa yang tersisa dari bertemunya kemudaratan kecuali
kemudaratan[7]. Karena
Fiqih bukanlah pelajaran fisika dimana bila bertemu dua kutub yang sama akan
menghasilkan hasil yang berbeda. Maka penulis sependapat bahwa hendaknya kita
melihat mana yang lebih besar manfaatnya daripada kerusakannya.
5.
Ulama
yang Membolehkan Bank Asi
Sebagian ulama kontemporer membolehkan pendirian bank
ASI ini, diantara mereka adalah Dr. Yusuf al-Qardhawi. Mereka beralasan[8]:
a.
Bahwa kata
kata radha'(menyusui) di dalam bahasa Arab bermakna menghisap puting
payudara dan meminum ASI-nya. Maka oleh karena itu meminum ASI bukan melalui
menghisap payudara tidak disebut menyusui, maka efek dari penyusuan model ini
tidak membawa pengaruh apa-apa di dalam hukum nasab nantinya.
b.
Yang
menimbulkan adanya saudara sesusu adalah sifat "keibuan", yang
ditegaskan Al-Qur'an itu tidak terbentuk semata-mata diambilkan air susunya,
tetapi karena menghisap teteknya dan selalu lekat padanya sehingga melahirkan
kasih sayang si ibu dan ketergantungan si anak. Dari keibuan ini maka muncullah
persaudaraan sepersusuan. Jadi, keibuan ini merupakan asal (pokok), sedangkan
yang lain mengikutinya.
c.
Alasan yang
dikemukakan oleh beberapa madzhab dimana mereka memberi ketentuan berapa kali
penyusuan terhadap seseorang sehingga antara bayi dan ibu susu memilki ikatan
yang diharamkan nikah, mereka mengatakan bahwa jika si bayi hanya menyusu
kurang dari lima kali susuan maka tidaklah membawa pengaruh di dalam hubungan
darah[9].
I.
KESIMPULAN
Perbedaan pandangan ulama terhadap beberapa masalah
penyusuan mengakibatkan mereka berbeda pendapat di dalam menyikapi munculnya
Bank Asi sebagaimana berikut :
Pendapat Pertama menyatakan bahwa mendirikan bank ASI
hukumnya boleh. Salah satu alasannya: Bayi tidak bisa menjadi mahram bagi ibu
yang disimpan ASI-nya di bank ASI. Karena susuan yang mengharamkan adalah jika
dia menyusu langsung. Sedangkan dalam kasus ini, sang bayi hanya mengambil ASI
yang sudah dikemas.
Pendapat Kedua menyatakan hukumnya haram. Menimbang
dampak buruknya menyebabkan tercampurnya nasab. Dan mengikuti pendapat jumhur
yang tidak membedakan antara menyusu langsung atau lewat alat.
Pendapat Ketiga menyatakan bahwa pendirian Bank ASI
dibolehkan jika telah memenuhi beberapa syarat yang sangat ketat, diantaranya:
setiap ASI yang dikumpulkan di Bank ASI, harus disimpan di tempat khusus dengan
meregistrasi nama pemiliknya dan dipisahkan dari ASI-ASI yang lain. Setiap bayi
yang mengkonsumsi ASI tersebut harus dicatat detail dan diberitahukan kepada
pemilik ASI, supaya jelas nasabnya. Dengan demikian, percampuran nasab yang
dikhawatirkan oleh para ulama yang melarang bisa dihindari.
Mahjuddin, Masailul Fiqhiyah:
Berbagai Kasus yang Dihadapi Hukum Islam Masa Kini, ( Jakarta: Kalam Mulia,
2003), h. 120.
Mahjuddin, Masailul Fiqhiyah:
Berbagai Kasus yang Dihadapi Hukum Islam Masa Kini. h. 120.
[3] Masjfuk, Zuhdi, Masail
Fiqhiyah: Kapita Selekta Hukum Islam, h. 165.
[4] Abdul Qadim, Zallum,
Beberapa Problem Kontemporer Dalam Pandangan Islam : Kloning, Transplantasi
Organ, Abortus, Bayi Tabung, Penggunaan Organ Tubuh Buatan, Definisi Hidup dan
Mati, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2003) h. 234.
[5]Abdul
Qadim, Zallum, Beberapa Problem Kontemporer Dalam Pandangan Islam :
Kloning, Transplantasi Organ, Abortus, Bayi Tabung, Penggunaan Organ Tubuh
Buatan, Definisi Hidup dan Mati. h. 245.
[6] Masjfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyah: Kapita
Selekta Hukum Islam. h. 312.
[7] Masjfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyah: Kapita
Selekta Hukum Islam. h. 320.
[8] Cholil, Uman, Agama
Menjawab Tentang Berbagai Masalah Abad Modern, (Surabaya: Ampel Suci, 1994)
h. 311.
[9] Cholil, Uman, Agama
Menjawab Tentang Berbagai Masalah Abad Modern. h. 314