KONSEP ISTIHALAH DALAM PANDANGAN ULAMA MAZHAB
Makanan
yang kita makan dan minuman yang kita minum adalah sumber terpenting dalam
kehidupan manusia sehari-hari, kita tidak bisa terlepas dari dua hal terseebut.
Setiap hari selalu ada saja jenis makanan dan minuman baru yang dihasilkan oleh
jasa penyedia makanan untuk memenuhi kebutuhan dan tuntutan manusia. Indstri
makanan dan minuman selalu membuat terobosan baru dalam menghasilkan makanan
atau minuman baru.
Hal
semacam ini sangat membantu bagi masyarakat tapi di sisi lain dalam diri
masyarakat mengundang beberapa pertanyaan tentang produk yang dihasilkan,
halalkah produk tersebut ?, sehingga produk baru tersebut layak untuk
dikonsumsi, ataukah justru produk baru tersebut adalah haram karena beberapa
zat dalam bahan penghasil makanan tersebut adalah zat aslinya adalah haram.
Tidak jarang juga ada beberapa produsen makanan yang membuat produk baru dari
zat-zat yang diharamkan.
Atas
dasar itu, produk makanan dan minuman baru selalu akan menjadi sesuatu yang
penting bagi masyarakat terutama tentang status kehalalan dan keharaman produk
baru tersebut. Walaupun demikian perkembangan teknologi pada zaman sekarang
memungkinkan merubah zat yang haram menjadi zat yang halal melalui proses
penelitian dan menambahkan beberapa kandungan tertentu sehingga hasilnya pun
dapat direkayasa dengan tepat.
Dalam
pandangan islam, terdapat beberapa alternatif dapat dilaksanakan guna
memecahkan masalah tersebut. Salah satu alternatif tersebut adalah metode
istihalah. Makalah ini akan membahas dan menganalisa instrument-instrumen yang
digunakan dalam proses istihalah dan elemen-elemen yang menjadi campuran dalam
proses pembuatan produk baru tersebut.
KONSEP ISTIHALAH
Kata Istihalah merupakan perkataan daripada bahasa Arab yang
secara etimologinya berasal dari akar kata ل و ح yang bererti berubah.[1]
Ulama
dalam mendefinisikan istihalah berbeda-beda. Adapun pendapat beberapa ulama
tentang makna istihalah,sebagai berikut :
a.
Menurut
Sa‘di Abu Jayb istihalah adalah تغير عن طبعه ووصفه : segala sesuatu yang berubah dari tabiat
dan sifat asalnya.[2]
b.
Di dalam
kitab mausuah fiqh ibadah istihalah
ialah : تغير الشيء عن طبعه ووصفه : berubahnya sesuatu itu
dari tabiat dan sifatnya.
c.
Di dalam
kitab raddul al muhtar istihalah : انقلاب حقيقة إلى حقيقة أخرى : Berpindahnya (berubah) suatu zat
hakikat ke zat hakikat yang lain.[3]
Maka dari sini dapat disimpulkan istihalah dapat
diartikan perubahan sesuatu bahan dengan campuran bahan lain melalui proses
percampuran dan menghasilkan produk baru yang berbeda dari segi fisik dan
kandungan.[4]Misalnya
saja, biji benih tumbuh dan berubah menjadi
pohon.[5]Begitu
juga perubahan yang mana dapat menghilangkan unsur najis.[6] Selain daripada
itu, ia juga melibatkan perubahan bentuk fisik dengan mengekalkan kandungannya seperti air membeku
dan berubah menjadi air.[7]
Dikatakan masuk dalam konsep istihalah apabila bahan najis atau haram
berubah konsep dan bentuk zat serta sifatnya
menjadi satu bahan
lain yang halal, hal ini dilihat dari segi nama, kriteria dan sifatnya.[8]
Maka daripada pengertian yang diberikan,
jelas
terdapat
tiga
bentuk
Istihalah yaitu:
i) Perubahan
fisik dan kandungan.
Perubahan ini dapat dilihat
misalnya darah kijang bertukar menjadi kasturi, bangkai berubah menjadi
butiran garam kerana
terjatuh di dalam lautan garam dan najis binatang menjadi
abu dengan sebab pembakarannya.[9] Darah kijang, bangkai, najis
binatang serta abu tersebut berubah dari segi fisik dan kandungannya.
ii)
Perubahan
fisik .
Perubahan dari aspek luarnya
saja contohnya ialah kulit binatang selain anjing[10] dan babi berubah menjadi
suci setelah melalui
proses penyamakan. Kulit binatang
sebelum disamak adalah
najis. Setelah disucikan ia halal untuk
digunakan. Begitu juga,
perubahan minyak dan lemak yang diperoleh dari berbagai
sumber seperti
kelapa sawit, lemak binatang dan sayuran yang berubah menjadi sabun.[11]
iii) Perubahan kandungan.
Perubahan dalam bentuk kandungan
dalam seperti arak bertukar
menjadi cuka.[12] Dari segi fisik, arak dan cuka tetap dalam bentuk
cairan tetapi dari segi kandungannya berbeda. Arak adalah minuman
yang haram sedangkan cuka statusnya halal.
Pandangan Ulama Tentang Istihalah
Jika ditinjau dari segi konseptualnya para ulama
sepakat (ijma’) dengan teori istihalah. Namun, mereka berselisih pandangan
pada aspek perlaksanaan dan pemakaiannya. Ini
kerana terdapat
sebagian besar dari ulama mencoba memperluaskan pemakaiannya sementara sebahagian yang lain menyempitkannya pada aspek- aspek tertentu.[13]
Pendapat pertama yang
memperluaskan
penggunaannya
adalah
dari
kalangan mazhab Hanafi,[14] Maliki,[15] Ibn al-‘Arabi, Ibn Taymiyyah, Ibn al-
Qayyim, al-Syawkani dan Ibn Hazm al-Zahiri.[16]
Mereka merealisasikan teori istihalah dalam konteks yang lebih umum. Ini kerana mereka menerima
teori ini sebagai salah satu proses yang boleh mengubah sesuatu
benda najis kepada sesuatu yang suci baik terjadi secara sendirinya seperti proses
perubahan arak menjadi cuka karena didiamkan atau berubah dengan mencampurkan bahan yang lain. Begitu juga dengan najis atau
bangkai yang terbakar dan berubah menajdi abu dan tanah maka berubah menjadi
suci, hal ini senada dengan firman Allah :
وَيُحِلُّ
لَهُمُ الطَّيِّبَاتِ وَيُحَرِّمُ عَلَيْهِمُ الْخَبَائِثَ وَيَضَعُ عَنْهُمْ
إِصْرَهُمْ وَالْأَغْلَالَ الَّتِي كَانَتْ عَلَيْهِمْ فَالَّذِينَ آمَنُوا بِهِ
وَعَزَّرُوهُ وَنَصَرُوهُ وَاتَّبَعُوا النُّورَ الَّذِي أُنْزِلَ مَعَهُ
أُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ (157)
…dan menghalalkan bagi mereka segala
yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk dan membuang dari
mereka beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka.Maka orang-orang
yang beriman kepadanya. memuliakannya, menolongnya dan mengikuti cahaya yang
terang yang diturunkan kepadanya (Al Quran), mereka Itulah orang-orang yang
beruntung.(QS : Al-A’rof : 157)
Maksud ayat diatas adalah segala sesuatu
setelahnya proses istihalah kemuadia hasil dari teori itu menunjukan hilangnnya
sifat najisnya statusnya berubah menjadi baik dan suci.
Pendapat kedua menyempitkan realisasi
teori
istihalah
kepada
aspek tertentu saja. Pendapat ini didukung oleh ulama dari kalangan
mazhab Syafi‘i dan salah satu pendapat mazhab
Hanbali. Mazhab Syafi‘i berpendapat bahawa sesuatu bahan yang najis tidak boleh menjadi suci dengan
berubah sifatnya kecuali
dalam tiga keadaan. Pertama, arak yang bertukar menjadi cuka dengan sendirinya.
Kedua, kulit binatang
yang mati - selain anjing dan babi - menjadi
suci apabila disamak.[17]
Ketiga adalah sesuatu yang berubah menjadi hewan seperti bangkai
berubah menjadi ulat kerana berlaku suatu kehidupan
yang baru.[18]
Berdasarkan pendapat tersebut, sesuatu
yang berubah dari segi bentuknya tetap dihukumkan najis jika ia berasal dari sumber yang najis melainkan
tiga pengecualian yang dinyatakan. Misalnya, najis binatang
yang dibakar berubah menjadi abu tetap dihukumi najis
kerana asalnya adalah
najis.
Sejalan dengan itu, mazhab Hanbali
dalam satu pandangan
yang lain berpendapat bahwa sesuatu bahan yang najis tidak boleh menjadi suci dengan
proses istihalah kecuali arak yang bertukar menjadi cuka dengan sendirinya. Proses perubahan yang berlaku disebabkan pembakaran, penyamakan atau percampuran dengan bahan lain adalah
tidak suci.[19]
[1] Muhammad bin Mukrim
Ibn Manzur (1990), Lisan al-‘Arab, Dar Sadir, h. 185.
[2] Sa‘di Abu Jayb
(1988), al-Qamus al-Fiqhi: Lughatan wa Istilahan, cet. 2, Damsyik: Dar
al-Fikr, h. 105., Mishbahul al munir : 1/84
[3] Raddul al muhtar : 1
/ 291
[4] Majlis al-A‘la li
al-Syu’un al-Islamiyyah (1309 H), Mawsu‘at Jamal ‘Abd al-Nasir fi al-Fiqh al
Islami, jilid 5, (t.t.p.): (t.p.), h. 7.
[5]
Ahmad al-‘Ayid
et
al.
(t.t.),
Mu‘jam
al-‘Arabi
al-Asasi,
al-Munazzamah
al-‘Arabiyah
Li al-Tarbiyyah wa al-Thaqafah wa
al-‘Ulum, h. 366.
[6] Qal‘ahji (1996), op.
cit., h. 105.
[7]
Abu Hasan ‘Ali bin Muhammad bin ‘Ali al-Husayni al-Jurjani (2000), al-Ta‘rifat, Beirut: Dar al Nafa’is, h.
23.
[8] Nazih Hammad
(2004), al-Mawad al-Muharramah wa al-Naiasah fi al-Ghiza’ wa al-Dawa’ bayna al Nazariyyah wa al-Tatbiq,
Damsyik: Dar al-Qalam, h. 16.
[9] Wahbah al-Zuhayli (1997),
al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, juz. 1, cet. 4, Damsyik: Dar al-Fikr, h. 100.
[10] Melainkan pandangan mazhab Hanafi yang menghalalkan penggunaan kulit anjing setelah
penyamakan.
[11] Ahmad ibn Muhammad al-Fayyumi (1985), al-Misbah al-Munir
fi Gharib al-
Syarh al-Kabir, j. 1, Beirut: al-Maktabah al-‘Ilmiyyah, h 190.
[12] Al-Zuhayli (1997), op.
cit., h. 109 & 112.
[13] Nazih Hammad (2004), op.
cit., h. 20.
[14]
‘Ala’ al-Din Abi Bakr bin Mas‘ud al-Kasani
(t.t.), Bada’i‘ al-Sana’i‘ fi Tartib al-
Syara’i‘, Beirut: Dar al Kutub al-‘Ilmiyyah, hlm. 442; Ibn Nujaym (t.t.),
Bahr al- Ra’iq Syarh Kanz al-Daqa’iq, juz 2, h. 389; Ibn ‘Abidin (1966), Hasyiyah Radd al-Mukhtar, juz. 1, h. 353.
[15]
Muhammad bin Ahmad bin ‘Arafah
al-Dusuqi (1980), Hasyiyat al-Dusuqi ‘ala Syarh al-Kabir,
Kaherah: Dar Ihya’ al-Kutub
al-‘Arabiyyah, h. 50.
[16]
Abu Muhammad ‘Ali bin Ahmad bin Sa‘id Ibn Hazm (1988), al-Muhalla, jilid 1, Beirut: Dar
al-Kutub al-‘Ilmiyyah, h. 138.
[17] Abu Ishaq
Ibrahim bin ‘Ali ibn Yusuf
al-Fayruz Abadi al-Syirazi (1995), al- Muhadhdhab fi Fiqh al Imam
al-Syafi‘i, juz. 1, Beirut: Dar
al-Kutub al-‘Ilmiyyah, hh. 26-27; Abu Zakariya Mahy al-Din bin Syarf al-Nawawi
(t.t.), al-Majmu‘ Syarh al-Muhadhdhab li al-Syirazi,
juz. 1, Jeddah: Maktabah al-Irsyad, h. 267.
[18] Al-Zuhayli (1997), op.
cit., h. 251.
[19] Abu Muhammad
‘Abd Allah bin Ahmad
bin Qudamah (1984), al-Mughni, Beirut: Dar al-Fikr, h. 89.