KESEMPURNAAN JIWA DAN
KEMULIAAN
AKHLAK RASULULLAH SAW bag.III - selesai
Rasulullah saw adalah gudangnya sifat-sifat kesempurnaan
yang sulit dicari bandingannya. Allah membimbing dan membaguskan bimbingan-Nya,
sampai-sampai Allah berfirman:
“Dan sesungguhnya kamu (Muhammad) benar-benar berbudi pekerti yang luhur.” (Al-Qalam[68]:4)
Sifat-sifat yang sudah disebutkan di sini hanya sebagian
kecil dari gambaran kesempurnaan dan keagungan sifat-sifat beliau. Hakikat
sebenarnya yang menggambarkan sifat dan ciri-ciri beliau adalah sesuatu yang
tidak bisa diketahui secara persis hingga sedetail-detailnya. Adakah orang yang
mengaku bisa mengetahui hakikat diri manusia yang paling sempurna dan mendapat
cahaya Rabb-nya, hingga akhlaqnya pun adalah Al-Qur’an?
Sifat kerasulan
menunjukkan bahwa beliau benar-benar seorang rasul; utusan Allah yang dipilih
dari hamba-hamba-Nya. Beliau
adalah manusia terbaik, manusia pilihan, seseorang yang tepercaya dan menjadi
kepercayaan Allah. Dengan penetapan sifat kerasulan bagi beliau ini, mengandung
konsekuensi-konsekuensi sebagai berikut:
1. Kita harus
memuliakan dan mengutamakan beliau di atas seluruh manusia.
Menghormati beliau beserta segenap syariat
yang dibawanya di atas seluruh syariat lainnya. Hal itu semua tidak akan
terwujud kecuali dengan mengamalkan syariatnya dan mencintainya di atas
kecintaan terhadap diri sendiri. Allah berfirman yang artinya :
“Sesungguhnya Kami mengutus kamu sebagai saksi, pembawa berita gembira
dan pemberi peringatan. Supaya kamu sekalian beriman kepada Allah dan
Rasul-Nya, menguatkan (agama)Nya, membesarkan-Nya. dan bertasbih kepada-Nya di
waktu pagi dan petang. (Al
Fath[48]:8-9)
2. Mendahulukan
ucapannya di atas seluruh ucapan manusia tanpa terkecuali dan beramal dengan
sunnah-sunnahnya.
Allah ta’ala berfirman yang artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan
Rasul-Nya dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha mendengar lagi
Maha Mengetahui.” (Al Hujuraat[49]:1)
3.
Mentaati perintahnya
dan menjauhi larangannya.
Allah ta’ala berfirman: “Hai orang-orang
yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya.” (An-Nisa’[4]:59)
Dan dalam ayat lain Allah berfirman: “Apa yang ditetapkan Rasul
kepadamu, maka terimalah dia. Dan apa yang dilarang bagimu, maka
tinggalkanlah.” (Al-Hasyr[59]:7)
4.
Menjadikannya sebagai suri tauladan dalam semua sisi kehidupan kita.
Yaitu dengan menjadikan sunnahnya sebagai
sumber hukum yang tidak dapat dipisahkan dengan Al Qur-an. Allah ta’ala
berfirman yang artinya :
"Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri tauladan
yang baik bagimu; bagi orang yang mengharap (rahmat) dan hari kiamat dan dia
banyak mengingat Allah.” (Al-Ahzab[33]:21)
“Maka demi Rabbmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka
menjadikanmu sebagai hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian
mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu
berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (An-Nisa’[4]:65)
Dengan dua sifat Rasulullah yakni sebagai
Rasul dan hamba Allah swt ini tertutuplah dua pintu kesesatan dan penyimpangan
dari golongan yang berlebih-lebihan (al ifrath) dan golongan yang
bermudah-mudahan (at-tafrith).
Golongan al
ifrath adalah mereka yang melampaui batas dalam memuji dan mengangkat
Rasulullah sehingga menyamakan derajatnya dengan Allah atau memberikan
sifat-sifat yang sesungguhnya hanya layak bagi Allah semata atau mendudukkannya
seperti kedudukan Allah. Mereka yang berlebih-lebihan dalam memuji Rasulullah
telah menyerupai Nasrani ketika menuhankan nabi Isa as, Rasulullah pun
memperingatkan umatnya agar jangan seperti mereka. Rasulullah bersabda yang
artinya :
Janganlah kalian memuji aku secara berlebihan sebagaimana Nasrani memuji
Isa bin Maryam, aku hanyalah seorang hamba, maka katakanlah: “Hamba Allah dan
Rasul-Nya”. (HR. Bukhari
Muslim)
Rasulullah tidak berkenan dipuji secara
berlebihan dan melampaui batas sebagaimana umat Nasrani melakukannya kepada Isa
bin Maryam. Sedemikian berlebihannya mereka dalam memuji Nabi Isa hingga mereka
memberikan derajat ketuhanan kepadanya.
Rasulullah tidak menghendaki hal itu terjadi
pada dirinya dan dilakukan oleh umatnya. Dalam
suatu riwayat disebutkan: “Ketika sekelompok orang datang kepada Rasulullah
sambil mengatakan: “Engkau adalah Yang paling agung dan mulia yang tiada
tandingannya”. Maka beliau berkata: “Berkatalah kalian tapi jangan
dirasuki setan”. (HR Abu Daud)
Bahkan mereka memberikan sifat-sifat yang
sesungguhnya hanya layak bagi Allah seperti ‘alimul
ghaib (mengetahui yang ghaib), pemberi jalan keluar dari
kesulitan-kesulitan, penolong hamba yang berada dalam kesusahan di manapun ia
berada, ruhnya diyakini hadir di tengah-tengah mereka ketika membaca syi’ir
pujian kepadanya, padahal beliau telah wafat. Beliau tidak ridha dengan semua yang mereka
ucapkan dan sangkakan kepadanya. Karena Allah ta’ala telah memerintahkan beliau
untuk menyatakan:
Katakanlah: “Aku tidak
berkuasa memberikan kemanfaatan bagi diriku dan tidak pula mampu menolak
kemudharatan kecuali yang dikehendaki Allah. Dan sekiranya aku mengetahui yang
ghaib, tentulah aku akan berbuat kebajikan sebanyak-banyaknya dan aku tidak
akan ditimpa kemudharatan. Aku tidak lain hanyalah pemberi peringatan dan pembawa berita gembira
bagi orang-orang yang beriman”. (Al-A’raaf[7]:188)